Mereka memanggilnya Reaper.
Sebuah nama yang dibisikkan dengan rasa takut di zona perang, pasar gelap, dan lingkaran dunia bawah.
Bagi dunia, dia adalah sosok bayangan—tentara bayaran tanpa wajah yang tidak meninggalkan jejak selain mayat di belakangnya.
Bagi musuh-musuhnya, dia adalah vonis mati.
Bagi saudara seperjuangannya di The Veil, dia adalah keluarga.
Namun bagi dirinya sendiri... dia hanyalah pria yang dihantui masa lalu, mencari kenangan yang dicuri oleh suara tembakan dan asap.
Setelah misi sempurna jauh di Provinsi Timur, Reaper kembali ke markas rahasia di tengah hutan yang telah ia sebut rumah selama enam belas tahun. Namun kemenangan itu tak berlangsung lama. Ayah angkatnya, sang komandan, memberikan perintah yang tak terduga:
“Itu adalah misi terakhirmu.”
Kini, Reaper—nama aslinya James Brooks—harus melangkah keluar dari bayang-bayang perang menuju dunia yang tak pernah ia kenal. Dipandu hanya oleh surat yang telah lusuh, sepotong ingatan yang memudar, dan sua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SANG PENGAWAS
Terpencil jauh di dalam lembah berkabut di Gunung Crestwell, sebuah puncak suci dan tersembunyi dari pandangan dunia luar, terdapat garis keturunan yang tangguh— Shadow Weavers Clan.
Selama beberapa generasi, klan ini telah mengasah seni bela diri kunonya sendiri, perpaduan mematikan antara kecepatan, presisi, dan kelincahan. Setiap anak yang lahir dalam klan dilatih sejak mereka bisa berjalan—ditempa dalam pertempuran, penyamaran, dan filsafat.
Sementara dunia luar sedikit mengetahui tentang tempat mereka yang terpencil, dunia bawah mengenal nama mereka dengan baik. Bisikan tentang Shadow Weavers Clan menebarkan rasa takut bahkan di lingkaran paling berkuasa sekalipun. Saat seorang anak Shadow Weavers berusia lima belas tahun, tradisi menuntut mereka meninggalkan gunung—untuk menjelajah, belajar, dan melayani ke mana pun takdir menuntun mereka.
Mereka yang berani menentang atau memilih sisi yang salah jarang hidup untuk menceritakannya.
Di antara mereka ada seorang pria yang ditakuti sekaligus dihormati—Kapten Colt. Dia memimpin salah satu skuad operasi elit klan dan telah mendapatkan gelar “Sang Pengawas”.
Dikatakan bahwa ketika Colt memilih untuk mengawasi seseorang, bahkan Kematian pun tak bisa melewatinya.
James pulang setelah lari pagi, lapisan tipis keringat masih menempel di kulitnya. Udara di dalam rumah hangat, dipenuhi aroma sarapan dan suara tawa.
Chloe dan Felix berlarian di ruang tamu sambil tertawa, mainan baru di tangan—yang satu mengenakan helm ksatria plastik, sementara yang satunya lagi berpura-pura menerbangkan pesawat mainan.
Di meja makan, Sophie sedang menata piring. Ia menatap kearah James dan memberi senyum lembut.
“Nak, segarkan dirimu dulu lalu sarapan,” katanya, menyibakkan rambut yang terurai di wajahnya.
“Aku tidak sabar, Ma,” kata James sambil tersenyum dan berjalan menuju kamar mandi.
Air hangat menghapus keringat di tubuhnya, tapi tidak pikiran yang masih menghantuinya. Meski ada tawa di udara, meski ada senyum di wajah ibunya, James selalu bisa melihat di balik itu semua. Ada kesedihan di dalam diri Sophie yang tidak pernah ia tunjukkan, luka yang disembunyikan di balik kelembutannya. Melihat suaminya terbaring tak sadarkan diri di rumah sakit—itu perlahan menghancurkannya. Tapi ia tidak pernah memperlihatkannya. Tidak di depan anak-anak. Bahkan tidak di depan James.
Ia kembali ke meja makan, rambutnya masih lembab, dan bergabung bersama keluarga untuk sarapan. Sophie menyajikan makanan dan James membalas dengan senyum. Saat ia baru saja mengambil garpu—
Bzzzz...
Ponselnya bergetar di atas meja. Dokter Calvin.
James mengangkatnya. “Ya, Dokter Calvin. Ada apa?”
Suara napas terdengar di sisi lain. “Tuan... aku memiliki kabar baik—dan kabar buruk.”
“Bicara.”
“Kabar baiknya... Julian sudah sadar.”
James terdiam, lalu bertanya. “Dan kabar buruknya?”
“Efek samping obat itu... memengaruhi tulang punggungnya. Untuk sementara dia tidak bisa berjalan. Tapi kondisinya hanya sementara, tidak lama lagi dia akan pulih.”
James menghela napas perlahan, “Aku mengerti. Terima kasih, Dokter Calvin. Aku berhutang padamu.”
“Itu bukan hutang, Tuan,” jawab Calvin pelan. “Setelah semua yang sudah kau lakukan untukku... ini belum sebanding.”
“Kau membuatku malu, Dokter,” kata James sambil terkekeh ringan. “Baiklah, kami akan datang. Bersiaplah.”
Dia menutup panggilan itu dan menatap Sophie, yang sudah lebih dulu menangkap ekspresinya sebelum dia sempat bicara.
Tangannya menutupi mulut. “Julian...?”
James mengangguk pelan. “Dia sudah sadar, Ma.”
Air mata langsung menggenang di matanya, tapi kali ini ia tidak berusaha menahannya.
James berdiri dari kursinya, berjalan ke arah Sophie, dan dengan lembut merangkul bahunya.
Sophie tidak menolak, dia hanya bersandar padanya, wajahnya tertanam di sisi tubuh James sementara air mata akhirnya menetes.
James tidak berkata apa pun. Dia tidak perlu. Kehadirannya saja sudah cukup menjadi penghiburan yang selama ini dibutuhkan ibunya.
Tiba-tiba, Felix berlari kecil mendekat,“Mama, kenapa Mama menangis?” tanyanya cemas, menatap James.
“Kakak, ada apa?” Chloe mengikuti dari belakang.
James berlutut dan mengangkat keduanya ke dalam pelukannya.
Dengan senyum lembut, dia berbisik, “Ayah kalian... sudah sadar.”
Keduanya terdiam sesaat, mencoba memahami.
“Benarkah?” tanya Chloe, menggenggam baju James.
James mengangguk. “Ya. Ayo... kita temui dia.”
Suasana di ruangan itu perlahan berubah, dari tangis menjadi sukacita yang lembut.
Pagi itu adalah hari Minggu. James memberi Lukas hari libur—hari ini, dia sendiri yang akan mengantar keluarganya.
Dia membuka pintu mobil dan membantu Chloe serta Felix naik ke kursi mereka, memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati. Sophie duduk di kursi penumpang di sampingnya. Dia tidak banyak bicara, hanya menatap keluar jendela dengan pandangan kosong.
Sementara itu, si kembar di kursi belakang begitu bersemangat.
“Kita mau ketemu Ayah!” seru Felix.
“Apakah Ayah bisa berbicara dengan kita, Mama?” tanya Chloe sambil mencondongkan tubuh ke depan.
Sophie tersenyum lembut, tapi tetap diam. James meliriknya sekilas, genggaman tangannya di setir mengencang sedikit.
Perjalanan berlangsung tenang. James mengemudi dengan stabil melewati kota, sesekali melihat ke kaca spion untuk memastikan anak-anak baik-baik saja, lalu menatap Sophie—yang masih terdiam.
Mobil berhenti di depan rumah sakit. James keluar lebih dulu, pandangannya menyapu sekeliling. Para penjaga di pintu masuk, yang kini mengenalnya, membungkuk hormat. Sophie turun berikutnya, tangannya menggenggam tas kecil, sementara si kembar meloncat turun dengan penuh semangat.
Namun rumah sakit itu kini berbeda dari sebelumnya. Suasana suram dan sibuk telah berubah. Lampu-lampu elegan, lantai mengkilap, dan interior hangat membuatnya tampak lebih seperti resort bintang lima daripada fasilitas medis. Dokter Calvin menepati janjinya—segala sesuatunya kini rapi dan modern.
Mereka berjalan menyusuri lorong. Langkah Sophie melambat ketika mereka mendekati pintu. Tangannya sedikit bergetar, dan James dengan tenang maju ke depan, membukakan pintu untuknya.
Dia melangkah masuk ke ruangan.
Chloe dan Felix mengikuti dari belakang, mata mereka membesar, berusaha memahami beratnya momen itu.
James tetap berdiri di ambang pintu, diam sambil memperhatikan.
Dokter Calvin menoleh dengan senyum kecil. "Tuan Parker... saatnya melihat keluargamu."
Julian berbaring di tempat tidur, sedikit disangga oleh bantal. Dia tampak lebih tua, lebih pucat dari yang Sophie ingat — tapi matanya kini sudah terbuka. Begitu pandangannya jatuh pada Sophie, bibirnya bergerak dengan usaha.
"...Sophie..."
Napas Sophie tertahan. Air mata menetes sebelum sempat ia menahannya. Dia bergegas ke sisinya, dengan lembut menangkup wajah Julian.
"Kau sudah sadar... kau benar-benar sadar..." bisiknya dengan terbata-bata.
Julian tersenyum lemah, mengangkat tangan yang bergetar dan meletakkannya di atas tangan Sophie.
Di belakangnya, Chloe dan Felix mendekat perlahan, menatap pria di atas ranjang itu.
"Ayah...?" bisik Felix.
Julian menoleh pada si kembar dan mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca.
"Prajurit kecilku..." ucapnya lembut, setetes air mata meluncur di pipinya.
Chloe naik perlahan ke tepi tempat tidur dan memeluk dada ayahnya. Felix mengikuti, kedua lengannya melingkar kuat di lengan ayahnya.
Sophie menempelkan dahinya ke dahi Julian dan berbisik, "Kami merindukanmu... setiap hari."
Chloe bersuara dengan semangat cerianya, "Ayah, tahu tidak... kami sekarang memiliki Kakak. Dia selalu bermain bersama kami, membeli mainan dan permen dan juga membantu kami mengerjakan PR."
Julian mengerjap, Wajahnya menunjukkan kebingungan. "Kakak...?"
Julian menoleh ke arah pintu, lalu terpaku.
Seorang pria muda berjalan ke arahnya. Julian belum pernah melihat pria ini sebelumnya. Tapi dia pernah melihat foto masa kecilnya — dulu sekali — di tangan Sophie yang gemetar.
"Kau... James?" tanyanya ragu.
Dia menoleh ke arah Sophie, kebingungan di matanya.
Sophie berdiri diam, menghapus air matanya, lalu mengangguk pelan. "Dia sudah kembali."
Julian menatap mata Sophie. Untuk pertama kalinya, dia melihat kedamaian di sana. Dan itu membuatnya tersenyum.
"Kemarilah, Nak," ucap Julian.
James berjalan mendekat. Dia berhenti di sisi ranjang lalu menatap pria itu.
Julian mengangkat tangannya dan menepuk bahu James dengan lembut. "Akhirnya kau di sini. Aku sudah mendengar segalanya dari Sophie. Dia tidak pernah berhenti menunggumu... Terima kasih sudah kembali."
James mengangguk kecil dan menjawab pelan, "Senang akhirnya bisa bertemu juga."
Ruangan rumah sakit yang sebelumnya dipenuhi ketegangan dan kerinduan bertahun-tahun kini dipenuhi dengan kebahagiaan lembut.
Tawa lembut terdengar saat Chloe duduk di samping ayahnya, menunjukkan mainan bonekanya, sementara Felix menjelaskan aturan permainan yang dia buat sendiri.
Julian mendengarkan itu sambil tetap menggenggam tangan Sophie.
James menoleh pada Dokter Calvin, yang diam-diam memperhatikan momen itu dengan senyum puas.
"Kapan kami bisa membawanya pulang?" tanya James.
Dokter Calvin menyesuaikan kacamatanya. "Tuan, secara fisik dia sudah stabil. Kami hanya perlu melakukan beberapa tes lagi demi keamanan. Tapi jangan khawatir — efek sampingnya hanya sementara. Tulang punggungnya akan segera pulih. Aku sendiri yang akan mengantarnya pulang besok malam."
James mengangguk kecil, lalu menjawab. "Aku menghargainya, Dokter."
Dokter Calvin tersenyum. "Sejujurnya, aku belum pernah melihat pemulihan secepat ini. Cinta... memang obat terbaik."
Sophie menatap mereka, matanya dipenuhi kebahagiaan tenang.
James menangkap tatapannya dan memberikan senyum kecil.
James melangkah keluar dari ruangan itu, menutup pintu perlahan di belakangnya. Dia berjalan beberapa langkah, tangannya di saku, lalu berhenti tiba-tiba.
Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
"Jadi... Sang Pengawas hanya mengawasi, ya? Kau setidaknya bisa menyapa," kata James santai, matanya melirik ke arah bayangan.
Dari sudut gelap lorong lain, seorang pria muncul — berpakaian rapi dalam mantel hitam panjang. Ia melangkah maju dan membungkuk dalam.
"Oh—halo, Tuan muda. Bagaimana kabarmu?" sapanya dengan nada menggoda.
James terkekeh pelan. "Ayolah, Kapten Colt. Aku bukan Tuan mudamu."
Colt berdiri tegak lagi tapi nada suaranya tetap formal. "Yah... kalau Nona muda kami telah memilihmu, maka kau adalah Tuan muda kami — suka atau tidak."
James menghela napas, menggeleng pelan dengan ekspresi tahu. "Gadis itu masih belum tahu batas, ya?"
Colt tersenyum tipis. "Itu urusan kalian. Aku tidak memiliki hak untuk ikut campur."
James bersandar di dinding, menyilangkan tangan. "Jadi, kau sudah mulai mengawasi?"
"Aku baru tiba," jawab Colt. "Tapi perintahmu adalah tugasku. Mana mungkin aku menolak?"
"Tapi tenang, jangan khawatir. Aku akan mengurus semuanya. Jika itu keluargamu... maka itu juga keluarga kami. Shadow Weavers Clan tidak akan membiarkan anggota keluarganya terluka."
James mengangguk sambil bertanya, "Paula pasti sudah memberitahumu, kan?"
Colt menyeringai. "Tentu saja. Dia tidak pernah melewatkan apa pun. Dan tenang saja, Tuan muda... kota ini sekarang di bawah pengawasanku. Jika Klub Aethel berani bergerak di sini..." Senyumnya menjadi dingin. "Mereka akan merasakan neraka sebelum sempat berkedip."
James bergumam rendah, terdengar puas. "Bagus."
kapan lanjutan sistem kekayaan itu author tiap hari saya liht tapi blm ada lanjutan
lanjutkan