Isabella Rosales mencintai Alex Ferguson dan ketiga anak kembar mereka—Adrian, Eren, dan Alden—lebih dari hidupnya sendiri. Namun, kebahagiaan mereka direnggut secara paksa. Berasal dari keluarga Rosales yang merupakan musuh bebuyutan keluarga Ferguson, Isabella diancam oleh keluarganya sendiri: tinggalkan Alex dan anak-anaknya, atau mereka semua akan dihancurkan.
Demi melindungi orang-orang yang dicintainya, Isabella membuat pengorbanan terbesar. Ia berpura-pura meninggalkan mereka atas kemauannya sendiri, membiarkan Alex percaya bahwa ia adalah wanita tak berperasaan yang memilih kebebasan. Selama lima tahun, ia hidup dalam pengasingan yang menyakitkan, memandangi foto anak-anaknya dari jauh, hatinya hancur setiap hari.
Di sisi lain kota, Celine Severe, seorang desainer yatim piatu yang baik hati, menjalani hidupnya yang sederhana. Jiwanya lelah setelah berjuang sendirian begitu lama.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang tragis. Sebuah kecelakaan hebat terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Laporan dari tim intelijen Alex terasa seperti bom waktu yang dijatuhkan di tengah ketenangan benteng mereka. Kelegaan sesaat karena berhasil mengalihkan perhatian Kaito kini terasa seperti sebuah kemenangan yang naif dan bodoh. Mereka telah meremehkan musuh mereka. Dalam usahanya untuk menjadi teliti, Kaito tidak hanya mengikuti remah roti yang mereka tebar; ia juga memutuskan untuk menyapu bersih seluruh papan catur, memastikan tidak ada bidak tersembunyi yang tertinggal. Dan kini, ia telah menemukan bidak mereka yang paling rapuh: masa lalu Celine Severe.
Malam itu, ruang kerja Alex tidak lagi terasa seperti pusat komando, melainkan seperti ruang krisis.
"Ini lebih buruk dari yang kukira," kata Alex, mondar-mandir di depan jendela, siluetnya tampak tegang dengan latar belakang lampu kota. "Kaito yang membuka kembali kasus kecelakaan itu berarti dia tidak puas dengan narasi yang ada. Dia tidak hanya akan membaca laporan polisi. Dia akan mewawancarai kembali setiap saksi mata, setiap petugas medis, setiap polisi yang ada di lokasi kejadian. Dia akan mencari inkonsistensi, sekecil apa pun."
Isabella duduk di salah satu kursi, tangannya terasa dingin seperti es. "Dia akan menyelidiki Celine," bisiknya, menyuarakan ketakutannya yang paling dalam. "Dia akan mencoba membangun kembali kehidupan wanita itu sebelum kecelakaan. Dan aku... aku tidak tahu segalanya tentang kehidupannya. Aku hanya tahu apa yang ada di KTP-nya dan beberapa potong pakaian di lemarinya. Ada lubang-lubang besar dalam ceritaku yang tidak bisa kujelaskan."
Alex berhenti dan menatapnya. Ia melihat ketakutan yang tulus di mata istrinya. Ini adalah satu-satunya area di mana pengetahuan superior Isabella tidak berguna. Ia sama butanya dengan Alex tentang kehidupan lampau Celine Severe.
"Kita akan menanganinya," kata Alex dengan keyakinan yang dipaksakan. "Timku akan mencoba memperlambatnya, mengaburkan jejaknya."
Namun, mereka berdua tahu bahwa memperlambat seseorang seperti Kaito sama seperti mencoba membendung tsunami dengan tangan kosong.
Selama beberapa hari berikutnya, mereka hidup dalam kewaspadaan yang menyiksa. Setiap email dari tim intelijen Alex membuat jantung mereka berdebar. Laporan-laporan itu datang seperti tetesan air yang perlahan-lahan mengisi sebuah bejana: Kaito telah berhasil mendapatkan transkrip panggilan darurat dari malam kecelakaan. Kaito telah mewawancarai petugas polisi pertama yang tiba di TKP. Kaito telah mengunjungi rumah sakit dan meminta catatan medis Celine Severe.
Ia bergerak dengan kecepatan dan efisiensi yang mengerikan, menyusun kembali puzzle dari masa lalu. Dan kemudian, pada Kamis sore, panggilan yang mereka takuti pun datang. Kepala intelijen Alex menelepon dengan berita yang mendesak.
"Dia menemukannya," kata Alex pada Isabella setelah menutup telepon, wajahnya keras seperti granit. "Dia telah mengidentifikasi seseorang yang memiliki interaksi rutin dengan Celine sebelum kecelakaan."
"Siapa?" tanya Isabella, napasnya tercekat.
"Ibu Ratna. Pemilik gedung apartemen tua tempat Celine tinggal," jawab Alex. "Kaito cerdas. Dia tidak langsung mendatanginya. Dia membuat janji temu untuk mewawancarainya besok sore, dengan menyamar sebagai penyelidik asuransi yang sedang meninjau kasus-kasus lama."
Ini dia. Ancaman itu kini tidak lagi abstrak. Ancaman itu memiliki nama dan alamat. Ibu Ratna. Seorang wanita yang mungkin mengingat hal-hal kecil yang bisa menghancurkan segalanya. Apakah Celine punya teman dekat? Apakah ia sering dikunjungi seseorang? Apakah ia pernah menyebutkan tentang keluarga? Satu kalimat yang salah dari wanita tua itu—seperti, "Oh, Celine? Kasihan anak itu, dia selalu bilang dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,"—bisa memicu alarm di benak Kaito, yang akan bertanya-tanya mengapa wanita yatim piatu yang kesepian ini tiba-tiba menjadi konsultan jenius bagi Alex Ferguson.
"Kita tidak bisa membiarkan Kaito menemuinya lebih dulu," kata Isabella, suaranya mantap meskipun di dalam dirinya ia gemetar.
"Aku tahu," balas Alex. "Kita akan menemuinya malam ini. Kita harus sampai di sana sebelum Kaito punya kesempatan untuk menanamkan pertanyaan-pertanyaan berbahaya di benaknya."
Rencana itu terbentuk dalam hitungan menit, didorong oleh adrenalin dan keputusasaan. Mereka tidak bisa pergi sebagai Alex Ferguson dan pengasuh anaknya. Itu akan terlalu mencolok dan hanya akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Mereka harus pergi dengan menyamar.
Malam itu, setelah anak-anak tertidur dan Nyonya Diana diberi instruksi bahwa mereka memiliki "urusan mendadak", transformasi pun dimulai. Alex Ferguson, sang Kaisar Korporat, menanggalkan setelan jasnya yang sempurna. Ia mengenakan jins gelap, kaus hitam polos, dan jaket kulit usang. Sebuah topi baseball ditarik rendah menutupi sebagian besar wajahnya. Dalam sekejap, ia berubah dari seorang miliarder menjadi seseorang yang bisa dengan mudah menghilang di keramaian malam kota.
Isabella, di sisi lain, sudah memiliki penyamaran yang sempurna: menjadi dirinya sendiri, Celine Severe. Ia hanya perlu mengenakan kembali pakaian lamanya yang sederhana. Melihat pantulan dirinya di cermin—wajah Celine yang pucat karena cemas, mengenakan pakaian murah—terasa seperti sebuah ironi yang kejam.
Mereka bertemu di garasi bawah tanah, di mana sebuah sedan hitam tanpa tanda pengenal—salah satu dari puluhan kendaraan "hantu" milik Alex—sudah menunggu dengan mesin menyala, dikemudikan oleh kepala keamanan pribadinya yang paling tepercaya.
Saat mobil itu meluncur keluar dari garasi yang aman dan masuk ke jalanan kota yang ramai, Isabella menoleh ke belakang, menatap puncak Rumah Awan Pelangi yang berkilauan seperti gugusan bintang pribadi. Ia meninggalkan bentengnya, surga amannya, dan kini sedang menuju ke jantung wilayah musuh: masa lalu.
Perjalanan itu terasa sunyi dan tegang. Mereka melewati distrik-distrik mewah dan perlahan-lahan masuk ke bagian kota yang lebih tua dan lebih kumuh, tempat di mana Celine Severe pernah tinggal dan meninggal. Gedung apartemen itu persis seperti yang Isabella bayangkan: sebuah bangunan empat lantai yang tampak lelah, terjepit di antara toko kelontong dan bengkel tua.
Mobil berhenti di tikungan jalan yang gelap. "Tunggu di sini," perintah Alex pada pengemudinya.
Ia lalu menoleh pada Isabella di kegelapan mobil. Ia bisa melihat ketakutan di mata wanita itu. Ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Isabella yang dingin.
"Jangan takut," bisiknya, suaranya mantap dan menenangkan. "Aku bersamamu. Kita masuk, berbicara dengannya, dan kita keluar. Sederhana."
Isabella mengangguk, menarik kekuatan dari genggaman tangan suaminya.
Mereka keluar dari mobil dan berjalan menyusuri trotoar yang retak menuju pintu gedung apartemen itu. Setiap langkah terasa berat, seolah ia sedang berjalan untuk mengunjungi makam dari kehidupan yang telah ia curi.