Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.
Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.
Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19. NYAI
Mentari sore perlahan condong ke barat ketika kereta kuda berhenti di halaman luas sebuah rumah besar bergaya Indische di jantung Batavia. Rumah itu berdiri megah, berpilar tinggi, beratap genteng Belanda yang melandai, dengan jendela-jendela besar berdaun hijau tua yang terbuka lebar agar angin masuk membawa kesejukan. Di depan bangunan utama, jalan berbatu putih yang rapi berliku dari gerbang besi menuju beranda, diapit taman dengan pepohonan flamboyan, bougenvil, dan semak bunga kamboja yang harum semerbak.
Itulah kediaman resmi Gubernur Jenderal Van der Capellen, rumah yang bukan sekadar tempat bernaung, melainkan lambang kuasa, kemegahan, sekaligus jarak yang membentang antara penguasa kolonial dan bumi yang mereka pijak.
Aruna turun dari kereta dengan tubuh masih letih setelah perjalanan panjang. Sepasang prajurit kompeni yang mengawalnya memberi isyarat agar ia melangkah maju. Mata Aruna yang hitam berkilau itu menatap takjub bercampur gentar pada bangunan besar yang kini akan menjadi tempat tinggalnya, tempat yang entah membawa keselamatan atau justru jerat baru.
Di serambi depan, beberapa orang pribumi sudah bergegas mendekat. Mereka adalah para babu, pelayan rumah tangga dari kalangan bumiputra yang dipekerjakan untuk melayani sang gubernur dan keluarganya. Wajah mereka menyiratkan keheranan ketika melihat seorang perempuan muda berkulit putih bersih turun dari kereta dengan pengawalan khusus.
"Siapa gerangan nona ini?" bisik seorang babu perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun, mengenakan kebaya cokelat pudar dengan selendang lusuh.
"Londo-kah dia? Atau keluarga besar Gubernur?"sahut yang lain, seorang lelaki tua penjaga halaman yang tubuhnya bungkuk namun masih cekatan.
Mereka semua sempat menunduk hormat, tetapi tatapan mata mereka tak mampu menyembunyikan rasa ingin tahu. Kulit Aruna begitu halus, wajahnya ayu bercahaya, rambut hitam panjangnya tergerai dengan anggun. Tak salah bila mereka sekilas mengira ia seorang nona Eropa, sebab hanya sedikit perempuan pribumi yang memiliki pesona demikian terawat.
Salah seorang prajurit Belanda yang mengawal Aruna kemudian menjawab rasa penasaran itu dengan suara lantang.
"Ini perempuan pilihan Tuan Gubernur. Mulai hari ini, dia akan tinggal di sini sebagai Nyai," umum sang prajurit.
Ucapan itu seketika membuat para babu saling pandang. Ada yang tersenyum kecut, ada pula yang menghela napas panjang. Gelar Nyai di rumah pejabat Belanda bukan hal asing bagi mereka, ia adalah perempuan pribumi yang dijadikan semacam istri tidak sah, diberi kuasa mengatur rumah tangga, bahkan terkadang lebih dihormati daripada istri resmi bila mampu mengambil hati sang tuan.
Namun bagi Aruna, kata itu bagai palu yang menghantam jantungnya. Ia tersentak, tubuhnya bergetar seolah darah dalam nadinya berhenti mengalir. Nyai? Panggilan itu menempel pada dirinya tanpa ia kehendaki. Ia tahu betul arti sebutan itu di mata masyarakat, sebuah peran yang mengandung kuasa sekaligus aib, kehormatan sekaligus perbudakan terselubung.
Dalam hati, Aruna bergumam pilu, Apakah inikah akhir dari perjalanan panjangku? Apakah aku hanya akan dicatat sejarah sebagai seorang Nyai dari seorang gubernur Belanda?
Namun para babu tidak memiliki kuasa untuk bertanya lebih jauh. Mereka hanya menunduk, memberi salam dengan nada penuh hormat. "Selamat datang, Nyai," ucap mereka lirih satu per satu.
Aruna menundukkan wajah, menyembunyikan guncang perasaannya di balik senyum hambar. Ia tahu kini dirinya telah resmi dicatat sebagai bagian dari rumah ini, suka atau tidak.
Aruna kemudian digiring masuk melewati pintu kayu besar berukir. Aroma kayu jati tua bercampur dengan wangi bunga segar dari vas-vas porselen Cina yang diletakkan di tiap sudut ruangan. Lantai marmer dingin memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang berkilau.
Di ruang tamu utama, kursi-kursi besar berlapis kain beludru tersusun rapi, meja panjang dipenuhi buku-buku berbahasa Belanda dan peta-peta besar Hindia. Suasana rumah itu begitu berbeda dengan kesederhanaan yang selama ini ia kenal di desa, di sini, setiap benda bersuara tentang kekuasaan, kendali, dan kemegahan asing yang menguasai tanahnya.
Seorang babu perempuan tua mendekat sambil membungkuk. "Nyai, mari saya antarkan ke kamar," katanya dengan nada sopan.
Aruna hanya mengangguk, mengikuti langkahnya melewati lorong panjang menuju paviliun samping. Di sana telah disiapkan sebuah kamar luas dengan ranjang tinggi berkelambu putih, lemari kayu jati penuh pakaian, serta meja rias berhias cermin besar, cermin yang membuat Aruna sempat terdiam, menatap wajahnya sendiri yang tampak begitu asing dalam bayangan kaca itu.
"Ini kamar Nyai. Jika ada yang dibutuhkan, hamba dan yang lain akan siap melayani,” ujar babu itu dengan suara gemetar, seolah masih ragu bagaimana harus bersikap pada perempuan baru yang kini memiliki kedudukan istimewa.
"Terima kasih," sahut Aruna dengan senyum dan nada lembut, membuat babu tersebut terkejut akan sikap Aruna barusan yang jauh dari ekspektasi.
Tak lama, datanglah dua orang babu muda membawa baki berisi pakaian bersih. Anehnya, bukan kebaya dan jarik yang mereka bawa, melainkan gaun-gaun bergaya Eropa dengan renda halus dan potongan elegan.
"Perintah Tuan Gubernur," jelas salah satu dari mereka. "Beliau menghendaki Nyai mengenakan pakaian perempuan Eropa, sebab katanya paras Nyai lebih cocok mengenakan itu daripada kebaya Jawa. Tapi nanti kalau Nyai mau pakai kebaya Jawa kamu bisa siapkan."
Aruna tercenung. Beberapa bulan ini ia terbiasa dengan kain jarik, dengan kebaya sederhana yang membalut tubuhnya. Kini ia dipaksa menyelubungkan diri dalam kain asing, menjadi sosok yang mungkin bukan dirinya sendiri. Meski hatinya memberontak, ia tidak punya pilihan. Ia membiarkan mereka membantu mengganti pakaian, tubuhnya kaku dalam balutan gaun putih gading yang indah, tetapi terasa berat di hati.
Ketika ia menatap pantulan dirinya di cermin, Aruna nyaris tak mengenali siapa yang berdiri di sana. Seorang perempuan jelita berwajah pribumi, tetapi berpakaian seperti nona Eropa, antara dua dunia yang berbeda, tergantung di tengah, tanpa benar-benar memiliki satu pun.
Senja berangsur padam, digantikan cahaya lampu minyak yang berpendar hangat di seluruh rumah. Di halaman, para babu sibuk menyalakan lentera, sementara suara jangkrik mulai bersahut-sahutan di luar tembok tinggi kediaman gubernur.
Aruna duduk gelisah di tepi ranjangnya. Hatinya berdegup tak menentu sejak sore tadi. Ia tahu betul apa arti menjadi seorang Nyai, bukan hanya mengurus rumah tangga, melainkan juga memenuhi panggilan sang tuan kapan pun diminta.
Ketakutan yang selama ini ia tekan mulai menghantui. Bagaimana bila malam ini aku dipanggil? Bagaimana bila aku harus menyerahkan segalanya? Tubuhnya gemetar, jemarinya saling meremas hingga memucat.
Ketukan pelan di pintu kamar membuat jantungnya melompat. Seorang babu muda masuk, membungkuk, lalu berkata dengan nada hormat.
"Nyai? Tuan Gubernur memanggil ke kamar beliau. Sekarang," kata babu muda itu.
Sekujur tubuh Aruna seketika dingin. Napasnya tercekat, wajahnya pucat pasi. Dunia serasa berhenti berputar. Inilah saat yang paling ia takutkan.
Dengan langkah gontai, ia bangkit. Kakinya seperti terikat beban berat saat mengikuti babu itu melewati lorong menuju kamar gubernur. Pintu besar di ujung lorong terbuka, menampakkan ruangan mewah dengan ranjang kanopi berhias tirai sutra, meja besar dipenuhi dokumen, dan aroma wangi cendana bercampur tembakau.
Van der Capellen duduk di kursi dekat meja, wajahnya tenang namun sorot matanya tajam meneliti sosok Aruna yang datang dengan gemetar.
"Selamat malam, Aruna," suara beratnya terdengar, penuh wibawa sekaligus misteri. "Kemarilah."
Aruna berhenti di ambang pintu, hatinya dipenuhi panik. Ia tahu apa yang biasanya terjadi ketika seorang Nyai dipanggil ke kamar. Napasnya tersengal, pikirannya kalut. Haruskah aku menyerahkan diriku? Haruskah aku pasrah pada nasib ini?
Dan malam itu, segala ketakutan, kebimbangan, dan pertanyaan tentang masa depannya mengumpul di satu titik, di dalam kamar sang gubernur, di bawah sorot mata yang tak bisa ia baca, antara bahaya dan kesempatan, antara kehancuran dan jalan baru yang belum ia mengerti.