Sejak kecil, Anul hanya dikenal sebagai anak yatim piatu tanpa asal-usul yang hidup di sebuah desa kecil. Tubuhnya tak pernah terluka meski dihajar, senyumnya tetap hangat meski dirundung.
Namun, siapa sangka di balik kesederhanaannya tersimpan rahasia besar?
Darah yang mengalir di tubuhnya bukanlah darah manusia biasa. Takdir telah menuliskan namanya sebagai pewaris kekuatan yang mampu mengguncang langit dan bumi.
Dari anak yang diremehkan, Anul akan melangkah menuju jalan bela diri, mengalahkan musuh-musuh kuat, hingga akhirnya menaklukkan Sepuluh Ribu Semesta.
Perjalanan seorang yatim piatu menuju takdir yang tak bisa dihindari pun dimulai!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Employee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Asing di Lembah Antara Tiga Gunung
“Hajar! Terus hajar dia!”
“Dasar bajingan tak berbapak!”
Suara seruan itu menggema di jalan tanah sebuah desa yang diapit oleh tiga gunung. Tanah yang lembap selepas hujan, dipenuhi jejak kaki kecil yang berlari riuh.
Tubuh-tubuh mungil, anak-anak berumur sepuluh hingga lima belas tahun, bergerak liar. Tangan-tangan kecil itu menghantam, kaki-kaki mungil menendang, semuanya tertuju pada seorang pemuda yang terbaring di tanah.
Dari kejauhan, pemandangan itu seperti sekawanan anjing kecil yang ramai-ramai menyerang seekor harimau yang tertidur.
Namun, pemuda yang mereka pukuli bukanlah maling, bukan pula orang jahat. Usianya tak jauh berbeda dengan mereka, hanya saja tubuhnya lebih tegap, wajahnya lebih tenang, dan sorot matanya terlalu dalam bagi anak seusianya.
Yang aneh, setiap pukulan, setiap tendangan, tak meninggalkan bekas. Tak ada darah, tak ada lebam. Pemuda itu hanya meringkuk sebentar, lalu meregangkan tubuhnya seolah sedang berbaring menikmati pijatan kasar.
Kedua matanya terpejam, napasnya teratur. Seakan-akan yang menimpa dirinya bukanlah hujan pukulan, melainkan tiupan angin sore yang menenangkan.
“Hei! Berhenti! Apa yang kalian lakukan!”
Sebuah suara tua, serak namun berwibawa, membuyarkan keributan. Bocah-bocah itu sontak menoleh, wajah mereka pucat begitu melihat Mak Ijah bergegas menghampiri.
Wanita tua itu, meski punggungnya bungkuk, langkahnya masih cepat. Rambutnya beruban, matanya cekung, namun tatapannya tajam. Bocah-bocah itu bubar lari bagaikan anak ayam dikejar elang. Tinggallah debu yang berterbangan, melayang bersama napas terengah mereka yang kabur.
Mak Ijah menunduk, melihat tubuh pemuda itu. Kini ia sudah bangkit, berdiri santai sambil merenggangkan sendi, seakan baru bangun dari tidur siang.
“Dasar anak-anak nakal! Berani-beraninya merundung orang yang tak melawan. Tunggu saja, akan ku adukan pada orang tua mereka!” Mak Ijah mengomel, wajahnya berkerut penuh amarah.
Namun pemuda itu hanya terkekeh. “Mak, jangan marah-marah. Gigi Mak Ijah sudah banyak yang copot. Kalau terus mengomel... Aku takut gigi yang tersisa nanti juga ikut rontok.”
“Bocah edan!” Mak Ijah mendengus. “Kau kira aku marah karena apa? Kalau terus membiarkan diri dipukuli, suatu saat mereka akan melukaimu sungguhan. Apa kau ingin mati sia-sia?”
“Aih, Mak…” Pemuda itu mengangkat bahu. Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Sekuat apa pun mereka memukul, tubuhku tak akan terluka. Anggap saja mereka memberi pijatan gratis untuk menghilangkan pegal setelah kerja di ladang.”
Mak Ijah tercekat. Ia sudah lama tahu, anak ini berbeda. Tubuhnya aneh, tak pernah lecet meski dihantam berkali-kali. Kadang ia bahkan lebih cemas pada misteri yang menyelimuti bocah itu ketimbang pukulan yang diterimanya.
Setelah diam sesaat, Mak Ijah menghela napas. “Habis mandi, datanglah ke ladangku. Encok ku kambuh lagi, bantu aku mencabuti gulma.”
Sorot mata pemuda itu berbinar, senyumnya tulus. Ia mengangguk, lalu melangkah pulang.
Nama pemuda itu adalah Anul.
Sejak bayi, ia sudah menjadi teka-teki. Tak seorang pun tahu dari mana ia berasal. Ada yang berkata ia hanyut dari hulu sungai lalu ditemukan warga. Ada pula yang berbisik ia anak haram yang dibuang di depan pintu orang lain. Bahkan, cerita paling konyol menyebut ia jatuh dari langit dan menimpa Mak Ijah hingga giginya rontok separuh.
Namun semua itu hanyalah gosip. Tak ada satu pun yang tahu kebenarannya.
Meski begitu, generasi tua di desa sangat menyayanginya. Bagi mereka, Anul adalah berkah. Sejak umur enam tahun ia sudah rajin membantu siapa pun—membajak ladang, menggembala ternak, menimba air. Tak pernah meminta upah, tak pernah mengeluh.
Di usia tiga belas tahun, otot-ototnya terbentuk, gerakannya cekatan, wajahnya bersih dengan senyum yang selalu hangat.
Namun justru itulah yang membuat sebagian anak desa membencinya. Mereka iri, sebab orang tua mereka kerap memuji Anul dan membanding-bandingkan.
“Lihatlah Anul, meski yatim piatu dia rajin bekerja. Kapan kau mau belajar sepertinya?”
Ucapan itu menusuk hati para bocah malas. Hingga akhirnya mereka melampiaskan dengki dengan memukuli sumber rasa malu itu—Anul.
Namun, meski dihajar berulang kali, Anul tak pernah melawan. Bukan karena ia lemah, melainkan karena ia tak tega. Baginya, para orang tua di desa adalah keluarga, maka anak-anak mereka pun seperti saudara. Bagaimana mungkin ia tega melukai mereka?
Yang lebih aneh lagi, selama bertahun-tahun tubuh Anul tak pernah benar-benar terluka. Seolah-olah dirinya terbuat dari baja yang dibungkus daging manusia. Bahkan ia sendiri mulai menyadari—ada sesuatu dalam dirinya yang bukan milik orang biasa.
Sore itu, selepas mandi di sungai, Anul duduk di atas batu besar di tepi air. Aliran sungai memantulkan cahaya jingga, sementara dedaunan bambu berdesir oleh angin pegunungan.
Ia menatap telapak tangannya. Kulitnya mulus, tak ada bekas pukulan. Padahal tadi pagi ia dihajar belasan anak. Hatinya bergemuruh.
“Kenapa aku berbeda…?” gumamnya.
Ingatan samar muncul: wajah kabur seorang wanita yang menangis, suara keras bagaikan guntur, lalu keheningan panjang. Namun ingatan itu hanya sekelebat, selalu hilang sebelum jelas.
“Jika benar aku bukan anak desa ini… siapa sebenarnya orang tuaku?”
Pertanyaan itu berputar dalam kepalanya, tapi segera ia tepis. Senyumnya kembali terukir. “Ah, tidak penting. Yang penting aku punya keluarga di sini. Semua orang tua di desa sudah cukup bagiku.”
Ia bangkit, mengangkat kendi air, lalu berjalan menuju ladang Mak Ijah.
Di ladang, Mak Ijah sudah menunggu sambil duduk di pematang. Tangannya memegangi pinggang, wajahnya meringis.
“Ah, encok tua ini makin menjadi-jadi,” keluhnya.
Anul segera turun tangan. Dengan cekatan ia mencabut gulma, membersihkan tanah, bahkan membawakan air minum untuk Mak Ijah.
Melihat itu, Mak Ijah tersenyum getir. “Andai anakku dulu sebaik engkau, mungkin aku tak akan hidup sendirian begini.”
Anul menoleh, matanya lembut. “Mak, jangan bicara begitu. Bukankah aku sudah seperti anak Mak sendiri?”
Wanita tua itu terdiam, lalu meneteskan air mata. Ia tak menjawab, hanya mengelus kepala Anul. Dalam hatinya, ia tahu bocah ini bukanlah sembarang anak. Ada sesuatu yang kelak akan mengguncang dunia persilatan, tersembunyi dalam tubuh Anul yang tampak biasa.
Malam menjelang. Desa kecil itu sunyi, hanya suara jangkrik dan desau angin gunung yang sesekali terdengar. Di bawah cahaya bulan, Anul berbaring di atap rumah kecilnya. Matanya menatap bintang-bintang yang bertabur di langit.
“Sepuluh ribu bintang, sepuluh ribu semesta…” bisiknya lirih. Entah mengapa, kata-kata itu muncul begitu saja dari hatinya. Seakan ada sesuatu yang berbisik dari langit.
Angin bertiup kencang, bulu kuduknya meremang. Untuk sesaat, ia merasa seolah seluruh alam menatapnya.
Anul mengepalkan tangan, “entah siapa aku sebenarnya, tapi aku berjanji… aku akan melindungi desa ini, melindungi semua orang yang sudah menganggap aku keluarga.”
Di kejauhan, kilatan cahaya samar terlihat menutupi puncak ketiga gunung itu. Tak seorang pun di desa menyadarinya, termasuk Anul. Itu adalah pertanda, awal dari takdir besar yang menantinya.