"Si4l, apa yang wanita itu rencanakan?
Mengapa setelah surat cerai kutandatangani, dia justru ... berubah?”
...
Lyara Elvera, seorang gadis yang tak merasakan keadilan di keluarganya. Kedua orang tuanya hanya memusatkan kasih sayang pada kakaknya, sementara Lyara tumbuh dengan rasa iri dan keinginan untuk di cintai
Namun, takdir berkata lain. Sebelum kebahagiaan menyentuhnya, Lyara meregang nyawa setelah terjatuh dari lantai tiga sebuah gedung.
Ketika ia membuka mata, sosok misterius menawarkan satu hal mustahil, kesempatan kedua untuk hidup. Tiba-tiba, jiwanya terbangun di tubuh Elvera Lydora, seorang istri dari Theodore Lorenzo, sekaligus ibu dari dua anak.
Namun, hidup sebagai Elvera tak seindah yang terlihat. Lyara harus menghadapi masalah yang ditinggalkan pemilik tubuh aslinya.
“Dia meminjamkan raganya untukku agar aku menyelesaikan masalahnya? Benar-benar jiwa yang licik!”
Kini Lyara terjebak di antara masalah yang bukan miliknya dan kehidupan baru yang menuntut penebusan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raga yang Berbeda
Lyara membuka matanya dengan napas terengah, seolah jantungnya baru saja ditarik paksa dari d4d4. Ia terduduk tiba-tiba, menatap sekeliling dengan pandangan yang masih kabur.
Keningnya berkerut. Tubuhnya kini terbaring di atas hamparan rerumputan hijau lembut yang bergoyang pelan ditiup angin. Aroma bunga memenuhi udara, segar, manis, namun asing. Ia perlahan berdiri, jantungnya masih berdegup cepat, matanya menyapu pemandangan luas yang terbentang di hadapannya. Ladang bunga sejauh mata memandang, seolah dunia ini dibuat dari musim semi yang abadi.
Namun, ada satu hal yang membuat hatinya bergetar, semuanya terasa terlalu tenang.
Terlalu indah untuk menjadi nyata.
“Ara.”
Suara lembut itu terdengar di belakangnya.
Lyara menoleh refleks dan hampir terng4nga melihat sosok yang berdiri beberapa langkah darinya. Seorang wanita bergaun putih panjang, rambutnya berkilau bagai cahaya pagi. Kulitnya pucat bersinar, matanya teduh, namun dalam tatapan itu tersimpan sesuatu yang tak dapat dijelaskan, antara kehangatan dan kesedihan.
Wanita itu berjalan perlahan mendekat. Senyumnya lembut, dan dengan gerakan halus, ia membingkai wajah Lyara dengan kedua tangannya. Sentuhannya terasa nyata, hangat, tapi juga aneh … seperti angin yang berwujud.
“Aku ingin pulang,” lirih Lyara dengan suara bergetar. Ada ketakutan di matanya, ketakutan yang lahir dari ketidaktahuan.
Wanita itu menatapnya lekat. “Pulang? Kamu sudah tidak bisa pulang, Lyara.”
Lyara tertegun. Alisnya berkerut tajam. “Kenapa? Aku cuma mau pulang!”
Ia berlari tanpa arah, mencoba mencari jalan keluar. Tapi ke mana pun kakinya melangkah, yang ia lihat hanya hamparan bunga yang sama, langit yang sama, dan cahaya yang tak pernah berubah. Seolah ia berputar di dalam dunia yang tak memiliki ujung.
Ketika ia berhenti dan menoleh, wanita itu sudah berdiri di belakangnya lagi, tanpa suara, tanpa langkah. Tatapannya kini berbeda, lebih dalam dan lebih dingin.
“Ragamu ... sudah tidak bisa kamu tempati lagi.”
Lyara membeku. Suara wanita itu bergema di kepalanya. Perlahan, ingatan terakhirnya sebelum terbangun di tempat ini muncul, teriakan, bangunan setengah jadi, rasa takut, dan tubuhnya yang jatuh melayang ke udara.
Matanya membulat. “A-aku ... sudah mati?” suaranya nyaris tak terdengar. Wanita itu mengangguk pelan.
“Tidak! Aku nggak boleh mati! Aku ... aku belum siap! Aku masih punya mimpi! Aku ... aku belum bahagia!” Lyara menjerit histeris, memegangi kepalanya. Air mata menetes deras dari matanya. Napasnya tersengal, suaranya pecah di udara yang sunyi.
Namun tiba-tiba, tangan wanita itu menggenggam tangannya erat. Tatapannya menusuk dalam. “Apa kamu ingin kembali?”
Lyara terdiam. Suara itu menggema di telinganya. Kembali? Pikirannya berputar pada wajah papa, mamanya, dan Viola. Tapi bayangan kematian yang ia alami terasa terlalu menyakitkan. Ia memandang ke arah hamparan bunga yang berkilau di bawah sinar matahari.
“Sepertinya ... di sini lebih tenang,” gumamnya pelan.
Wanita itu tersenyum samar. “Yakin tidak mau membalas dendam?”
Lyara menoleh cepat. “Membalas dendam?” suaranya bergetar.
Wanita bergaun putih itu kini menatap ke arah jauh, ke arah horizon yang berwarna emas. “Kamu mati, sementara mereka masih hidup bahagia. Aku bisa melihat ... ada banyak hal yang belum sempat kamu selesaikan. Kamu akan tahu, setelah kamu kembali nanti.”
“Kalau aku kembali ... apa aku bisa?” tanya Lyara dengan lirih.
“Bisa,” jawab wanita itu datar, “tapi bukan dengan ragamu sendiri. Jiwamu tidak bisa kembali ke ragamu. Tapi kamu bisa ... meminjam ragaku.”
Sebelum Lyara sempat memahami ucapan itu, wanita tersebut menggenggam tangannya lebih erat. Sebuah cahaya putih menyilaukan meledak di antara mereka. Lyara berteriak keras, merasakan sengatan panas seperti petir yang menembus jantungnya, lalu segalanya kembali gelap.
Tok!
Tok!
Tok!
“Nyonya! Nyonya! Bangun, Nyonya!”
Suara itu membuat Lyara membuka matanya dengan terkejut. Ia menatap sekitar. Tubuhnya kini berada di atas lantai dingin, sebuah botol obat tergenggam di tangannya. Ia mengerutkan dahi, lalu menatap tulisan di botol itu.
“Obat apa ini?” gumamnya pelan, kemudian melemparkannya ke lantai. Kepalanya berat, tubuhnya lemas, tapi suara ketukan itu terus berlanjut. Dengan langkah tertatih, ia membuka pintu.
Cklek!
Seorang wanita paruh baya berdiri di ambang pintu dengan wajah panik. “Nyonya nggak apa-apa? Dari kemarin Nyonya nggak keluar kamar! Saya takut ada apa-apa!”
“Nyonya?” Lyara mengulang pelan. Ia menatap wanita itu bingung. “Apa mukaku setua itu?” gumamnya tanpa sadar.
Tatapannya beralih ke sekitar, ini bukan rumahnya. Dindingnya luas, langit-langitnya tinggi, dan perabotannya tampak mewah. Semua terasa asing dan menakutkan.
“Apa-apaan ini? Di mana aku?” bisiknya.
Namun saat pandangannya jatuh ke arah cermin besar di dekat kamarnya, tubuhnya kaku.
Wajah yang menatap balik darinya bukan wajahnya sendiri.
“A-Aaaa! Apa ini?!” teriak Lyara histeris, berlari mendekati cermin dan menyentuh pipinya. Tapi yang ia rasakan bukan kulit muda gadis SMA, melainkan wajah wanita dewasa dengan fitur halus dan elegan.
Namun ia ingat wajah itu ... wajah wanita bergaun putih yang tadi menemuinya!
“Nyonya Elvera, kenapa teriak-teriak begitu?” tanya wanita paruh baya itu, mendekat dengan cemas.
“Aku siapa?” tanya Lyara spontan, suaranya bergetar.
Wanita itu mengerutkan kening. “Nyonya Elvera Lydora, siapa lagi?”
Lyara mematung. Kata itu, menggema di kepalanya. Sama seperti nama belakangnya, dan ini terasa tak masuk akal.
“Nyonya masuk kamar lagi, ya. Nyonya kelihatan pucat banget,” ujar wanita itu lembut, membantu Lyara masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang.
Lyara menatapnya kosong. “Nama Bibi siapa?”
Wanita itu tampak ragu. “Saya Nina, Nyonya. Masa Nyonya lupa? Kan sering Nyonya marahin saya kalau salah masak.” Ia menutup mulutnya cepat. “Aduh, maaf, saya nggak bermaksud ngomong begitu, maaf ya Nyonya.”
Lyara hanya diam, menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Ia benar-benar bukan dirinya lagi. Wajah itu milik orang lain, wanita cantik pemilik tatapan tajam.
Bi Nina mengambil botol obat yang tadi tergeletak di lantai. Ia membaca labelnya dan bergumam dalam hati, “Apa gara-gara obat tidur ini, ya?”
“Sebentar, Nyonya. Saya ambilkan teh hangat dulu.” Bi Nina pergi, meninggalkan Lyara yang masih terpaku dalam kebingungan yang menyesakkan d4d4.
Lyara menatap sekitar. Ia berusaha mencari petunjuk dan menemukan dompet kulit di atas meja kecil. Ia membuka isinya.
Kartu identitas di dalamnya bertuliskan,
“Elvera Lydora ... 28 tahun?” gumam Lyara pelan.
Ia lalu menatap ponsel di meja, mengambilnya, mencoba membuka layar kuncinya.
“Wow, ponselnya bagus banget,” ujarnya kagum kecil, mencoba menebak sandi. “Tanggal lahir? 0101? 0212? Ck! Gagal terus!”
Namun matanya membulat ketika melihat tanggal di layar ... 4 November 2024.
“Dua ribu dua puluh empat?” Lyara tertegun. Sebelum ini, ia masih di tahun 2019.
Berarti ... ia sudah berpindah lima tahun ke depan.
“Astaga ... apa yang terjadi padaku?! Siapa Elvera ini?! Kenapa aku bisa di tubuhnya?! Kenapa aku nggak bisa tenang bahkan setelah mati?!” jeritnya frustrasi.
Tangannya gemetar, suaranya pecah. Ia berjalan menuju jendela kamar yang terbuka dan menatap langit malam dari balik jendela besar kamar itu. Cahaya rembulan menembus tirai lembut, menyoroti wajah barunya yang asing.
Lalu matanya menangkap sesuatu di bawah—seekor burung kecil yang terperangkap di sangkar. Refleks, Lyara menunduk.
“Eh, kenapa ada kamu di sini?” gumamnya pelan. Ada keanehan aneh di d4danya, perasaan iba. Ia sedikit memajukan tubuhny di tepi jendela, mencoba membuka kait sangkar itu.
Namun sebelum sempat menyentuhnya, sebuah suara berat memecah kesunyian.
“Elvera!”
Suara itu keras dan tegas. Lyara menoleh kaget—
dan tanpa sengaja tubuhnya condong ke depan.
“Aaaah!” teriaknya panik, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Namun, sebelum ia sempat jatuh, sepasang tangan kuat menarik pinggangnya dan memeluknya erat dari belakang.
Lyara terdiam, napasnya memburu. Detak jantungnya berpacu tak karuan. Ia menoleh perlahan. Di belakangnya berdiri seorang pria berwajah tampan, rahangnya tegas, matanya tajam bagai elang. Tatapannya menembus, penuh amarah dan kecemasan.
“Kamu memang ingin kita bercerai, Elvera,” suaranya berat dan dingin, “tapi bukan berarti kamu bisa mengancamku dengan cara seperti ini!”
Tatapan Lyara membeku. Bercerai? Elvera sudah menikah?
Tubuhnya lemas, sementara jantungnya berdentum keras. Kehidupan barunya baru saja dimulai dan sepertinya jauh lebih rumit daripada yang ia bayangkan.
"Apa lagi ini?" batinnya frustasi.
trs kalau el sdh lepas kB itu hamil Anak Bryan huhhhh kenapa rumit sekala hidupnya ara dan el ..
berharap Aja authornya kasih juga ara dan el mereka ketukar ara di raga el dan el di raga ara .. terus Si el nikah ma mike dan hamil muga gitu