Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.
haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
antara nyata atau halusianasi
Shavira masih berdiri di sana dengan pandangan heran. Apa semua ini? Kenapa dia? Tidak mungkin kalau dia sudah mati, kan?
Perlahan, kakinya melangkah maju menelusuri zebra cross hingga sampai ke trotoar. Ia menyender pada tiang lampu merah sambil mencoba mengontrol detak jantungnya yang berdegup tak karuan.
Kepala Shavira kembali menoleh ke jalan. Anehnya, semuanya sudah kembali normal—orang-orang berjalan, mobil melintas seperti biasa. Tidak ada tanda-tanda waktu sempat berhenti.
Dia semakin bingung. Apa barusan cuma mimpi?
“Gue gak lagi berhalusinasi, kan?” bisiknya pada diri sendiri. Tapi rasa sakit, rasa takut, semuanya terasa nyata. Ia benar-benar tadi nyaris tertabrak mobil. Lalu… kemana perginya mobil itu sekarang?
Shavira menggelengkan kepalanya berkali-kali. Gila… gue gak masuk ke dalam novel fantasi, kan? Itu cuma cerita karangan penulis! Mana ada hal aneh gini di dunia nyata.
Daripada semakin pusing, Shavira bangkit dari duduknya. Ia memutuskan pergi ke supermarket untuk belanja.
---
📱 Drt… drt… Ponselnya bergetar.
Shavira merogoh tas, lalu menerima panggilan masuk.
“Halo, Vir. Kebetulan, ayah temen gue punya kontrakan di daerah yang lo mau.”
“Yaudah, kirim aja alamatnya. Gue mau lihat langsung.”
“Oke!”
Tak lama, Nadia mengirimkan alamat kontrakan. Shavira langsung mencatatnya dalam ingatan sebelum kembali memasukkan ponsel ke dalam tas.
---
Kecelakaan 🚨
Sementara itu, di persimpangan lain, sepasang suami-istri berdiri menunggu lampu merah. Sang istri mengelus perutnya yang sudah membesar.
“Aku gak capek kok,” katanya sambil tersenyum, “jalan kaki juga sehat buat ibu hamil.”
Namun kebahagiaan mereka seketika sirna. Dari kejauhan, sebuah mobil hitam melaju kencang. Sopirnya panik, rem mobil tidak berfungsi. Klakson ditekan panjang-panjang. Orang-orang berteriak.
Suami itu sadar bahaya datang. Dengan sigap, ia mendorong istrinya menjauh.
“Sayang!!”
BRAK!
Tubuhnya terpental keras, darah langsung mengalir membasahi aspal.
“Sayang!!!” teriak istrinya histeris.
Orang-orang berhamburan, mencoba menolong. Beberapa segera membawa sang istri ke tempat aman.
Di rooftop sebuah gedung tak jauh dari lokasi, sepasang mata mengawasi dengan tatapan kosong. Seorang pria berjas hitam duduk di pembatas. Tak ada ekspresi di wajahnya—hanya aura kesedihan dan kematian yang mengelilinginya.
---
Kembali ke Shavira
Shavira mendorong troli di supermarket, tangannya sibuk memasukkan dumpling, sosis, dan crab stick ke dalam keranjang. Rencananya malam ini ia mau makan seblak bersama Nadia.
Tiba-tiba, ia mendengar percakapan dua orang di lorong sebelah.
“Eh, tadi ada kecelakaan di lampu merah dekat taman kota.”
“Hah? Serius?”
“Iya, gila banget. Suaminya ketabrak, padahal istrinya lagi hamil.”
Shavira refleks merogoh ponselnya. Ia membuka aplikasi X.
[Kecelakaan hari ini di zebra cross depan taman kota. Korban berinisial B, tertabrak mobil hitam berplat nomor A*. Diduga rem blong. Korban dipastikan meninggal di tempat.**]
Tubuh Shavira langsung lemas. Ia bertumpu pada troli, napasnya tersengal.
Kenapa…? Kenapa kejadiannya sama persis kayak tadi gue alami?
Apa yang sebenarnya terjadi?
---
Setelah menyelesaikan belanja, Shavira memutuskan pergi melihat kontrakan yang direkomendasikan Nadia. Di sana, ia langsung bertemu dengan pemilik rumah.
Rumah sederhana itu memiliki dua kamar tidur dan lokasi cukup strategis. Shavira langsung suka.
“Saya ambil kontrakan ini, Pak. Besok saya pindah ke sini,” ucapnya sambil menyerahkan uang.
Pemilik mengangguk puas, lalu mereka berpisah.
Tubuh Shavira benar-benar lelah setelah seharian berkeliling. Ia memesan mobil online dan bergegas kembali ke apartemen Nadia.
---
TING TONG!
Nadia membuka pintu.
“Lo habis belanja?” tanyanya sambil menoleh ke kantong besar yang dibawa Shavira.
“Iya. Gue kasian liat lo makan mi instan terus,” jawab Shavira, lalu meletakkan belanjaannya di meja bar.
Nadia terkekeh. “Banyak banget, Vir. Mau bikin apa?”
“Seblak. Nih, tadi gue sekalian beli bumbu,” Shavira menunjukkan plastik kecil berisi bumbu merah.
“Asik! Lo yang masak ya,” pinta Nadia sambil menaruh dagu di telapak tangan, seperti anak kecil menunggu traktiran.
Shavira hanya mengangguk dan mulai sibuk di dapur. Aroma bawang dan cabai mulai tercium, membuat Nadia semakin tak sabar.
Sambil menunggu, Nadia membuka ponselnya.
“Oh iya, Vir. Lo tau gak, tadi ada kecelakaan?”
“Tau,” jawab Shavira singkat.
“Parah banget, jalanan macet. Viral di sosmed.”
Shavira tiba-tiba menatap Nadia. “Nad…”
Nadia menoleh. “Apa?”
“Lo pernah gak ngalamin sesuatu yang gak masuk akal? Kayak… kejadian dalam novel fiksi, tapi nyata?”
Nadia mengernyit. “Hmm, gak pernah sih. Emang kenapa? Tumben lo ngomong gitu?”
Shavira menggeleng cepat. “Nggak, cuma nanya doang.”
Tak lama, ia datang dengan panci seblak panas.
“Nih, jadi!” serunya
Mereka menyiapkan dua mangkuk, lalu mulai makan bersama. Kuah pedas bercampur topping melimpah langsung menggoyang lidah.
“Anjir, enak banget, Vir!” Nadia sampai merem-melek menikmati.
“Ya iyalah, masakan gue gak pernah gagal,” jawab Shavira dengan nada bangga.
Baru beberapa suapan, Nadia tiba-tiba batuk-batuk. “Kuhuk! Kuhuk! Astaga pedesnya nendang banget!”
Shavira ngakak sambil menepuk-nepuk punggung sahabatnya. “Makanya jangan langsung diseruput semua kuahnya, Nad! Itu bumbu gue tuang full.”
“Lo jahat banget sih! Mau bunuh gue, hah?!” Nadia mengambil gelas air dan langsung meneguknya sampai habis.
Shavira tambah ngakak. “Kalau mati gara-gara seblak, lo jadi berita viral besok!”
Nadia cemberut, tapi kemudian ikut tertawa. “Gila, gue jadi korban percobaan resep lo!”
“Eh, korban yang bahagia kan?” sahut Shavira, menyendok topping sosis lalu sengaja nyodorin ke mulut Nadia.
Nadia akhirnya membuka mulut dengan pasrah. “Hmm… oke, enak sih. Lo selamat dari tuntutan.”
Mereka berdua tertawa keras, seisi dapur apartemen dipenuhi aroma seblak dan suara obrolan kocak. Sesaat, Shavira hampir lupa dengan kejadian aneh yang membuat kepalanya pusing sejak siang tadi.
Setelah selesai makan malam, Shavira mencuci beberapa mangkuk dan panci di wastafel, sementara Nadia sibuk membersihkan meja bar.
“Vir, lo yakin kuat pindahan besok? Jangan-jangan lo malah tumbang di tengah jalan,” Nadia nyeletuk sambil menyapu remah-remah kerupuk.
“Gue kuat kok, tenang aja. Eh, lagian kalaupun tumbang kan ada lo yang bakal nolongin gue.” Shavira menjawab sambil nyengir.
Nadia mendengus. “Gue? Nggak deh! Gue paling banter nyemangatin dari jauh.”
Shavira langsung melirik tajam. “Nad, kalau gitu gue pindahinnya setengah-setengah aja ya, sisanya gue titip di sini.”
“Jangan gila lo!” sahut Nadia cepat, lalu keduanya tertawa bareng.
Shavira mengelap tangannya dengan handuk kecil. Tawa mereka mereda, dan wajah Shavira kembali serius, pikirannya melayang pada kejadian aneh siang tadi.
“Sebenernya kejadian tadi itu nyata atau nggak sih…” gumamnya lirih, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.