Sebuah surat undangan dari seorang penulis ternama di kabupaten T yang ditujukan kepada teman teman sekelasnya di masa SMA dulu.
Mereka diundang untuk berkunjung ke rumah sang penulis. Rumah unik, dua lantai, semacam villa yang terletak di tepi sungai jauh di dalam hutan di kecamatan K.
Akses ke rumah tersebut hanyalah jalan setapak, sekitar 10 kilometer dari jalan utama. Siapapun yang memenuhi undangan akan mendapatkan imbalan sebesar 300 juta rupiah.
Banyak keanehan dan misteri dibalik surat undangan tersebut. Dan semua itu terhubung dengan cerita kelam di masa lalu.
Seri ketiga dari RTS.
Setelah seri pertama Rumah di Tengah Sawah (RTS 1), kemudian disusul seri kedua Rumah Tusuk Sate (RTS 2), kini telah hadir seri ketiga Rumah Tepi Sungai (RTS 3).
Masih tetap mencoba membawa kengerian dalam setiap kata dan kalimat yang tersusun. Semoga suka, dan selamat membaca.
Follow Instagram @bung_engkus
FB Bung Kus Nul
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Luka di kaki
Ellie dan Norita berdiri tertegun di depan lemari kayu dalam kamar tamu. Lalat lalat hijau bergerak liar menghiraukan dua manusia yang ragu ragu untuk membuka pintu lemari.
Ellie sudah beberapa kali menelan ludah. Tenggorokannya tercekat, kengerian dan rasa takut menguasai relung hatinya. Namun di sisi lain, rasa penasaran dan keinginan untuk membuktikan prasangkanya sangat kuat. Ellie harus membuka lemari itu, dan melihat apa yang ada di dalamnya.
"Nori, berjanjilah padaku apapun yang akan kita lihat nanti di dalam lemari, kamu tak boleh berteriak, tak boleh berlari, apalagi pingsan. Kuasai dirimu dan tetaplah berada di belakangku," ucap Ellie lirih.
Norita semakin ngeri mendengar ucapan Ellie. Meski demikian dia pun memiliki rasa penasaran yang sama seperti Ellie. Rasa penasaran yang tak bisa ditolak.
Dengan tangan gemetar, Ellie menarik pintu lemari. Perlahan lemari terbuka, memberi jalan lalat lalat hijau untuk masuk dan menyerbu sesuatu yang ada di dalamnya.
Ketika lemari terbuka sepenuhnya, Ellie dan Norita hanya bisa berdiri mematung. Apa yang mereka lihat adalah sesuatu yang benar benar mengerikan. Jangankan untuk berteriak, bersuara pun tak bisa. Mulut serasa terkunci rapat, lubang tenggorokan terasa menyempit.
Norita mencengkeram dengan sangat erat lengan Ellie. Kuku kukunya yang panjang, menghujam ke kulit Ellie hingga menimbulkan luka. Namun Ellie tak merasakannya. Perih akibat luka di lengannya tertutupi oleh rasa takut, jijik dan ngeri.
Di dalam lemari sesosok mayat yang tak utuh tersumpal dan terjepit dalam kondisi yang tak lazim. Sebuah perbuatan yang tidak manusiawi. Terlihat jelas mayat itu adalah Yodi. Bagian kepala masih utuh, sementara bagian tubuhnya tersisa separuh di jejalkan begitu saja dalam lemari pakaian.
Dengan sisa sisa keberaniannya, Ellie menutup lemari perlahan. Sudah belasan kali Ellie menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang kering karena ketakutan.
"Nori," Ellie memanggil Nori yang terus mencengkeram lengannya.
Norita diam saja tak bergeming. Tatapan matanya kosong, seperti orang linglung.
"Norita! Hei!" Ellie sedikit membentak.
Norita tersentak kaget. Kemudian melepaskan cengkeraman tangannya. Nampak kuku jari tangannya berwarna merah akibat lengan Ellie yang terluka.
"Ellie. . .aku takutt," Norita mulai menangis. Bulir bulir air mulai mengalir dari sudut mata penyanyi cantik itu.
"Tenanglah," ucap Ellie sambil menghela nafas.
Sejatinya Ellie pun sama gusarnya dengan Norita. Dia pun ingin menangis, berteriak dan lari sejauh jauhnya. Namun, hal itu urung dilakukan. Untuk saat ini berdiam di dalam rumah adalah pilihan paling aman. Karena di luar sana, Ellie tidak tahu siapa penjahat bengis yang telah menghilangkan nyawa Dipta dan Yodi. Yang jelas pelakunya adalah salah satu teman lamanya yang saat ini sedang berkeliaran di luar rumah.
Ellie memeluk Norita, berusaha menenangkan Norita sekaligus memulihkan mentalnya sendiri. Sebuah pelukan hangat nyatanya sama sama mereka butuhkan untuk sekarang ini.
"Sebaiknya kita kembali ke kamar Tia, sambil menjernihkan pikiran. Langkah apa yang sebaiknya kita ambil setelah ini, harus kita pikirkan matang matang," ucap Ellie dibalik pelukan eratnya pada Norita.
Norita mengangguk setuju. Dalam benaknya dia mulai menyesali kedatangannya ke rumah tepi sungai ini. Uang bisa dicari tapi nyawa tak bisa diganti. Tak pernah terbayangkan sebelumnya dia bakal terjebak di pelosok hutan bersama seorang pembunuh berdarah dingin.
Setelah sedikit tenang, Ellie dan Norita sepakat untuk kembali ke kamar Tia. Setelah menutup pintu kamar tamu, Ellie dan Norita bersiap untuk menapaki anak tangga menuju lantai dua. Saat itulah Mak Ijah tiba tiba muncul dari arah dapur.
"Nona berdua darimana?" Tanya Mak Ijah dengan ekspresi datar. Raut muka yang terasa menyebalkan sekaligus menyeramkan.
"Ah, baru keliling keliling saja kok Mak," jawab Ellie cepat, sebelum Norita membuka mulutnya.
Ellie merasa tak perlu memberitahu Mak Ijah apa yang telah dilihatnya. Atau jangan jangan malah sebenarnya Mak Ijah sudah tahu. Perempuan itu kan yang bertugas sebagai asisten rumah tangga di rumah ini, sudah tentu dia yang membersihkan dan membereskan setiap sudut rumah, termasuk kamar tamu. Jadi, kemungkinan besar wanita tua itu tahu keberadaan mayat Yodi.
Ellie menggandeng Norita, mengajaknya untuk segera kembali ke kamar Tia. Ellie mempercepat langkah menaiki anak tangga tanpa mempedulikan Mak Ijah yang menatapnya dengan ekspresi wajah yang selalu sama.
Sesampainya di kamar, Ellie segera memeriksa kondisi Tia. Suhu tubuhnya sudah mulai menurun. Meski matanya masih terpejam, namun wajahnya terlihat sudah tak terlalu pucat.
"Sekarang kita harus gimana Ell?" Tanya Norita sambil duduk di sudut kamar. Lututnya tertekuk, dia menggigiti kuku tangannya sendiri tanpa sadar.
"Kita harus menunggu yang lain kembali ke rumah," jawab Ellie. Dia mengusap peluhnya menggunakan tissue milik Tia.
"Menurutmu siapa yang melakukan hal sekeji itu?" Norita kembali bertanya.
"Entahlah. Semua orang adalah tersangka Nori. Jangan mudah percaya pada orang lain di rumah ini."
"Termasuk kamu Ell?" Norita menatap tajam pada Ellie.
"Ya tentu. Termasuk aku," Ellie mengangguk.
Setelahnya mereka berdua terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing masing. Norita merogoh HP yang ada di sakunya. Terdengar nada tanda bateri melemah. Dengan segera, Norita mencari cari charger yang ada di kamar Tia. Setelah mendapatkan charger yang entah milik siapa, Norita memainkan game offline di HP nya untuk mengusir kecemasan.
Beberapa saat lamanya, suasana rumah benar benar hening, sepi dan sunyi. Hingga akhirnya terdengar sebuah suara dari lantai bawah. Suara seperti seseorang meminta bantuan.
Ellie segera keluar kamar dan melihat apa yang terjadi di bawah. Ternyata Iva sedang merangkul dan membantu Hendra yang terlihat kesulitan berjalan.
"Ellie, bantu aku. Tolong bawakan alkohol untuk membersihkan luka di kaki Hendra," ucap Iva setengah berteriak.
Ellie dengan sigap segera mengambil kotak P3K yang ada di kamar Tia. Kemudian dia turun ke lantai dasar. Norita mengekor, menyusul di belakang Ellie.
"Apa yang terjadi? Hendra kenapa?" Tanya Ellie, sembari membuka kotak P3K. Kemudian mengeluarkan alkohol, kapas, dan kain kasa.
"Aku terpeleset," jawab Hendra sambil meringis kesakitan.
Ellie memang bukan petugas medis, namun karena dia juga beberapa kali membaca buku tentang pengobatan darurat, sedikit banyak dia bisa melakukan pertolongan pertama dengan cukup baik.
Saat Ellie tengah membersihkan luka di kaki Hendra, datanglah Pak Mardoyo dan Bayu. Penjaga rumah itu merangkul Bayu yang kesulitan berjalan. Ternyata Bayu juga mengalami luka di kakinya yang sebelah kiri. Beberapa bagian tubuhnya juga tampak memar.
"Kenapa lagi ini?" Ellie bertanya heran.
"Tadi saya menemukannya terbaring di jalanan bebatuan tengah hutan sana," ucap Pak Mardoyo.
"Aku terpeleset dan jatuh. Untung Pak Mardoyo menemukanku," jawab Bayu sambil meringis kesakitan.
Bayu kemudian duduk di sebelah Hendra yang sudah selesai mendapatkan pertolongan pertama.
"Kamu kenapa Hen?" Tanya Bayu.
"Sama sepertimu, aku baru terpeleset di tepi hutan sana," jawab Hendra menerangkan.
"Emm, Tuan, Nona saya permisi dulu. Mau bebersih," Pak Mardoyo undur diri ketika merasa tugasnya sudah selesai.
Pak Mardoyo bergegas berjalan menuju ke kamar mandi. Saat melewati dapur ternyata dia bertemu Mak Ijah yang tengah memotong motong sayuran.
"Darimana?" Tanya Mak Ijah datar.
"Hutan," jawab Pak Mardoyo singkat.
"Kakimu kenapa, jalanmu terlihat aneh?" Mak Ijah bertanya kembali setelah memperhatikan cara jalan Pak Mardoyo yang tidak biasa.
Mak Ijah sudah hafal betul dengan gestur dan gerak tubuh Pak Mardoyo. Karena mereka berdua sudah lama bekerja bersama di rumah besar tersebut.
"Jangan banyak tanya. Tugas kita bukan untuk banyak cakap. Tugas kita adalah mengikuti perintah 'Tuan'. Apapun itu," ucap Pak Mardoyo sambil pergi berlalu. Betis sebelah kiri Pak Mardoyo nampak mengeluarkan darah yang membasahi celana kumalnya.
Bersambung ___
semoga karya ini hanya akan dipandang sebagai cerita semata. jujur saja saya pribadi agak khawatir karena mungkin bagi sebagian orang yang terganggu mentalnya dan membaca novel ini, akan ada kecenderungan untuk mengidolakan tokoh Bayu lalu membenarkan segala tindakannya.
lebih tepat menggunakan kata terbenam atau turun atau menghilang.
Matahari mulai terbenam ke arah barat daya.
Matahari mulai turun ke arah barat daya.
Matahari mulai menghilang ke arah barat daya.