Dua minggu yang lalu, Rumi Nayara baru saja kehilangan bayi laki-lakinya setelah melahirkan. Lalu, seminggu kemudian suaminya meninggal karena kecelakaan. Musibah itu menjadi pukulan berat bagi Rumi. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan bayi laki-laki yang alergi susu botol di rumah sakit, dan butuh ASI. Rumi pun menawarkan diri, dan entah mengapa ia langsung jatuh cinta dengan bayi itu, begitu juga dengan bayi yang bernama Kenzo itu, terlihat nyaman dengan ibu susunya.
Tapi, sayangnya, Rumi harus menghadapi Julian Aryasatya, Papa-nya baby Kenzo, yang begitu banyak aturan padanya dalam mengurus baby Kenzo. Apalagi rupanya Julian adalah CEO tempat almarhum suaminya bekerja. Dan ternyata selama ini almarhum suaminya telah korupsi, akhirnya Rumi kena dampaknya. Belum lagi, ketika Tisya— istri Julian siuman dari koma. Hari-hari Rumi semakin penuh masalah.
“Berani kamu keluar dari mansion, jangan salahkan aku mengurungmu! Ingat! Kenzo itu adalah anak—?”
Siapakah baby Kenzo?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Alasan Untuk Bertahan
Julian berhenti di tepi ranjang, menunduk menatap Rumi. Wajah dinginnya tidak banyak berubah, tapi sorot matanya lembut. “Dia mencari kamu,” katanya singkat.
Rumi meraih selimutnya, berusaha duduk walau tubuhnya masih lemah. Tangannya terulur gemetar. “Boleh … saya peluk dia, Pak?”
Julian mengangguk. Ia menunduk, lalu dengan sangat hati-hati menaruh Kenzo di atas pangkuan Rumi. Bayi mungil itu langsung menggeliat, tangisnya sedikit mereda ketika wajahnya bersentuhan dengan kain baju ibu susunya.
Rumi menunduk, mencium pipi lembut Kenzo yang masih hangat. “Maafin Ibu, Dek … maafin kalau Dede sampai sakit …,” bisiknya dengan suara bergetar. Air mata kembali mengalir deras, membasahi pipinya.
Kenzo membuka mata mungilnya, menatap lurus ke wajah Rumi. Tangisannya berhenti perlahan, berganti dengan isakan kecil. Bibir mungilnya mencebik, seolah-olah sedang ingin mengomel pada ibunya.
Mama Liora tersenyum tipis melihat momen itu. “Dia hanya butuh kamu, Rumi. Lihat? Begitu dia berada di pelukanmu, dia langsung tenang.”
Rumi mengusap kepala kecil Kenzo dengan penuh kasih. “Cepat sehat ya, Dek … jangan sakit lagi. Ibu ada di sini. Ibu nggak akan ninggalin kamu,” ucapnya lirih, suaranya penuh cinta meski tubuhnya masih sakit dan hatinya hancur.
Julian berdiri di samping ranjang, diam memperhatikan. Ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca—antara lega, marah, sekaligus iba. Tangannya sempat mengepal di sisi tubuh, mengingat kembali cerita Ferdy tentang bagaimana Rumi diperlakukan. Tapi kemudian, ia menatap bayinya yang sudah tenang di pelukan ibu susunya, dan hatinya sedikit melunak.
Perawat yang berdiri di dekat tirai menunduk, memberi waktu keluarga kecil itu menikmati kehangatan yang rapuh namun nyata. Aroma antiseptik yang menusuk seolah kalah oleh kehangatan cinta seorang ibu yang tulus.
Rumi menyandarkan pipinya ke kepala Kenzo, membiarkan detak jantungnya menyatu dengan denyut kecil tubuh mungil itu. Meski fisiknya lemah, meski hatinya robek, kehadiran bayi itu bagai obat. Luka yang berdarah-darah sedikit terobati oleh tangisan yang reda dan tatapan polos mata mungil yang bergantung penuh padanya.
“Kenzo … kamu alasan Ibu untuk tetap bertahan. Kuatkan Ibu ya, Dek,” bisik Rumi lirih, sebelum matanya kembali berkaca-kaca.
Mama Liora menepuk bahunya lembut. “Dan kamu juga alasan Kenzo untuk kuat, Rumi. Jangan pernah lupakan itu.”
Ruangan IGD seakan larut dalam hening yang penuh makna. Hanya terdengar suara napas kecil Kenzo, isakan lirih Rumi, dan bisikan doa dari hati seorang nenek yang ingin melindungi keduanya.
Rumi menarik napas panjang ketika tubuh mungil baby Kenzo yang rewel itu mulai mencari-cari sumber kehangatan di dadanya. Dengan gerakan pelan dan agak kaku karena tubuhnya masih lemah, ia membuka sedikit kancing piyama rumah sakit. Begitu bibir mungil bayi itu menemukan sumber asinya, suara tangis langsung reda, berganti dengan suara hisapan kecil yang penuh semangat.
Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan yang berbeda—hening yang menenangkan. Kenzo tampak begitu kehausan, matanya setengah terpejam, tangannya yang kecil meremas lembut kain baju ibunya.
Air mata Rumi kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Ada nyeri di tubuhnya, ada luka di hati yang terus berdarah, tapi momen itu seperti menutup semuanya. “Inilah alasan aku masih hidup,” batinnya lirih.
Julian yang berdiri di sisi ranjang hanya bisa menghela napas. Wajahnya yang tegas sedikit mengendur, namun di balik sorot matanya ada badai yang sulit ditebak. Mau bagaimana pun, pemandangan indah itu seharusnya milik Tisya—istrinya, bukan wanita lain. Hatinya terasa sesak. Ia mundur selangkah, memberi ruang bagi kedekatan ibu susu dan bayi itu.
Setengah jam kemudian, sesuai instruksi Julian, perawat memindahkan Rumi ke ruang VIP. Ruangan itu luas, dindingnya berwarna putih lembut dengan ornamen kayu muda. Tirai tipis berwarna krem membiarkan cahaya matahari masuk dengan tenang. Tempat tidur besar dengan kontrol elektrik diletakkan di tengah ruangan, lengkap dengan sofa empuk di sisi kanan dan meja bundar kecil di sudut. Aroma antiseptik bercampur dengan harum bunga segar di vas kaca, membuat suasana sedikit lebih hangat.
Namun saat Rumi melihat ruangan itu, hatinya justru diliputi rasa tak nyaman. “Kenapa saya dipindahkan ke sini, Bu?” tanyanya pelan pada Mama Liora, setelah perawat meninggalkan ruangan. “Ruang VIP seperti ini… saya tidak sanggup bayar. Tolong pindahkan saja saya ke ruang biasa. Saya tidak punya uang sebanyak itu.”
Mama Liora menggenggam tangannya erat. “Ssst … jangan pikirkan biaya. Semua sudah diurus sama Julian. Kamu hanya perlu fokus pulih dan merawat Kenzo.”
“Tapi, Bu—”
“Tidak ada tapi, Rumi.” Nada suara Mama Liora tegas, meski matanya tetap lembut. “Kamu sudah cukup menanggung sakit. Biarkan yang lain mengurus sisanya. Fokus saja pada Kenzo.”
Rumi menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak di dada. Ia merasa terhimpit, tubuhnya yang masih nyeri, hatinya yang rapuh, dan kini tambahan rasa malu karena mendapatkan fasilitas mewah yang tidak mampu ia bayar.
Pintu tiba-tiba terbuka. Nia dan Aulia masuk dengan wajah setengah manyun, langkahnya berdecit di lantai licin. Begitu melihat ruangan luas itu, matanya membulat. “Wah … ruang VIP?!” ujarnya setengah berteriak. “Enak banget ya, Tante, bisa tinggal di sini. Semua serba nyaman.”
Mama Liora hanya menatap sekilas tanpa komentar.
Aulia mendekat ke sisi ranjang, melihat baby Kenzo yang sudah terlelap setelah menyusu. Bayi mungil itu tampak lebih tenang, napasnya teratur, meski tubuhnya masih terasa hangat karena demam. Rumi sengaja menidurkan baby Kenzo di sampingnya, tangannya tak lepas mengusap kepala kecil itu dengan lembut.
“Pasti ini semua pesanan Kak Julian ya?” gumam Aulia sambil mengeluarkan ponselnya diam-diam. Jemarinya lincah mengetik pesan. "Mama, benar dugaanku. Ibu susunya Kenzo diperlakukan istimewa. Dapat ruang VIP. Aku pantau terus."
Di seberang sana, Mama Rissa langsung membalas singkat: "Awasi baik-baik. Jangan sampai dia merasa bisa menggantikan posisi Tisya. Hanya kamu lah yang bisa menggantikan posisi Tisya!"
Aulia tersenyum miring, menyimpan ponselnya. Pandangannya kembali ke arah ranjang, kali ini dengan tatapan tidak ramah.
***
Sementara itu, Julian melangkah ke ruang ICU. Suasana di sana begitu berbeda: lampu-lampu redup, suara mesin monitor jantung berdetak teratur, dan bau obat-obatan lebih menyengat. Tisya, istrinya, terbaring tak bergerak dengan selang infus menempel di lengan. Wajahnya pucat, matanya terpejam rapat.
Julian duduk di kursi di samping ranjang. Tangannya terulur menggenggam jemari istrinya yang dingin. “Tisya, Sayang …,” bisiknya lirih. “Kenzo tadi demam. Dia mencari ibunya. Tapi ibunya tak bisa ada di sini, karena kamu masih tertidur. Yang ada hanya wanita lain ... Rumi.”
Suaranya tercekat. Ia menunduk, menghela napas berat. “Aku janji akan tetap menunggumu. Bangunlah. Jangan biarkan orang lain yang mengisi tempatmu.”
Bersambung ... 💔