Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 : Ibu
Begitu kereta kuda mewah milik klan Lin menghilang dari pandangan, Jiang Shen menarik napas dalam-dalam lalu menepuk-nepuk pakaiannya yang lusuh. Ia tidak langsung pulang, melainkan membelokkan langkah menuju kamar dagang terbesar di kota Jinan.
Bangunan kamar dagang itu menjulang megah dengan papan kayu hitam bertuliskan huruf emas, aroma rempah, kain sutra, dan logam berharga memenuhi udara di sekitarnya. Orang-orang sibuk keluar masuk, ada yang menjual, ada yang membeli. Jiang Shen yang berpakaian robek-robek langsung mendapat beberapa tatapan heran, bahkan ada yang mencibir seakan ia hanya pengemis yang salah masuk tempat. Namun ia mengabaikan semuanya dan langsung menuju meja penerimaan barang.
“Apa yang ingin kau jual, anak muda?” tanya seorang pegawai dengan nada malas, jelas menilai Jiang Shen tidak akan membawa sesuatu yang berharga.
Tanpa banyak bicara, Jiang Shen mengeluarkan sebuah kantong kulit hewan dan menuangkan isinya ke meja. Dalam sekejap, 40 inti jiwa beast spiritual tingkat 1 berkilauan di bawah cahaya lampu minyak.
Tatapan pegawai itu langsung berubah, rasa malas hilang seketika, digantikan keterkejutan. “I-inti jiwa … dan jumlahnya sebanyak ini?”
“Ya,” jawab Jiang Shen singkat, “harga pasaran menurut catatan, tiga koin perak untuk tiap inti.”
Pegawai itu menelan ludah. “Benar … benar … kami akan membelinya.”
Ia segera menghitung dengan teliti, lalu menyerahkan sebuah kantong uang yang berat ke tangan Jiang Shen. Total 120 koin perak.
Mata uang di dunia ini:
1 koin emas \= 100 koin perak.
1 koin perak \= 100 koin tembaga.
Di atas mata uang biasa, terdapat batu spiritual—sumber energi murni yang sangat berharga bagi kultivator. Batu spiritual terbagi dalam 3 tingkatan, dari tingkat 1 yang umum, hingga tingkat 3 yang langka dan diperebutkan. Batu ini biasanya digunakan untuk menukar sumber daya kultivasi, ramuan, atau pusaka.
Dengan kantong perak di tangan, Jiang Shen menelusuri aula kamar dagang. Pandangannya tertarik pada sebuah tungku hitam tua yang teronggok di pojok, penuh karat dan debu. Barang itu jelas sudah lama tidak laku, bahkan nyaris dilupakan.
“Berapa harga tungku itu?” tanya Jiang Shen.
Seorang penjaga toko menoleh sekilas lalu menghela napas. “Itu? Hanya satu koin perak. Sudah bertahun-tahun tak ada yang mau membelinya. Kau sungguh ingin?”
“Ya.” Jiang Shen langsung mengeluarkan satu koin perak dan menukar tungku itu. Walau tampak tak berharga, ia berpikir selama bisa dipakai untuk membuat pil, itu sudah cukup baginya.
Setelah itu, Jiang Shen berjalan menuju bagian pakaian. Ia membeli beberapa setel baju sederhana namun layak, mengganti pakaiannya yang compang-camping. Kini ia tidak lagi terlihat seperti pengemis, setidaknya seperti pemuda desa biasa yang bersih.
Barulah setelah semua urusan selesai, Jiang Shen meninggalkan kamar dagang. Langkahnya mantap menuju desa kecil di pinggiran kota Jinan, tempat ibunya menunggu.
Hatinya berdegup kencang. Ia tahu ibunya pasti sangat cemas karena peristiwa penyerangan oleh gorila ekor emas itu. Dengan membawa pakaian baru, kantong penuh koin, dan sebuah tungku tua yang mungkin akan menjadi awal langkah barunya, Jiang Shen tidak sabar lagi untuk mengetuk pintu rumah sederhana itu dan berkata:
“Ibu, aku pulang.”
...
Setelah berjalan beberapa saat, Jiang Shen berhenti di depan rumah reyot yang sudah sangat dikenalnya. Dinding bambu tua yang mulai lapuk, atap jerami yang tampak miring, dan pintu kayu yang berderit setiap kali digerakkan, semua itu adalah tempat ia tumbuh bersama ibunya. Malam itu lampu minyak kecil menyala samar dari dalam rumah, memberi kehangatan di balik kesederhanaan.
Dengan jantung berdebar, Jiang Shen mendorong pintu kayu. “Ibu … aku pulang.”
Seorang wanita paruh baya yang kurus dengan rambut sebagian memutih tersentak. Wajahnya dipenuhi keriput tanda kerja keras dan penderitaan, ia adalah Jiang Yun. Mata tuanya membelalak lebar, tubuhnya bahkan bergetar melihat pemuda dengan pakaian baru, raut wajah lebih bersih, dan tubuh yang tampak berbeda.
“Si … siapa kau?” suaranya parau, tidak percaya. “Anak … anakku Jiang Shen sudah pergi ke hutan Yulong … dia pasti sudah—”
“Ibu! Ini aku, Jiang Shen.” Pemuda itu segera berlutut di hadapannya, menggenggam tangan ibunya yang kurus dan penuh keriput. “Aku benar-benar anakmu, lihat baik-baik wajahku. Aku masih hidup, Ibu … aku masih hidup.”
Air mata Jiang Yun langsung pecah. Ia menutup mulut dengan tangan, gemetar hebat, seakan mimpi buruk panjangnya baru saja dipatahkan. “Shen’er … Shen’er! Kau sungguh … oh langit … kau masih hidup!” Ia meraih putranya dan memeluknya erat, tubuh kurusnya bergetar hebat dalam pelukan itu.
Namun ketika Jiang Shen mengeluarkan kantong kulit penuh koin perak dan meletakkannya di atas meja reyot, Jiang Yun langsung terkejut setengah mati. Suaranya meninggi karena panik.
“Dari … dari mana kau mendapatkan ini?! Jangan bilang kau mencuri, Shen’er! Kalau sampai orang tahu, kita akan dicap pencuri dan … dan—”
“Ibu, tenanglah.” Jiang Shen segera menenangkan dengan suara tegas namun lembut. Ia lalu menceritakan semuanya setenang mungkin, “Aku mendapatkan semua ini dari inti jiwa beast tingkat 1. Aku berburu di hutan Yulong … aku berhasil membunuh mereka … lalu menjualnya di kamar dagang.”
Jiang Yun menatapnya dengan wajah pucat. “Tapi … bagaimana mungkin … seorang anak desa miskin sepertimu bisa keluar hidup-hidup dari hutan itu? Itu mustahil … Shen’er, jangan menipuku …”
Jiang Shen terdiam sejenak, matanya sedikit meredup. Ia tahu jika ia mengungkapkan kebenaran tentang warisan Sesepuh Hun Zhen, itu hanya akan membuat ibunya khawatir lebih dalam. Maka ia hanya berkata singkat, “Aku … aku beruntung. Ada seseorang yang menolongku keluar. Tanpa dia, mungkin aku sudah tidak bisa kembali, Ibu.”
Mendengar itu, Jiang Yun akhirnya menghela napas panjang. Air matanya jatuh lagi, kali ini bercampur antara syukur dan kelegaan. “Yang penting kau selamat, Shen’er. Harta atau apapun tidak ada artinya bagiku … asal kau pulang dengan selamat, itu sudah lebih dari cukup.”
Ia kembali meraih tangan anaknya, menggenggam erat seakan takut Jiang Shen akan hilang lagi.
Malam itu rumah reyot mereka yang biasanya dingin terasa hangat untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiang Shen menatap ibunya yang sudah menua dan tubuhnya yang rapuh, dalam hati ia bersumpah—
“Aku, Jiang Shen, tidak akan membiarkan Ibu hidup menderita lagi. Demi Ibu … aku akan menapaki jalan kultivasi, walau penuh darah dan bahaya.”
di sini MC masih naif !
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.