Namanya Elisa, dia terlahir sebagai putri kedua dari keluarga Hanggara, namun hal itu tak membuat nasibnya bagus seperti kakaknya.
Dia bahkan dikenal sebagai perempuan arogan dan sangat jahat di kalangannya, berbeda dengan kakaknya yang sangat lembut dan pandai menjaga sikap.
Marvin Wiratmadja, adalah putra dari Morgan Wiratmadja. Terlahir dengan kehidupan super mewah membuatnya tumbuh menjadi orang yang sedikit arogan dan tak mudah di dekati meski oleh lawan jenisnya.
Namun siapa sangka, ketertarikannya justru tertuju pada seorang gadis yang dikenal berhati busuk dan semena-mena bernama Elisa Hanggara.
Bagaimana takdir akan mempertemukan mereka?
Baca episodenya hanya disini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sujie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Elisa tak menghiraukan ponselnya yang terus bergetar di dalam tasnya. Diangkat ataupun tidak juga sama saja.
Ia berusaha mengingat sesuatu tentang apa yang terjadi semalam. Lisa memejamkan matanya dan memaksa ingatannya untuk berputar. Namun sampai kepalanya sakit pun ia tidak dapat mengingatnya. Ia hanya ingat terakhir kali memang ia sedang ingin ke kamar mandi. Ia berjalan ke sana, dan memang benar, dirinya ambruk dan setelah itu ia tak ingat lagi.
Ia merasa jika semuanya adalah mimpi atau sekedar halusinasi saja. Semua sensasi yang ia nikmati semalam seperti hanya sebuah mimpi. Sentuhan itu, ciuman, ia kira semuanya tidaklah nyata.
Tapi, apa yang ia lihat secara sadar pagi ini adalah kenyataan.
Hatinya kembali seperti diremas saat mengingat warna merah di atas sprei.
Kepala Elisa terasa sakit sekali. Hingga ia tertidur di dalam taxi sampai pada tempat tujuannya.
"Nona, sudah sampai," kata pengemudi taxi setelah lebih dari 40 menit mengemudikan mobilnya. Ia berhenti di sebuah alamat yang tadi Elisa katakan.
Elisa mengerjapkan matanya, pertama kali yang ia lihat adalah sebuah rumah besar yang tak lain dan tak bukan adalah rumah orang tuanya.
Gadis itu menyerahkan selembar uang kemudian membuka pintu mobil yang ia tumpangi itu dan turun.
Entah apa yang akan dia katakan nanti, ia tak peduli. Toh menjadi baik atau buruk juga tidak ada pengaruhnya baginya.
Elisa masuk setelah seorang penjaga membukakan pintu gerbang untuknya.
"Pagi Non Lisa," sapa seorang penjaga.
"Pagi, Pak Timan," jawabnya ramah seperti biasa.
Ia lalu melangkahkan kakinya, menyusuri halaman rumahnya. Lisa berhenti sejenak di depan pintu sebelum menekan bel rumahnya.
Ia menarik nafas dan menghembuskannya untuk mengurangi ketegangannya. Tangannya kemudian menekan sebuah tombol di depan pintu.
Lisa menunggu beberapa saat sebelum akhirnya pintu itu terbuka. Dan lihatlah siapa yang berdiri dihadapannya.
"MASIH INGAT PULANG?" tanya Hanggara dengan nada tinggi. Wajahnya sudah merah se-merah darah sejak saat melihat putri keduanya, tanda jika emosinya sudah di puncaknya.
Elisa sedikit terkejut, namun ia mencoba untuk tetap tenang. Untuk apa terkejut? Bukankah ini sudah makanannya sehari-hari?
"Bukankah ini masih rumahku juga? Oh ... apakah Papa dan Mama mengkhawatirkan ku?" tanyanya.
"KAU! Benar-benar anak kurang ajar! Apa tidak cukup kau membuat malu Papa selama ini?" Hanggara sudah mengangkat tangannya, namun masih ditahan oleh Maria dan juga Stevi.
"Membuat malu? Aku pernah berbuat apa, Pa? Sebagai orang tua, kenapa kalian tidak mengenal anak-anak kalian dengan baik? Apa tentang kabar yang entah darimana sumbernya itu? Lantas Papa dan Mama percaya begitu saja, tanpa berusaha mencari tahu?" sarkas Elisa.
"Dengarkan, jika Papa sedang berbicara Lisa!" bentak Hanggara lagi.
"Mendengarkan? Tapi apa selama ini Papa dan Mama pernah mendengar ku? Pernahkah kalian mencoba mendengar penjelasan ku? Tentang kabar jika aku menjadi simpanan banyak bos besar saja Papa tidak pernah mau tahu kebenarannya, bukan? Lalu tentang ...."
PLAK!
Tamparan dari Hanggara begitu terasa perih di pipinya. Bahkan setitik darah segar muncul dari sudut bibir gadis itu. Namun yang Lisa rasakan lebih dari itu. Hatinya sangat sakit bagai di hujani oleh duri-duri yang tajam.
Ia berusaha tegar dan kembali menatap ayahnya dengan banyak kebencian dan kekecewaan. Buliran air matanya sudah ingin menetes, tapi ia masih bisa menahannya.
"Setiap Lisa berusaha menjelaskan, Papa selalu mendaratkan tangan Papa di wajah Lisa. Baiklah, terserah apapun penilaian kalian terhadapku, aku sudah tidak peduli lagi! Lagipula aku baik atau buruk, aku menurut atau tidak, bukankah sama saja dimata kalian? Tetap saja salah dimata kalian!" teriak Elisa diakhir kalimatnya dengan tubuh yang bergetar.
Ia lalu berlari dan naik ke atas menuju kamarnya.
Samar-samar ia masih bisa mendengarkan suara kakaknya dan mamanya yang berusaha menenangkan ayahnya.
"Sudah, Pa. Elisa masih terlalu muda untuk kita tekan seperti ini. Nanti biarkan Stevi yang akan bicara padanya. Papa jangan terus memarahinya, Stevi mohon jangan seperti ini, Pa," kata Stevi seraya mengusap punggung tangan ayahnya.
Elisa tersenyum sarkas mendengarnya. Ia lalu masuk dan menutup pintunya dengan keras.
Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuknya, memeluk bantal dan meluapkan segala yang terasa menusuk dan meremas jantungnya.
Sejak dulu apapun yang kukatakan tidak pernah didengar oleh mereka. Bahkan sejak kecil saat kak Stevi jatuh dari sepeda karena ulahnya sendiri pun tetap aku yang disalahkan.
Kak Stevi merusak mainannya sendiri, aku juga yang disalahkannya.
Kak Stevi putus dengan pacarnya karena dia ketauan selingkuh pun aku yang dituduh merusak hubungan mereka.
Bahkan kerjasama yang gagal itupun juga dituduhkan atas namaku.
Hingga pada titik terparah, aku dituduh menjadi simpanan para bos, tapi bahkan aku sendiri tidak tahu bos mana yang dimaksud. Aku juga bahkan sangat membatasi pergaulanku, aku tidak punya banyak teman selama ini. Aku dituduh melakukan ab*rsi berkali-kali, tapi aku pun bahkan masih suci.
Mungkin jika aku adalah bukan anak kandung mereka, hatiku mungkin tidak akan sesakit ini. Tapi sialnya mereka adalah orang tua kandungku sendiri.
Aku tidak tahu kenapa kak Stevi berbuat seperti ini padaku, sejak dulu bahkan ia sudah sangat disayangi. Selalu mendapatkan apapun yang dia mau. Kak Stevi cantik, kak Stevi sangat menarik, pintar dan sekarang ia sudah memenangkan hati Papa dan Mama karena berhasil menjalankan perusahaan dengan baik. Jadi apa alasan dia menjahatiku selama ini?
Lisa terisak seraya memeluk bantal. Ia sudah sangat lelah selama ini. Menerima perlakuan tidak adil sejak kecil bukanlah hal yang mudah. Ia masih bisa menerima jika memang kakaknya lebih disayang karena kak Stevi nya bisa membanggakan. Tapi menerima tuduhan yang tidak pernah ia lakukan itu sungguh sulit, Lisa sudah ingin menyerah rasanya.
hmm🤔, bisa jdi sih..atau mngkin kembaran stevi kh!!??