Irene Brilian Ornadi adalah putri sulung sekaligus pewaris keluarga konglomerat Ornadi Corp, perusahaan multi-nasional. Irene dididik menjadi wanita tangguh, mandiri, dan cerdas.
Ayahnya, Reza Ornadi, menikah lagi dengan wanita ambisius bernama Vania Kartika. Dari pernikahan itu, lahirlah Cassandra, adik tiri Irene yang manis di depan semua orang, namun menyimpan ambisi gelap untuk merebut segalanya dari kakaknya, dengan bantuan ibunya yang lihai memanipulasi. Irene difitnah dan akhirnya diusir dari rumah dan perusahaan.
Irene hancur sekaligus patah hati, terlebih saat mengetahui bahwa pria yang diam-diam dicintainya, bodyguard pribadinya yang tampan dan cekatan bernama Reno ternyata jatuh cinta pada Cassandra. Pengkhianatan bertubi-tubi membuat Irene memilih menghilang.
Dalam pelariannya, Irene justru bertemu seorang pria dingin, arogan, namun karismatik bernama Alexio Dirgantara seorang bos mafia pemilik kasino terbesar di Asia Tenggara.
Ikuti perjalanan Irene menuju takdirnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kara_Sorin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertarungan Bisnis dan Janji dalam Bayangan
Kabut tipis menyelimuti markas besar Valtherion pagi itu. Dari jendela lantai atas, tampak langit kelabu seolah mencerminkan suasana hati Irene yang semakin gelisah. Di balik penampilannya yang dingin dan tegas, ada tekanan luar biasa yang menindih pikirannya.
Strategi untuk menyusup ke Ornadi Corp melalui jalur resmi telah gagal. Cassandra bergerak lebih cepat dan lebih lihai dari perkiraannya. Irene tahu waktu tidak berpihak padanya.
***
Alexio baru saja kembali ke markas setelah satu hari menghilang. Tanpa basa-basi, Vincent menyampaikan bahwa Alex ingin bertemu Irene segera. Tak lama, Irene dipanggil masuk ke ruang kerja Alexio.
Ruang kerja itu masih seperti biasanya, dinding gelap elegan dengan rak penuh buku hukum, strategi perang, dan dokumen keuangan tebal. Meja kayu hitam besar berdiri angkuh di tengah ruangan. Di baliknya, Alexio duduk sambil membaca selembar berkas.
“Masuk,” ujarnya tanpa menoleh.
Irene melangkah mantap.
“Laporan Pelabuhan Timur,” kata Alexio singkat,
“Kerja bagus.”
Hanya dua kata itu, tapi Irene mengerti maknanya dalam dunia ini. Alexio menutup berkas dan memandangnya dalam.
“Ada yang ingin kau bahas?” tanya Irene.
Alexio mengangguk perlahan.
“Aku sedang mempertimbangkan kerjasama baru. Kita perlu diversifikasi. Cassandra, CEO Ornadi Corp menarik diri dari pembicaraan. Ada yang salah dan aku ingin tahu semua yang bisa kau gali.”
Irene duduk. Untuk pertama kalinya, mereka berbincang panjang. Bukan hanya soal strategi dan angka, tapi menyentuh filosofi kekuasaan dan kepercayaan. Alexio bertanya tentang sudut pandang Irene mengenai kekuasaan.
“Kepercayaan adalah fondasi kekuasaan,” kata Irene.
“Tapi jika terlalu percaya, kita akan dibunuh olehnya.”
Alexio menyipitkan mata.
“Menarik. Jadi menurutmu, kekuasaan perlu rasa curiga?”
“Tidak hanya perlu. Itu adalah syarat,” jawab Irene mantap.
Mereka saling menatap sejenak. Bukan tatapan musuh, bukan juga rekan kerja. Ada ketegangan halus, koneksi samar yang perlahan mulai tumbuh di antara dua jiwa yang selama ini menolak keintiman.
Kemudian Irene menyarankan rencana, “Jika kita tak bisa masuk lewat pintu depan Ornadi Corp, kita lumpuhkan reputasi mereka di pasar internasional. Lewat lembaga-lembaga bayangan yang pernah bekerjasama dengan kita di Asia Timur.”
Alexio terdiam sejenak, lalu berkata tenang, “Menarik. Aku akan mempertimbangkan.”
***
Di gedung kaca pusat kota, kantor utama Ornadi Corp berdiri megah. Di dalam ruang CEO yang dihiasi dengan lukisan-lukisan modern dan aroma parfum eksklusif, Cassandra duduk di depan meja besar kaca hitam sambil menerima panggilan video dari seseorang bernama Lucas.
Lucas, dengan senyum menawan dan gaya berbicara licin, menawarkan paket kerjasama yang tampak menggiurkan keuntungan ganda, dana investasi dari perusahaan cangkang, dan koneksi ke pasar Afrika Timur serta Eropa Tengah.
“Red Scorpio punya cara bermain yang lebih agresif dan cepat dari siapa pun. Kami bukan hanya mitra, Cassandra. Kami penyokong revolusi finansial,” kata Lucas dengan mata menyipit.
Cassandra menggigit bibir bawahnya, mempertimbangkan.
“Dan berapa besar komitmen awal yang bisa kalian beri?”
“Dua ratus juta dolar, cair dalam dua hari. Kami hanya butuh eksklusivitas.”
Cassandra menoleh ke jendela. Dunia di luar terlihat kecil dari lantai atas. Angka itu terlalu besar untuk ditolak. Ia tak memedulikan bahaya. Ambisinya membutakan segalanya.
“Baik,” jawab akhirnya.
“Tapi semua disalurkan lewat anak perusahaan kami di Swiss. Aku tak ingin nama Ornadi langsung tercoreng.”
Lucas tersenyum puas.
“Kami tahu caranya agar semuanya tampak bersih.”
Keputusan itu mengunci nasib Cassandra. Ia telah masuk ke dalam permainan besar dan ke dalam lubang harimau bernama Red Scorpio.
***
Sore itu, Vincent memanggil Irene ke ruang dokumentasi bawah tanah. Ruangan dingin dengan cahaya lampu neon putih dan lemari besi berisi data sensitif.
“Ini bukan soal laporan,” kata Vincent sambil menutup pintu.
“Aku hanya ingin kau tahu… meskipun kau lulus ujian dari kami, jangan pernah berpikir bahwa kau benar-benar aman.”
Irene mengangguk tenang.
“Aku tidak pernah merasa aman.”
Vincent menatap tajam.
“Satu celah dalam loyalitasmu, sekecil apapun, dan aku sendiri yang akan menghapusmu.”
“Aku mengerti,” jawab Irene.
“Tapi kalau aku boleh bicara… Jika aku punya niat menghancurkan Valtherion, aku tidak perlu melakukan semua ini sejauh ini.”
Vincent diam sejenak.
“Itu justru yang membuatmu berbahaya.”
Mereka bertukar pandang sejenak sebelum Irene melangkah pergi, meninggalkan udara dingin yang semakin pekat di ruangan itu.
***
Malam itu, di ruang perawatan rumah sakit dengan dinding hijau pastel yang pudar, Irene duduk di samping ranjang ayahnya. Monitor detak jantung berdetak pelan, tenang. Clara, yang menyamar sebagai perawat, duduk di dekat pintu, mengawasi. Irene menggenggam tangan ayahnya yang dingin dan kaku.
“Papa… aku hampir sampai. Tunggu aku,” bisiknya.
Air mata hampir jatuh, tapi ia tahan. Ia memejamkan mata, mengingat kenangan saat kecil.
Di ruang tamu rumah mereka yang dulu, ayahnya mengajarinya bermain catur.
“Yang sabar akan bertahan di tengah badai,” kata ayahnya.
Kata-kata itu selalu membekas dan kini badai itu ada di depan matanya.
***
Di ruang tembak bawah tanah, suara tembakan senapan otomatis menggema. Jay sedang membersihkan senjata, sementara Davin duduk di atas peti amunisi sambil menggigit batang cokelat.
“Aku mulai tidak mengerti kenapa Alexio memberikan banyak peran penting pada Rin,” gumam Jay.
Davin tersenyum setengah mengejek.
“Mungkin karena dia satu-satunya orang yang bisa menatap mata Alexio tanpa takut.”
Jay menoleh.
“Itu bukan alasan yang cukup.”
“Bukan soal cukup atau tidak,” kata Davin.
“Kalau Alex mulai melihat seseorang bukan hanya sebagai pion… itu biasanya pertanda dua hal, kekacauan… atau cinta.”
Jay terdiam. Kata-kata itu menempel di pikirannya lebih lama dari yang ia duga.