Hidupku begitu hancur saat malam yang tak diiginkan menimpaku. Sayangku pada keluarga baru, telah menghancurkan cinta pada pria yang telah merenggut semangat hidupku.
Hidup yang selama ini terjaga telah hancur dalam sekejap mata, hanya keserakahan pria yang kucintai. Namun pada kenyataanya dia tak memilihku, akibat cintanya sudah terkunci untuk orang lain.
Apakah hidupku akan hancur akibat malam yang tak diiginkan itu? Atau akan bahagia saat kenyataan telah terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tes yang bikin pusing
# FLASHBACK ON BAGIAN 20 #
Rasanya aku begitu kesal saat mengenang ucapan kak Yona, ketika dia telah mengetahui malam laknat itu. Sungguh rasanya aku ingin sekali menjambak rambutnya secara kuat, tapi karena amarah yang awalnya begitu mengebu bisa kureda dan tahan sebisa mungkin.
"Kenapa kak Yona harus tahu, sih? Bikin kesel saja dia itu. Kalau mau dapatkan kak Adrian silahkan saja, ngak usah pakai ngancam segala. Lagian kak Adrian tak
akan bisa menganggapku sebagai kekasih dan selamanya aku ini adalah adeknya. Heeeh, nasib ... nasib. Kok gini amat, ya!" gumanku dalam hati sedang berbaring bermalasan dalam kamar.
Keraguan akan mengakui segalanya sungguh membuatku tersiksa, bagaimana tidak! Sebab bukti yang kuat tentang diri ini telah kehilangan mahkota dilakukan oleh kakak angkat tak ada sama sekali, hingga membuatku kini terbungkam rapat-rapat menyiksa diri sendiri. Bukti akan jelas semuanya sendainya kak Adrian telah mengingat semua kejadian itu, tapi sayangnya itu hanya khayalanku belaka, dikarenakan sampai saat ini kakak angkat yang br*ngs*k itu tak ingat sama sekali malam itu.
Situasi ini begitu menyudutkanku hingga aku tak bisa berkutik untuk keluar dari masalah ini. Rasa kecewa terus saja menusuk hati ini tatkala kejadian itu masih saja membayangi pikiran terus.
"Apa ... apa yang harus kulakukan? Kak Adrian benar-benar kejam tak mengingat kejadian malam itu. Apakah aku bisa menyimpan rapat-rapat semuanya, sementara masa depanku suatu saat nanti akan menikah begitu dipertaruhkan? Bagaimana dengan suamiku jika mengetahui aku sudah tak per*w*n lagi? Emm, apakah dia akan membunuhku jika mengetahui itu? Oh tuhan, kenapa beban ini rasanya begitu berat aku jalani? Kenapa semuanya impian ingin bahagia bersama keluarga baru, kini telah hancur ditelan oleh masalah hilangnya mahkota?" rancau hati yang binggung.
Saking kuatnya rasa benciku pada kak Adrian, sampai-sampai kian hari diri ini kian menjauhinya dan tak pernah lagi bertegur sapa maupun berbincang padanya. Ketemu dimeja makanpun kami serasa bagai orang asing, hanya detingan sendok makan mengiringi aktifitas kami itu. Mama berulang kali mencairkan suasana agar aku kembali ceria dan mau berbicara pada kak Adrian, tapi pada kenyataanya egoku yang marah padanya, tak cukup jua meluluhkan pertahananku untuk berbaikkan dengannya.
******
Kesekolahpun aku tak pernah lagi meminta diantar lagi, karena bagiku aku bisa melakukan hal itu sendirian, kenapa harus minta bantuan sama kakak ipar yang tak ingat akan tanggung jawabnya.
"Hei Karin, sendirian saja makan dikantin?" sapa teman satu kelas.
"Iya nih, biasalah. Kayak ngak tahu aku saja, yang ngak pernah ada teman yang mau bermain denganku," terangku santai sambil menyendok makanan untuk masuk mulut.
"Aah, kamu jangan bilang gitu kenapa. Terus aku ini apa? 'Kan juga teman kamu," jawab teman tak suka.
"Iya ... ya, kamu adalah orang yang satu-satunya mau menyapaku. Terima kasih, ya!" ujarku ramah padanya.
"Siip 'lah. Oh ya, Karin. Aku lihat akhir-akhir ini kamu banyak melamun, kenapa?" tanya temanku lagi.
"Ngak ada apa-apa, biasalah ada sedikit masalah dikehidupan pribadiku."
"Ooh, semoga cepat selesai saja"
"Iya, makasih."
Rasanya pandangan begitu agak kabur, hingga lama-lama rasa pusingpun telah datang mendera, namun semuanya kuabaikan dan terus saja melanjutkan makan siang dikantin. Lidah tiba-tiba rasanya sungguh eneg untuk memasukkan makanan lagi. Resa bengas dan perut agak mual-mualpun begitu terasa mengaduk-ngaduk isi dalam perutku, hingga sampai pada akhirmya makanan yang barusan masuk dalam perut tiba-tiba kini sudah terasa diujung tenggorokan.
"Eeem ... eeepp," Suaraku tertahan akibat ingin muntah dan kini telah kutahan sekuat tenaga menggunakan tangan.
"Kamu kenapa ... kenapa, Karin?" tanya temanku sudah merasa aneh padaku.
"Maaf ... maaf, aku mau pergi ke toilet dulu!" pamitku yang kini sudah berdiri, ingin terburu-buru pergi ke kamar mandi.
Dengan sekuat tenaga, kini aku secepat kilat mulai berlari, agar segera datang ke toilet sebab rasa ingin muntah sudah tak tertahan lagi.
"Uuek ... ueeek!" Suaraku lemah saat semua yang ada dalam perut telah keluar semua.
Tubuh terasa lemah sekali, yang langsung terduduk tak kuat untuk menopang tubuh sendiri. Jari-jari sudah memijit pinggiran pelipis, saat rasa pusing telah hadir terasa berdenyut kuat sekali.
"Aah, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku mual dan pusing tiba-tiba begini? Apa aku sedang sakit atau masuk angin? Tapi kenapa juga harus masuk angin, saat aku dari kemarin-kemarin baik-baik saja atas kondisi tubuh ini. Apa jangan-jangan aku---? Aah, mana mungkin itu terjadi, sedangkan kejadian malam itu sudah lama terjadi? Tapi, bukankah aku selama dua minggu ini telat m*nstr**si. Oh tidak ... tidak mungkin, mana mungkin aku akan hamil," ujarku dalam hati mencoba menebak-nebak.
Wajahpun terasa mulai pucat pasi, dengan buliran lembut airmata mulai jatuh dipipi. Rasanya aku tak percaya jika dalam perutku ini nantinya ada janin yang tak diiginkan, akibat suatu kecelakaan yang tak disengaja.
*******
Pikiran begitu kalut tak bisa berpikir jernih lagi. Pelajaran yang diterangkan gurupun tak ada satu mata pelajaranpun yang masuk dalam otakku. Rasanya kini aku begitu buntu atas jalan akal pikiran, sebab tak tahu lagi apa yang harus kulakukan seandainya dalam perut ini benar-benar sudah ada penghuninya.
"Aku harus membuktikannya. Iya, aku harus membeli t*sp*ck untuk mengetahui aku hamil apa tidak?" rancauku dalam hati.
"Ya Allah apa lagi musibah yang Engkau hadirkan padaku? Apakah aku beneran telah hamil? Semoga saja ini semua tak terjadi, sebab jika terjadi pasti keluarga yang selama ini terbangun, pasti akan hancur oleh ulah anak pungut ini. Semoga ini hanya gejala masuk angin saja, tak seperti dugaanku hari ini. Heeh, langkah apa yang harus kuambil untuk mengungkap semuanya, sedangkan bukti-bukti kejadian malam itu tak ada?" Hati terus saja berbicara, dengan jalan buntu tak bisa berpikir jernih lagi.
Krieng ... krieeng, suara bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktu belajarpun telah usai dan waktunya untuk pulang. Tak membuang-buang waktu, langsung saja buku dan alat-alat sekolah kumasukkan segera, sebab ingin secepatnya ke sebuah toko untuk membuktikan apa yang terpikirkan dalam kepalaku sekarang. Langkah sudah berjalan lebar-lebar diiringi berlarian kecil, untuk segera menuju tempat parkir sepeda di sekolahan.
Kaki sudah sekuat tenaga mengayuh sepeda dengan cepatnya. Dengan kecepatan penuh, tanpa henti kaki terus saja berusaha mengayuh sekencang-kencangnya.
"Heeh ... heeeh," Suaraku kelelahan menghembuskan dan mengambil nafas.
"Permisi mbak, bolehkan aku ... aku--!" Suaraku tertahan takut ingin mengutarakan apa yang mau dibeli.
Saat sampai di Ap*t*k entah mengapa aku jadi kelu tak bisa berucap apa yang ingin aku beli. Rasanya sungguh malu sekali pada pegawai toko, saat mengucapkan apa yang ingin kubeli itu.
"Ada yang saya bantu, mbak? Memang mau beli apa?" tanyanya.
"Eeem, itu ... itu mbak. Bagaimana ya aku memberitahu," jawabku binggung.
"Mbak butuh obat? Memang obat sakit apa?" tanya mbaknya.
"Bukan obat sih, mbak. Lebih tepatnya alat untuk itu ... untuk," jawabku kelu lagi malu mengungkapkannya.
"Alat untuk apa?" tanya lagi.
"Heeh. Alat untuk tes kehamilan, mbak!" jawabku cepat.
"Oh, alat itu. Tunggu disini, biar saya ambilkan dulu, sebentar ya!" ujar si mbaknya santai.
Rasanya keringat sudah mulai mengalir kecil, saat takut-takut memberitahu atas apa yang aku beli.
"Ini, mbak. Harganya Rp. xxxxx!" cakap si mbak pegawai.
"Kalau boleh tahu untuk siapa sih, mbak! Ngak mungkin untuk kamu 'kan? Lagian masih memakai seragam sekolah, masak sudah hamil," Interogasi si pegawai saat memasukkan barang yang kubeli dalam kantong kresek.
"Eee ... eeh, enggak kok mbak. Jangan main tuduh saja, ini tuh untuk kakakku sebab dia tadi nitip minta dibelikan ini jika aku pulang sekolah. Lagian aku masih ingin sekolah dan menuntut ilmu, ngak mungkin juga hamil. Asal ngomong sembarangan saja mbaknya ini!" ketusku menjawab sambil membayar buru-buru.
"Kalau ngak ya jangan ngegas gitu kali, aneh!" cakap balik ketus si mbaknya.
"Iya ... ya, maaf mbak! Permisi," tuturku mengambil kembalian dan kantong kresek yang ada barang kubeli.
Hati rasanya dongkol sekali atas tuduhan itu, walaupun sebenarnya kemungkinan sembilan puluh persen memang adanya aku bisa hamil, tapi ucapannya yang mengkaitkan dengan sekolah sungguh membuatku tersinggung, yang seakan-akan aku ini masih pelajar tapi kayak perempuan nakal telah menjual diri hingga hamil.
*******
Sepedapun kubiarkan ambruk begitu saja, saat aku kini tengah buru-buru memasukki rumah mama Lidya.
"Karin ... Karin. Sini sayang, kita makan siang dulu!" panggil mama saat melihatku sudah pulang sekolah.
"Nanti saja, ma. Ada hal penting yang ingin aku kerjakan sekarang," jawabku yang kini buru-buru berjalan ingin menaiki anak tangga.
"Tapi--? Hei Karin, kamu mau kemana cepat-cepat begitu" panggil teriak kak Adrian.
Tanpa menjawab pertanyaan kak Adrian, diri ini terus saja berjalan untuk masuk kamar, kemudian langsung saja menuju ke kamar mandi segera.
"Ayo ... ayo, apa benar aku telah hamil apa tidak?" Ketakutanku berkata dalam hati, yg kini duduk dikasur merasakan suasana tegang menunggu hasil.
Alat itu lama sekali kegenggam erat-erat ditangan, agar tak bisa menampakkan sebuah garis, sebab diri ini begitu takut jika tahu hasilnya telah positif. Mata sudah kupicingkan sebelah, untuk mencoba mengintip apa yang tertera. Aliran keringat mulai membanjiri pelipis, seakan-akan buliran itu tahu bahwa diri ini begitu diserang oleh rasa ketakutan. Karena penasaran namun takut, terpaksa netra untuk kubuka lebar-lebar agar leluasa melihat hasilnya.
"Haaaaahhhhh! Aku ... aku beneran ham---?" Kekagetanku berucap yang langsung berdiri tegak sebab terkejut apa yang dilihat, saat dua garis telah terpampang nyata.
Kletak, alat itu jatuh begitu saja, saat tangan sudah lemah dan terasa gemetaran tak ada daya tenaga lagi. Dunia ini seakan-akan sudah runtuh menimpa badan, yang situasi kehamilan menjadi penambah pelik permasalahanku lagi.
"Karin ... Karin, ayo kita ma---?" Suara kak Adrian memanggil, yang datang tiba-tiba main nyelonong masuk kamarku.
Dengan secepat kilat alat t*sp*ck itu langsung kuambil, dari tempat jatuhnya dikeramik dan langsung menyembunyikan dibelakang pinggangku terpegang erat oleh tangan. Wajah kak Adrian terlihat heran saat melihat tingkahku, hingga ucapannya yang memanggil tadi terjeda begitu lama.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya sudah merasa aneh padaku.
"Ngak ada apa-apa, kak!" jawabku tersenyum kecut.
"Terus apa yang kamu ambil barusan, itu seperti--? Aku mau lihat apa yang kamu sembunyikan dibelakang tanganmu itu?" pintanya.
"Ooh, itu. Ini cuma barang kesayangan peninggalan almarhum orang tua saja, kak!" jawabku selembutnya dengan berbohong.
"Aku tak percaya, coba tunjuk sini! Kamu kelihatan sekali tengah menyembunyikan sesuatu padaku. Lagian wajah kamu mengekspresikan ada hal-hal aneh yang berusaha kamu tutupi. Lihat! Wajah kamu itu pucat dan berkeringat seperti ketakutan begitu," tebaknya.
"Beneran ngak ada, kak. Oh ya, kamu tadi memanggilku, kenapa?" jawabku mencoba rileks sambil mengalihkan pertanyaannya.
"Mama tadi menyuruh makan. Ayolah Karin, tunjukkan apa yang kamu sembunyikan dibelakang tangan kamu itu," ujarnya masih penasaran.
"Aah, sudah kak. Beneran ini bukan apa-apa. Ayo kita makan saja, nanti mama akan marah-marah jika kita terlambat turun,," suruhku sambil menarik tangannya kuat, agar mau keluar dari kamarku segera.
Walau pada awalnya kak Adrian susah sekali untuk kutarik, namun akhirnya dia mau mengalah juga untuk pergi. Sebelum pergi menutup pintu, barang pengetes itu kulempar kuat-kuat untuk mendarat tepat dikasur. Pintupun sudah kukunci rapat-rapat, agar orang lain tak bisa masuk kamar dan mengetahui nasib hidupku nantinya. Karena diri ini mau keluarga tidak boleh tahu perihal ini, yang untuk sementara ini kurahasiakan dan bungkam rapat-rapat agar semuanya tak hancur sia-sia, sebab kemungkinan aku akan menceritakan semuanya jika bukti dan ingatan kak Adrian sudah sadar.