Rela melawan dunia hanya untuk melindungi satu wanita yang bernama Aruna.
Leonardo De Satis, Pria penguasa bawah tanah, terobsesi dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan hidupnya di tengah hujan. Namun obsesinya menjadi kelemahan dan target musuh. Demi Aruna, Leonardo melawan dunia, tak memberi ampun siapa pun yang menyentuhnya. Namun kehidupan yang di isi dengan darah Akhirnya membawa luka.
Mampukah Leonardo selamanya melindungi Aruna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka Ditengah Api
Udara Palermo seakan menahan napas.
Aruna berdiri di tangga vila, matanya bengkak karena tangis. Dua dunia menunggunya.
Leonardo, dengan tatapan membakar, tangannya terulur.
Elena, dengan pistol teracung, berteriak agar Aruna tetap kuat.
Dan Aruna… melangkah.
Satu langkah ke depan. Menuju Leonardo.
“Elena, maafkan aku…” bisiknya lirih.
Elena merasakan dunia runtuh seketika. Ia hampir melompat maju, tapi tubuhnya membeku saat melihat wajah Aruna—bukan karena ancaman, tapi karena cinta. Cinta yang buta, yang menelan segalanya.
Leonardo mengulurkan tangan, dan untuk sesaat, jari-jemari mereka hampir bersentuhan.
Hampir.
Sebuah tembakan meledak.
Luka yang Membelah Malam
Peluru menembus lengan Leonardo. Ia terhuyung, tapi masih berdiri tegak. Aruna menjerit.
“Leo!”
Anak buahnya bereaksi cepat, menembakkan balasan. Agen-agen Interpol membalas. Kekacauan pecah kembali.
Leonardo menatap Elena dengan tatapan penuh murka. “Kau berani melukainya di hadapanku?!”
Elena tidak mundur. “Kau bukan dewa, De Santis. Kau hanya pria yang ketakutan kehilangan kendali.”
Aruna berlari ke arah Leonardo, meski Elena berteriak histeris melarang. Darah menodai jas hitam Leonardo, tapi tatapannya melembut saat merangkul Aruna.
“Aku baik-baik saja…” bisiknya. “Selama kau kembali padaku.”
Aruna menangis di dadanya. Dunia di sekeliling mereka berubah jadi neraka, tapi pelukan itu membuatnya lupa segalanya.
Di tengah kekacauan, Marco menatap pemandangan itu dengan wajah hancur. Hatinya berkecamuk.
Aruna, wanita yang ingin ia lindungi, kini memilih kembali ke neraka yang sama.
Leonardo, pria yang dulu ia hormati, kini berdarah-darah tapi tetap tak terkalahkan.
Marco berbisik pada dirinya sendiri, “Ini bukan lagi perang melawan Interpol. Ini perang melawan hati Aruna.”
Dan dalam bisikan itu, ia menyadari: cepat atau lambat, Leonardo akan binasa. Entah oleh cinta, atau oleh peluru.
Elena akhirnya menarik mundur agen-agennya. Pertarungan malam itu tidak bisa dimenangkan.
Dari jendela mobil hitam, Elena menatap Aruna yang kini berada dalam pelukan Leonardo. Hatinya koyak, bukan karena gagal misi, tapi karena ia melihat seorang wanita menyerahkan kebebasannya sendiri.
“Dia akan sadar suatu hari nanti,” gumam Elena dengan suara serak. “Dan saat itu datang, mungkin sudah terlambat.”
Mobil Interpol melaju meninggalkan vila, meninggalkan jejak asap mesiu dan tubuh-tubuh terluka.
Leonardo duduk di sofa vila dengan lengan diperban. Aruna duduk di sampingnya, menatap luka itu dengan air mata yang tak henti jatuh.
“Ini salahku,” bisiknya. “Kalau saja aku tidak kabur…”
Leonardo menggeleng pelan, menempelkan keningnya ke kening Aruna. “Tidak. Kau hanya lupa siapa dirimu. Tapi sekarang kau kembali, dan aku tidak akan melepaskan mu lagi.”
Aruna menutup mata. Kata-kata itu menenangkan sekaligus menjerat. Ia sadar, dirinya baru saja menukar satu penjara dengan penjara lain.
Marco berdiri di dekat pintu, mengamati mereka dalam diam. Hatinya semakin retak. Ia tahu, cepat atau lambat, ia sendiri yang harus memilih: setia pada bos… atau menyelamatkan wanita itu.
Malam makin larut. Vila Leonardo dipenuhi bau obat luka dan darah. Di kamar atas, Aruna duduk di kursi, menatap jendela yang gelap.
Dalam keheningan itu, suara hati kecilnya berbisik:
“Aruna, kau memilih. Tapi apakah ini pilihanmu… atau pilihan cintanya?”
Di lantai bawah, Leonardo berdiri sendirian di ruang kerja, menatap peta Eropa dengan tanda merah di beberapa kota.
Di pojok peta itu, satu nama tertera jelas: Elena Varga.
Leonardo menggenggam rokoknya, asapnya mengepul bersama bisikan dingin:
“Pengkhianatan sudah mulai. Dan aku akan membalasnya dengan darah.”