Aura, seorang penulis amatir dari keluarga miskin, terjebak dalam novel ciptaannya sendiri. Ia bangun di tubuh Aurora, selingkuhan jahat dari cerita Penderitaan Seorang Wanita. Padahal, dalam draf aslinya Aurora direncanakan mati tragis karena HIV, sementara sang istri sah, Siti, hidup bahagia bersama second male lead. Kini, Aura harus memutar otak untuk melawan alur yang sudah ia tulis sendiri, atau ikut binasa di ending yang ia ciptakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia Z.N, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika Anak Bicara
Malam itu, selepas pulang dari restoran, Siti masih menanggung beban berat di dadanya. Wajahnya yang letih tertutupi kerudung sederhana, namun sorot matanya tetap terlihat sayu. Ia menggelar sajadah di ruang tengah, mengajak anak perempuannya yang baru berusia delapan tahun untuk shalat berjamaah.
Suasana rumah terasa hening, hanya suara lantunan doa yang mengalun pelan memenuhi ruang. Setelah salam, Siti menunduk, membiarkan putri bungsunya mengecup tangannya dengan sopan. Bibir mungil itu menyentuh punggung tangannya dengan lembut, lalu menatap ibunya dengan mata penuh kepolosan.
Siti menatap balas wajah kecil itu, dan matanya langsung berkaca-kaca. Ada begitu banyak hal yang ingin ia tanyakan—tentang bagaimana putrinya memandang sosok sang ayah, tentang apa yang ia rasakan selama ini. Namun, suara itu tertahan di kerongkongan. Hatinya terlalu remuk untuk menanyakan hal seberat itu pada anak sekecil ini.
Tiba-tiba, suara pintu ruang tamu berderit terbuka. “Assalamu’alaikum!” terdengar suara ceria seorang anak laki-laki.
Siti menoleh, begitu pula putri bungsunya. Seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun masuk sambil menenteng sajadah kecil di lengannya, sarungnya masih melilit pinggang. Wajahnya berkeringat setelah pulang dari masjid, namun senyumnya tulus.
“Waalaikumsalam,” jawab Siti dan anak perempuannya hampir bersamaan.
Anak itu berlari kecil menuju ibunya, lalu menunduk mencium punggung tangannya dengan penuh hormat. “Farel pulang, Ibu,” ucapnya lirih tapi jelas.
“Selamat datang, sayang...” suara Siti serak, bergetar, dan penuh keletihan. Matanya berair, tidak bisa disembunyikan dari tatapan putra sulungnya.
Farel memandang ibunya dalam-dalam. Kedua alisnya berkerut, lalu nada suaranya berubah kesal. “Ibu kenapa menangis? Apa ayah yang membuat Ibu seperti ini? Apa lagi yang ayah lakukan pada Ibu?”
Pertanyaan itu menghantam hati Siti seperti belati. Ia terdiam, bibirnya bergetar tanpa bisa merangkai jawaban. ‘Anakku… bahkan di usiamu yang masih kecil, kamu sudah bisa membaca luka ini?’ Pikirannya kacau. Dengan sisa tenaga, ia menggeleng pelan, berusaha menyangkal. “Tidak, Nak. Ibu hanya... kelelahan saja.”
“Ibu...” suara kecil menyusul. Putri bungsunya, Kirana, mendekat dengan langkah pelan. Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang dipenuhi kekhawatiran. Suaranya lirih, seperti hendak pecah. “Kirana sudah berusaha menjadi anak baik yang tidak mengisahkan. Apa masih kurang untuk membuat Ibu tidak kelelahan? Kirana masih kurang menjadi anak baik, ya?”
Ucapan itu meremukkan hati Siti seketika. Napasnya tercekat, tubuhnya bergetar hebat. ‘Kirana... anak sekecil ini... kenapa harus merasa bersalah atas penderitaan ibunya sendiri?’
Ingatan lama menghantamnya.
---
Flashback
“Ini salahku! Aku yang tidak cantik seperti selingkuhan suamiku. Ini salahku! Aku yang tidak cukup baik sebagai seorang istri! Aku yang tidak becus menyenangkan suamiku!”
Siti muda menunduk di depan cermin, wajahnya basah oleh air mata, menyalahkan dirinya sendiri untuk dosa yang tak pernah ia lakukan. Kata-kata itu menggaung, terus menempel dalam benaknya, membentuk luka yang tak kunjung sembuh.
Flashback off
Siti menutup mulut dengan tangannya, tubuhnya berguncang hebat. ‘Ya Tuhan... bahkan anakku sendiri kini ikut mewarisi kebiasaan menyalahkan diri yang sama denganku...’
Farel mengepalkan tangannya, suaranya tegas dan getir. “Ibu, Kirana, kenapa kalian suka sekali menyalahkan diri kalian sendiri? Yang salah atas semua ini adalah Ayah! Ayah yang membuat Ibu menangis dan Ayah juga yang selama ini sudah bersikap pilih kasih dan tidak adil! Ayah hanya menyayangi Farel, tapi tidak menyayangi Kirana!”
Mata Siti membulat, tubuhnya menegang mendengar pernyataan lantang itu. “Nak, apa kamu merasa ayahmu juga pilih kasih padamu?” suaranya gemetar, hampir berbisik, namun penuh rasa takut mendengar jawaban sebenarnya.
Air mata Kirana akhirnya pecah. Gadis kecil itu menunduk dalam, bahunya bergetar hebat. “Ti- tidak... Itu... Itu salah Kirana. Kirana lemah dan bodoh, tidak seperti Kak Farel. Makanya Ayah—”
Siti langsung meraih putri kecilnya, memeluknya erat seolah hendak melindunginya dari seluruh dunia. Isakannya pecah tanpa bisa ditahan. Rambut Kirana yang harum sampo anak-anak kini basah oleh air mata ibunya.
“Maafkan Ibu, Kirana... Maafkan Ibu...” suara Siti patah-patah, nyaris tidak terdengar. “Ibu terlalu egois hingga selalu mengabaikan semuanya. Maafkan Ibu, Nak...”
Farel mengepalkan tangannya erat-erat, seolah ingin menahan gejolak amarah yang mendidih dalam dadanya. Kedua matanya memerah, melihat ibu dan adiknya menangis tanpa henti. Tubuh kecil itu bergetar, tetapi suara yang keluar dari bibirnya tetap terdengar tegas. "Kalian berdua... Berhentilah meminta maaf! Ini bukan salah kalian berdua!"
Tangisan di ruangan itu seketika mereda, hanya tersisa isakan lirih yang semakin menusuk hati. Suasana rumah terasa semakin mencekam, seolah hawa dingin merayap dari dinding-dinding tua yang kusam.
Tak lama, terdengar suara pintu berderit. Pintu depan perlahan terbuka, menampilkan sosok Suryo. Pria paruh baya itu melangkah masuk dengan tubuh terhuyung, aroma alkohol menusuk hidung, langkahnya tidak stabil, dan wajahnya semburat merah.
"Mas Suryo!" seru Siti dengan panik. Tanpa pikir panjang, ia segera berlari, berusaha memapah tubuh suaminya agar tidak jatuh.
Namun langkahnya terhenti seketika ketika matanya menangkap sesuatu. Kerah putih kemeja suaminya… penuh bekas lipstik merah. Bekas ciuman yang masih jelas membekas, meninggalkan noda mencolok yang tak mungkin bisa disangkal.
Mata Siti membesar. Air matanya seketika luruh, semakin deras menetes membasahi pipi. Tangannya gemetar, dadanya sesak, tetapi ia tetap memaksa menahan tangisnya. Dalam batinnya, suara lirih berulang kali bergema: 'Kenapa harus begini lagi, Mas? Kenapa aku masih berharap kalau suatu hari kau berubah?'
Meski hatinya remuk, ia tetap mencoba tegar. Yang menjadi fokusnya saat ini hanyalah satu: menyelamatkan suaminya yang hampir tumbang. Dengan suara bergetar, ia berkata penuh kelembutan. "Ayo aku antar ke kamar, Mas!"
Namun, bukannya menerima bantuan, Suryo malah mengibaskan tangannya kasar. Dorongan kuat dari pria itu menghantam tubuh Siti hingga terjerembap ke lantai. Suara benturan tubuhnya membuat udara di ruang tamu kian pekat.
"Menyingkir!" teriak Suryo, matanya liar, nafasnya bau alkohol. "Membuat jijik saja!"
Tanpa menoleh lagi, Suryo berjalan sempoyongan menuju kamar. Setiap langkahnya terdengar berat, meninggalkan jejak ketegangan yang semakin menghimpit ruangan.
"Mas!" Siti berseru histeris, berusaha bangkit dan mengejar. Namun sebelum ia sempat melangkah, sebuah pelukan kecil menahan tubuhnya dari belakang.
Farel. Anak sulungnya. Kedua tangannya melingkar erat di pinggang ibunya, tubuh kecil itu bergetar hebat, tapi genggamannya kuat seakan tidak mau melepaskan.
"Jangan dikerjar, Ibu! Biarkan saja dia!" ucapnya lantang, meski suaranya serak menahan tangis.
Siti menunduk, matanya masih berkaca-kaca, pandangannya tertuju pada sosok suaminya yang makin menjauh. "Tapi ayahmu bisa jatuh jika berjalan seperti itu!" serunya penuh khawatir.
Namun Farel membalas dengan suara lebih keras, nyaris putus asa. "Biarkan saja dia jatuh! Itu salahnya sendiri! Memangnya ayah pernah menolong Ibu saat Ibu sedih?"
Kata-kata itu menghantam dada Siti lebih keras daripada dorongan suaminya tadi.