Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Dalam cinta
Malam merayap pelan di atas kota yang tidak pernah benar-benar tidur. Lampu-lampu jalan berkelip, riuh kendaraan masih terdengar samar, tapi di lantai tertinggi mansion Leonardo, suasananya begitu hening hingga detak jam terdengar jelas.
Aruna berdiri di depan jendela besar, menatap kosong ke arah langit malam. Rambut hitamnya tergerai, ujungnya berayun mengikuti semilir angin dari pendingin ruangan. Sejak beberapa hari terakhir, tidurnya selalu gelisah—bayangan darah, tembakan, dan wajah-wajah asing terus menghantuinya.
“Masih terjaga?” suara dalam dan berat itu muncul dari belakang.
Leonardo berjalan mendekat, siluet tubuhnya tegap, dengan kemeja hitam yang hanya dikancingkan separuh. Wajahnya tampak letih, tapi tatapan matanya tetap tajam seperti biasanya. Ia berdiri di belakang Aruna, lalu melingkarkan lengan ke pinggang gadis itu.
“Aku… susah tidur.” Aruna menjawab lirih.
Leonardo menempelkan dagunya ke bahunya. “Kau tidak perlu memikirkan apa pun. Selama aku ada, tak seorang pun bisa menyakitimu.”
Aruna menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kegelisahan. “Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan semua ini, Leo. Dunia yang kau jalani… aku takut suatu hari akan menyeret ku lebih dalam.”
Leonardo mengeratkan pelukannya, seolah ingin memastikan Aruna takkan bisa lepas darinya. “Aku lebih takut kehilanganmu. Kau satu-satunya alasan aku masih hidup. Jika kau pergi, semua ini tak ada artinya lagi.”
Ada jeda hening. Jantung Aruna berdegup kencang, setengah karena takut, setengah karena perasaannya benar-benar terikat pada pria ini.
Namun ketenangan singkat itu pecah ketika pintu kamar diketuk keras. Alberto masuk dengan wajah tegang.
“Boss, ada kabar darurat. Sisa-sisa orang Vittorio bergerak lagi. Mereka menyasar hal yang lebih pribadi.”
Leonardo menoleh cepat. “Apa maksudmu?”
Alberto menatap sebentar ke arah Aruna, lalu berkata dengan berat, “Mereka tahu titik terlemah mu sekarang.”
Aruna spontan terdiam. Jantungnya mencelos. Ia tahu siapa yang dimaksud yaitu dirinya.
Leonardo menegang, rahangnya mengeras. “Katakan pada semua orang, mulai malam ini pengamanan dilipatgandakan. Jika ada satu bayangan saja yang mencoba mendekat ke Aruna… pastikan mereka tidak pernah kembali.”
Alberto mengangguk cepat, lalu pergi.
Setelah Alberto menutup pintu, Leonardo kembali menatap Aruna. Tatapannya penuh campuran amarah dan obsesi. “Kau lihat? Inilah yang ku bicarakan. Bersamaku berarti kau selalu berada dalam bahaya. Tapi aku tidak akan pernah membiarkanmu jatuh.”
Aruna menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. “Aku mengerti, Leo. Tapi… aku juga ingin tahu kebenaran. Selama ini aku hidup dengan banyak misteri. Tentangmu, tentang ayahku… semuanya samar.”
Mendengar itu, mata Leonardo berkilat. “Jangan menggali hal yang seharusnya tetap terkubur, Aruna. Tidak semua kebenaran bisa membuatmu tenang.”
Kalimat itu membuat Aruna semakin curiga. Ada sesuatu yang Leonardo sembunyikan—dan entah kenapa, itu terasa sangat dekat dengan masa lalunya.
Keesokan harinya, sebuah kejadian kecil mengguncang hatinya.
Aruna menemukan selembar kertas yang diselipkan di buku bacaan di ruang tamu. Surat itu singkat, tulisan tangannya terburu-buru.
"Jika kau ingin tahu siapa yang sebenarnya membunuh ayahmu, temui aku di dermaga tua, tengah malam ini. Datang sendiri. Jangan bawa Leonardo."
Darah Aruna berdesir. Ayahnya—sosok yang selalu ia yakini meninggal karena kecelakaan misterius. Jika benar ada yang tahu kebenarannya, ini kesempatan yang tak bisa ia abaikan.
Namun, satu hal yang membuatnya ragu: mengapa harus tanpa Leonardo?
Aruna tahu, kalau ia memberi tahu suaminya, surat itu pasti akan dianggap jebakan dan dibakar begitu saja. Tapi hatinya… ia tidak bisa membiarkan kesempatan ini hilang.
Malam itu, ia berpura-pura tidur lebih awal. Setelah Leonardo benar-benar terlelap di kursi kerja dengan segelas anggur di tangan, Aruna diam-diam keluar lewat jalur belakang mansion.
Udara malam dingin menusuk, tapi jantungnya lebih dingin lagi. Setiap langkah menuju dermaga tua terasa berat, penuh ketegangan.
Tempat itu sepi, hanya suara ombak memukul tiang-tiang kayu lapuk. Lampu jalan di sana berkelip lemah, menciptakan bayangan panjang yang mencekam.
Di ujung dermaga, seorang pria tua berdiri. Topinya menutupi sebagian wajah, tubuhnya kurus dan kaku.
“Aruna…” suaranya parau, lirih. “Kau datang.”
Aruna mendekat dengan hati-hati. “Siapa kau? Apa yang kau tahu tentang ayahku?”
Pria itu menoleh, menatapnya dengan mata yang penuh beban masa lalu. “Ayahmu tidak mati karena kecelakaan. Dia dibunuh. Dan pelakunya… ada di dekatmu.”
Aruna terperanjat. Tubuhnya bergetar hebat. “Apa… maksudmu?”
Pria itu menghela napas panjang. “Aku ada di sana malam itu. Aku tahu siapa yang memerintahkan pembunuhan itu. Orang itu—”
DOR!
Suara tembakan membelah malam. Tubuh pria tua itu terhuyung, darah membasahi dadanya. Aruna menjerit, menahan tubuhnya yang jatuh.
“Tidak! Jangan mati! Katakan padaku!!” Aruna berteriak histeris, tapi matanya justru menangkap siluet seseorang yang mendekat dari balik bayangan.
Langkah berat, tegas, penuh wibawa.
Dari kegelapan, Leonardo muncul. Wajahnya keras, matanya berkilat seperti bara.
Aruna membeku. “Leo…?”
Leonardo berjalan mendekat, pistol masih berasap di tangannya. “Aku sudah bilang, Aruna. Jangan pernah sembunyikan apa pun dariku.”
Aruna menatapnya dengan mata melebar, air mata bercampur ketakutan. “Jangan bilang… kau…”
Leonardo terdiam. Senyuman tipis, ambigu, tersungging di bibirnya. Senyuman yang bisa berarti pengakuan… atau sekadar ancaman.
Aruna tidak tahu jawaban apa yang akan keluar dari bibir pria itu.
Tapi satu hal pasti—malam itu, dunianya berubah selamanya.