Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 31
✨ Versi Revisi:
***
Malam itu, kamar Faizan hanya diterangi cahaya lampu meja kecil. Asap rokok tipis mengepul dari jarinya, menari perlahan di udara, membentuk pusaran yang akhirnya menghilang di udara dingin. Tapi bahkan asap itu pun tak mampu menenangkan gejolak yang bergolak di dadanya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke arah jendela. Di luar sana, langit Jakarta berkilau oleh lampu kota, tapi bagi Faizan, semua itu tampak redup dan tak berarti.
Ketika ponselnya bergetar di meja balkon, pikirannya langsung terfokus. Nama Fandi muncul di layar. Ia segera menggeser tombol hijau.
“Ya, katakan,” suaranya rendah tapi penuh tekanan.
“Bro… gue udah dapat titik temunya.” Suara Fandi terdengar serius di seberang. “Alea sekarang ada di sebuah desa kecil di luar kota. Gue dapet info dari warga yang ngeliat dia turun dari mobil travel beberapa hari lalu.”
Tubuh Faizan menegang. “Desa mana?” tanyanya cepat, nada tegas, nyaris tanpa jeda.
“Desa Cempaka. Dua jam dari Jakarta. Gue udah kirim share location ke WA lo,” jawab Fandi. Lalu, setelah jeda singkat, suaranya menurun. “Tapi, bro… kayaknya Alea sengaja ke sana. Ada yang nampung dia.”
Faizan terdiam sejenak. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam menembus layar ponsel. “Gue nggak peduli siapa yang nampung dia. Besok pagi, kita berangkat. Alea harus balik.”
“Faiz, lo yakin? Besok kan ada rapat besar sama investor,” suara Fandi mencoba mengingatkan, tapi terdengar ragu.
Faizan menatap jauh ke luar jendela. Gemerlap lampu kota memantul di matanya yang kini tampak dingin.
“Gue nggak punya pilihan, Fan. Mama yang minta. Dan lo tahu, gue nggak bisa biarin Mama kecewa. Besok, siapin mobil. Kita berangkat pagi-pagi.”
Hening sesaat di seberang, lalu terdengar helaan napas Fandi.
“Oke, bro. Gue siap.”
Sambungan telepon berakhir. Faizan menatap layar yang perlahan gelap, lalu menekannya ke meja hingga terdengar bunyi berat thud. Dalam hening, ia menegakkan tubuhnya, menatap langit malam di balik kaca.
“Besok, Alea… mau atau nggak mau, lo harus pulang,” gumamnya pelan, penuh tekad—dan sedikit luka yang tak ia akui.
_-_-_-
Pagi itu
Langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis, sisa hujan semalam membuat jalanan tampak basah dan berkilau. Mobil hitam yang ditumpangi Faizan dan Fandi melaju stabil menembus udara dingin pagi.
Faizan duduk di kursi depan, diam. Tatapannya lurus ke depan, rahangnya mengeras. Jemarinya mengetuk pelan pahanya—irama gelisah yang tidak ia sadari.
“Bro…” Fandi akhirnya bicara, pelan. “Lo udah siap kalau Alea nolak ikut lo balik?”
Faizan menoleh singkat, pandangannya dingin. “Gue nggak peduli. Yang gue tahu cuma satu—Mama nunggu dia. Dan Mama nggak bisa terus nunggu.”
Fandi menatapnya dari sudut mata, menghela napas panjang. “Lo sadar kan, apa yang lo lakuin ini bisa bikin Alea makin jauh?”
Faizan terdiam lama. Ia memejamkan mata, menarik napas berat, lalu berucap dengan suara yang nyaris serak, “Gue sadar. Tapi selama Mama masih butuh dia, gue bakal jalan terus.”
Tak ada lagi yang dibicarakan setelah itu. Hanya suara mesin dan deru angin yang mengiringi perjalanan mereka. Jalanan kota berganti jadi jalur pedesaan, diapit sawah luas yang hijau dan berembun.
“Setengah jam lagi sampai,” kata Fandi, menatap peta di dashboard. “Desa Cempaka. Tempat sepi banget buat ukuran pelarian.”
Faizan membuka mata, menatap keluar jendela. Pemandangan hijau itu terasa asing. Tenang, tapi menyakitkan—karena di sanalah Alea memilih menjauh darinya.
“Dia boleh kabur sejauh apa pun,” gumamnya lirih, “gue tetap bakal nemuin dia.”
***
Desa Cempaka
Mobil hitam itu akhirnya berhenti di jalan kecil dengan pepohonan rindang di kanan kiri. Udara desa begitu segar, jauh dari bising dan polusi kota. Fandi memperlambat laju mobil ketika melihat papan kayu bertuliskan “RT 03 Desa Cempaka No. 9.”
“Kayaknya ini rumahnya, Bro,” ucapnya pelan sambil menatap layar ponsel.
Faizan hanya mengangguk. Tatapannya menelisik rumah sederhana bercat putih dengan halaman penuh bunga. Dari dalam terdengar suara riuh—tawa, obrolan ibu-ibu, denting cangkir.
“Arisan, nih,” gumam Fandi sambil memarkirkan mobil di pinggir jalan.
Begitu mereka turun, suasana langsung berubah. Para ibu-ibu yang tadinya sibuk bercengkerama, kini saling menyikut dan berbisik.
“Ya ampun, siapa tuh?” “Ganteng banget, mirip artis Korea!” “Kalau tiap arisan ada yang begini, saya daftar jadi panitia, Bu!”
Faizan melangkah dengan langkah pasti, mengenakan kemeja hitam rapi. Aura dinginnya membuat beberapa ibu-ibu sampai terdiam. Sementara Fandi yang berjalan di belakangnya tampak lebih santai, tapi tetap menarik perhatian.
Di dalam rumah, Alea sedang sibuk menuang teh di dapur, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar. Ia hanya mendengar suara tawa yang semakin ramai dan berpikir itu bagian dari acara biasa.
Tante Mira yang mondar-mandir dari ruang tamu ke dapur tiba-tiba terhenti di ambang pintu. Matanya membulat, napasnya tercekat.
“Ya Allah…” bisiknya pelan. “Siapa dia?”
Faizan menunduk sopan. “Permisi, Bu.” Suaranya rendah tapi tegas.
Keramaian di ruang tamu mendadak menurun. Beberapa ibu mulai menahan senyum, sebagian lagi pura-pura menyesap teh sambil tetap mencuri pandang ke arah pria tinggi berwibawa itu.
Dari dapur, Alea keluar membawa nampan berisi cangkir-cangkir teh. Senyum lembut terukir di wajahnya—senyum yang segera memudar saat matanya menangkap sosok yang berdiri di tengah ruang tamu.
Langkahnya membeku.
Cangkir-cangkir di atas nampan bergetar hebat, menimbulkan bunyi cling… cling… yang memecah kesunyian mendadak.
Faizan berdiri di sana—tegak, dengan mata gelap yang memancarkan sesuatu antara rindu dan kemarahan.
“Alea…” suaranya rendah, tapi dalam.
Nafas Alea tercekat. Tangannya gemetar, hampir menjatuhkan nampan. Wajahnya pucat pasi.
“Apa…” suaranya nyaris tak terdengar. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Semua mata kini tertuju pada mereka berdua. Para ibu-ibu yang tadinya ramai kini menahan napas, seolah sedang menonton adegan dari drama yang terlalu nyata.
Faizan menatap Alea dalam-dalam, langkahnya maju satu langkah ke arah perempuan itu.
“Aku datang untuk menjemputmu pulang.”
Kata-kata itu meluncur pelan, tapi menggetarkan ruangan—dan hati Alea hancur seketika.
Air matanya hampir jatuh, tapi ia cepat menunduk, menahan perasaan yang berkecamuk.
...----------------...
Bersambung...
. udik bgt
novel sedang di ajukan oleh editor agar alurnya tetap seperti ini...
trimakasih sudah mau membantu Author yg lagi bimbang..
semoga kedepannya semakin baik yaa say..
/Kiss//Kiss//Kiss/