NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4. menikah lagi?

Suasana di dalam mobil mewah berwarna hitam doff itu terasa sunyi. Hanya suara mesin halus yang menemani perjalanan mereka menuju pusat kota, tempat Leonardo akan bertemu dengan kolega bisnisnya dari Singapura. Jok kulit asli berwarna cokelat gelap, aroma segar dari pengharum khusus impor, dan kaca gelap menambah kesan eksklusif yang sudah melekat pada sosok Leonardo Wirjawan.

Di kursi belakang, Leonardo duduk dengan postur tegak. Jas hitamnya rapi, kemeja putih tanpa kerut, dasi abu-abu perak yang menambah wibawanya. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, mata tajam menatap ke luar jendela seakan enggan memulai percakapan.

Berbeda jauh dengan sosok di sampingnya. Adrian yang duduk di kursi penumpang depan, sesekali melirik ke kaca spion. Ada rasa gatal di lidahnya setiap kali suasana terlalu hening. Ia tahu betul bosnya bukan tipe pria banyak bicara, apalagi urusan pribadi. Tapi, sebagai orang kepercayaan sekaligus asisten yang sudah bekerja hampir lima tahun, Adrian tak bisa menahan diri untuk melontarkan sesuatu.

“Kalau boleh saya jujur, Tuan,” ucap Adrian, mencoba membuka obrolan. “Saya bingung sama kehidupan pernikahan Tuan.”

Leonardo tidak mengalihkan pandangan dari jendela. Hanya suara napasnya yang terdengar.

Adrian melanjutkan, “Maksud saya… kalau memang tidak cinta sama Nyonya Aurelia, kenapa Tuan tidak menikah saja lagi? Toh semua orang juga tahu kalau pernikahan kalian lebih mirip perjanjian bisnis ketimbang rumah tangga.”

Kata-kata itu meluncur begitu saja dengan nada bercanda, meski Adrian sadar ia sedang menginjak ranjau. Namun, sikap santainya seakan memperlihatkan bahwa ia sudah terbiasa ditegur, bahkan dimarahi bosnya.

Tatapan Leonardo perlahan beralih. Mata hitamnya yang dingin menembus kaca spion, menatap tajam ke arah Adrian. Tidak ada kata, hanya sorot mata yang bisa membuat orang lain gemetar. Tapi Adrian? Ia tetap tersenyum, tangannya memegang kemudi dengan tenang seakan tatapan itu tidak ada artinya.

“Jangan pernah urusi pernikahan saya,” suara Leonardo akhirnya terdengar, rendah namun penuh tekanan. “Urus saja hidupmu sendiri.”

Adrian tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Tuan ini… serius sekali. Saya kan cuma bercanda. Lagian, bukannya saya salah. Empat tahun menikah, tapi Tuan dan Nyonya jarang sekali terlihat mesra. Kalau orang luar lihat, pasti bilang kalian sekadar formalitas.”

Leonardo kembali menatap keluar jendela, enggan memperpanjang topik itu. Namun, Adrian masih belum selesai.

“Lagipula,” lanjutnya, kali ini dengan nada sedikit kesal, “saya ini bekerja hampir 20 jam sehari sama Tuan. Dari pagi sampai larut malam, kalau bukan urusan bisnis, ya urusan pribadi Tuan. Bagaimana saya bisa menikah, kalau hampir semua waktu saya habis buat ngurusin Tuan?”

Kali ini Leonardo menoleh sedikit, sekadar melirik Adrian dengan ekor mata. Ada guratan samar di wajahnya, entah sinis, entah hanya sekadar jengkel.

“Kalau begitu berhenti saja bekerja dengan saya,” jawabnya singkat, dingin.

Adrian terdiam sepersekian detik. Lalu tertawa pelan. “Kalau saya berhenti, siapa yang bisa tahan dengan sifat Tuan? Saya sudah hafal semua jadwal, kebiasaan, bahkan cara Tuan minum kopi saja saya tahu detailnya. Percaya deh, Tuan tidak akan betah kalau saya pergi.”

Leonardo tidak menanggapi. Baginya, kalimat Adrian bukan sesuatu yang penting untuk didengar. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu ada benarnya. Adrian memang orang orang yang selalu ada di sisinya kapan pun ia butuh.

Mobil melaju pelan melewati jalanan ibu kota yang padat. Adrian kembali membuka suara, kali ini lebih serius. “Tuan… saya tidak bermaksud lancang. Tapi kadang saya kasihan lihat Tuan. Terjebak dalam pernikahan yang dingin, setiap hari pulang ke rumah yang megah tapi kosong dari kehangatan. Bukankah hidup ini terlalu singkat untuk dijalani tanpa kebahagiaan?”

Leonardo diam. Kata-kata itu sempat mengusik batinnya, namun ia terlalu angkuh untuk menunjukkannya. Baginya, pernikahan dengan Aurelia memang tidak dibangun atas dasar cinta, melainkan kesepakatan keluarga dan bisnis. Dan itu bukan sesuatu yang perlu diperdebatkan dengan bawahannya.

“Adrian,” katanya akhirnya, suaranya datar. “Kau sudah terlalu banyak bicara. Fokus pada jalan.”

Adrian tersenyum miring, menahan komentar lain yang ingin keluar. Ia tahu, jika terus memaksa, mungkin Leo benar-benar akan marah. Tapi dalam hatinya, ia tidak bisa berhenti merasa iba pada bosnya.

Sunyi kembali memenuhi mobil. Namun kali ini, bukan sunyi biasa. Ada berat di udara, semacam ketegangan yang hanya bisa dirasakan oleh keduanya.

Adrian meraih botol air mineral kecil dari tempat penyimpanan mobil, meneguk sedikit, lalu bersuara lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri. “Andai saja Tuan mau membuka hati… mungkin hidup Tuan akan berbeda.”

Leonardo menutup mata sebentar, menarik napas dalam-dalam. Lalu kembali pada kebisuannya. Mobil terus melaju, meninggalkan percakapan yang menggantung di udara—sebuah percakapan yang mungkin akan mempengaruhi perjalanan panjang hidup mereka berdua.

Larut malam baru saja menyingkapkan ketenangannya. Jam dinding di ruang tamu keluarga besar itu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat tiga puluh. Hanya suara detak jarum jam yang terdengar jelas di antara kesunyian. Dari kejauhan, terdengar suara mesin mobil yang baru saja berhenti di halaman depan. Lampu sorot di garasi otomatis menyala, memperlihatkan sebuah sedan mewah berwarna hitam legam, berkilau meski terhantam cahaya lampu malam.

Leonardo melangkah keluar. Jas hitamnya masih melekat rapi, hanya dasinya yang sudah sedikit longgar. Aroma alkohol samar masih menempel di tubuhnya, meski ia tidak pernah sampai mabuk. Dia baru saja pulang dari sebuah bar mahal, tempat kaum elit dan kalangan atas sering menghabiskan waktu. Padahal, ia sudah selesai dari kantor sejak pukul lima sore. Namun seperti biasanya, pulang ke rumah terasa begitu menjemukan. Ia memilih menunda kepulangannya dengan duduk di balik meja bar, ditemani segelas minuman dan asap rokok mahal yang ia hisap perlahan.

Senyap, dingin, dan kosong—itulah yang selalu ia rasakan setiap kali melangkah kembali ke rumah besar ini. Bukan rumah, melainkan istana sunyi yang lebih menyerupai hotel berbintang. Tidak ada kehangatan, tidak ada tawa, tidak ada sambutan.

Dengan langkah mantap, ia menuju pintu utama. Dua satpam yang berjaga membungkukkan tubuh memberi salam. Leo hanya mengangguk tanpa ekspresi. Pintu kayu besar itu terbuka, memperlihatkan kemewahan interior rumah yang berlapis marmer.

Tangannya nyaris menekan tombol lift yang akan membawanya ke lantai tiga, tempat kamar pribadinya berada, ketika sebuah suara lembut namun tegas terdengar dari arah tangga.

“Leo,” panggil suara itu.

Langkahnya terhenti. Ia menoleh, mendapati seorang wanita berdiri di ujung anak tangga. Rambut panjangnya tergerai rapi, gaun malam berwarna gading membalut tubuhnya dengan anggun. Wajahnya cantik, berkelas, namun tatapannya datar. Aurelia—istrinya.

Leo menarik napas singkat. Ia enggan. Sudah lama ia tahu bahwa setiap kali Aurelia ingin bicara, maka pasti ada sesuatu yang akan mengusik ketenangannya. Meski begitu, ia tidak menolak. Perlahan ia menurunkan tangannya dari tombol lift, lalu melangkah naik mengikuti Aurelia.

Mereka menuju ruang keluarga di lantai dua. Ruangan itu luas, didominasi perabotan kayu cokelat tua, lukisan mahal terpajang di dinding, dan aroma lilin aroma terapi yang samar memenuhi udara. Aurelia memilih duduk di sebuah sofa panjang. Leo duduk di seberangnya, tubuhnya sedikit merebah, satu kaki disilangkan di atas yang lain.

Beberapa detik hanya diisi keheningan. Leo menyalakan rokoknya, menghembuskan asap perlahan. Aurelia menatapnya tanpa bicara, seakan mengumpulkan keberanian. Hingga akhirnya ia bersuara.

“Leo,” ucapnya pelan tapi jelas. “Kehidupanmu terlalu monoton.”

Leo menaikkan sebelah alisnya. “Monoton?” ulangnya datar.

“Ya. Bangun pagi, bekerja, pulang larut, sesekali ke bar, lalu kembali ke rumah ini. Siklus itu terus berulang. Tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Tidak ada warna. Tidak ada tujuan.” Aurelia menyandarkan tubuhnya, menatap langit-langit sebentar lalu kembali menatap suaminya. “Aku sarankan… menikah saja lagi.”

Asap rokok berhenti di bibir Leo. Tatapannya berubah dingin. “Menikah lagi?”

Aurelia mengangguk mantap. “Ya. Kamu menikah denganku tanpa cinta, dan aku pun sama. Kita berdua tahu sejak awal ini hanyalah pernikahan keluarga, untuk kepentingan bisnis dan reputasi. Kamu tidak mencintaiku, dan aku tidak mencintaimu. Jadi, untuk apa kita terus bertahan dalam ikatan hambar seperti ini? Kalau memang kamu ingin mencari kebahagiaan, menikahlah lagi. Carilah wanita yang bisa membuatmu hidup kembali.”

Leo tersenyum tipis, senyum yang penuh ironi. “Nikah siri?” tanyanya sarkastik.

Aurelia menatapnya tanpa bergeming. “Jika itu jalan satu-satunya, lakukan. Tapi jangan sampai publik tahu. Jika orang luar—terutama media—mengetahui, maka reputasi keluarga kita akan hancur. Semua koran, televisi, dan portal berita akan bertanya-tanya: kenapa Leonardo menikah lagi? Apa yang salah dengan pernikahan kita? Itu akan jadi skandal besar. Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi.”

Leo mengisap rokoknya lagi, menatap istrinya dengan pandangan tajam penuh analisis. “Kau menyarankan aku menikah lagi demi kebahagiaanku, padahal kebahagiaan itu tidak pernah jadi bagian dari hidup kita?” suaranya dingin.

Aurelia menautkan jemari tangannya. “Kebahagiaan itu hak setiap orang, Leo. Bahkan dirimu. Aku tahu kau bukan pria yang mudah jatuh cinta. Tapi aku juga tahu kau butuh seseorang. Seorang wanita yang bisa kau pilih sendiri, bukan hasil dari perjanjian keluarga.”

Sejenak hening kembali merayap. Hanya suara jam dinding yang terdengar. Leo menatap Aurelia dalam, seolah mencari kebohongan di balik matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah kejujuran. Kejujuran yang dingin.

“Kalau begitu…” Leo menunduk sebentar, lalu kembali bersuara lirih, “kau tidak akan peduli jika aku benar-benar membawa wanita lain ke rumah ini?”

Aurelia berdiri, gerakannya anggun, lalu berkata singkat, “Selama publik tidak tahu, aku tidak peduli. Aku sudah cukup lelah berpura-pura. Yang penting, nama baik keluarga tetap bersih.”

Tanpa menunggu jawaban, Aurelia melangkah pergi. Gaunnya berayun mengikuti setiap langkah. Ia berjalan menuju kamarnya yang berada di sisi lain lantai dua. Pintu kamar terbuka, lalu menutup perlahan di belakangnya.

Leo terdiam. Rokok di tangannya hampir habis, bara merahnya berpendar samar di ruangan yang remang. Kata-kata Aurelia bergema di kepalanya. Menikah lagi. Kata itu terdengar sederhana, tapi juga seperti beban yang tak terduga.

Ia memejamkan mata sebentar, menarik napas dalam. Sebagian dirinya ingin menertawakan ucapan Aurelia. Namun sebagian lain… mulai mempertimbangkan.

Karena, bukankah benar? Hidupnya memang monoton. Kosong. Tidak ada warna. Tidak ada yang membuatnya benar-benar merasa hidup.

Dan mungkin, hanya mungkin, ucapan Aurelia barusan adalah kunci untuk mengubah segalanya.

1
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!