Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Suara Alea terdengar dari seberang. Cepat, tegas, tapi cukup untuk membuat tubuh Nathan sedikit menegang. Matanya tak lagi melihat Kayla. Pikirannya langsung terseret ke lantai sepuluh, ke ruang rapat besar, ke potensi krisis yang tak bisa ditunda. Alea tak perlu menjelaskan panjang. Kata "darurat" dari mulutnya bukan basa-basi. Dan jika Alea bilang hanya ia yang bisa turun tangan, maka Nathan tahu itu bukan karena Alea tak mampu, tapi karena memang keputusan akhir hanya bisa diambil olehnya.
Ia menoleh ke arah Kayla sesaat, mencoba membaca reaksi dari wajah yang tadi baru saja tertawa. Tapi sekarang, senyuman itu menghilang, seperti belum sempat mengakar sepenuhnya dan langsung tercerabut oleh satu kata: "darurat."
"Alea. Cobalah untuk membuat mereka mengerti, ulur waktu agar mereka tetap di kantor sampai aku datang. 30 menit lagi aku sampai."
"Saya sedang berusaha, Pak. Tapi tolong datang sebelum 30 menit."
Panggilan itu selesai tak sampai satu menit. Tapi jeda setelahnya seperti membeku. Nathan masih menggenggam ponsel, tapi tidak mengatakan apa pun. Ia tidak langsung memandang Kayla, mungkin karena tak siap melihat wajah kecewa itu.
Ia baru saja berbicara soal pernikahan. Soal ingin pulang tepat waktu. Soal menjadi utuh, hadir, tidak hilang lagi. Tapi sekarang, bahkan sebelum janji itu sempat mengendap, ia sudah kembali pada pola lama, memilih tanggung jawab.
Dengan napas berat, ia akhirnya bicara. Pelan, tapi tidak berputar-putar.
"Sayang, aku harus ke kantor sekarang. Ini darurat... dan cuma aku yang bisa ambil keputusan. Aku udah coba pikir, mungkin bisa aku tangani lewat telepon. Tapi ini... nggak bisa. Harus aku sendiri."
Ia akhirnya berani menatap Kayla. Matanya jujur, bukan mencari pembenaran, tapi menunjukkan bahwa ia tidak ingin membuat ini terasa ringan.
Sunyi.
Kayla tidak langsung menjawab. Tapi Nathan tahu, dalam diam itu ada proses panjang yang sedang terjadi dalam pikirannya. Mungkin kecewa. Mungkin ingin marah. Tapi juga mencoba memahami. Dan justru itu yang membuat dada Nathan semakin sesak.
"Aku minta maaf," bisiknya. "Aku janji nggak akan biarin ini kejadian terus."
Kayla mengangguk sekali. Tidak dengan senyum. Tidak dengan marah. Hanya datar, tapi bukan dingin. Lebih ke... lelah.
Dan justru itu yang paling menakutkan.
"Aku pesenin taksi, ya. Tiga menit lagi sampai. Aku bayar makanan dulu. Jangan keluar sebelum aku balik, hm."
Kayla hanya mengangguk saat Nathan pergi ke kasir. Ia duduk sendiri di meja itu, menatap sisa makanan yang sudah dingin. Sendoknya masih di tangan, tapi tak lagi bergerak.
Ruang makan itu terasa berbeda sekarang. Tidak ada lagi percakapan hangat, tidak ada godaan manja dari Nathan, tidak ada tawa kecil yang mengisi sela-sela makan siang. Hanya suara sendok dan piring dari meja-meja lain, dan percikan rasa getir yang diam-diam tumbuh di dadanya.
Ia berkedip beberapa kali. Tapi justru semakin ia mencoba menahan, semakin matanya terasa panas. Bukan karena marah. Bukan juga karena ingin protes. Tapi karena lelah menenangkan diri sendiri setiap kali hatinya goyah.
Lelah jadi perempuan yang terus mencoba mengerti.
Ia tahu Nathan tak main-main dengan pekerjaannya. Ia tahu panggilan tadi benar-benar darurat. Ia tahu Nathan sedang berusaha. Tapi tetap saja, rasanya seperti ditaruh di ruang tunggu yang tak pernah punya kepastian waktu.
Pikirannya kembali ke beberapa menit lalu, saat Nathan berbicara soal pernikahan. Tentang ingin pulang tepat waktu. Tentang ingin hadir utuh sebagai suami.
'Lucu ya. Bahkan sebelum janji itu mengeras di hati, kenyataan sudah mengguratkan keraguan lagi.'
Tak lama kemudian, Nathan kembali ke meja. Napasnya sedikit memburu, seperti sedang menahan buru-buru tapi berusaha terlihat biasa. Ia langsung berdiri di samping Kayla.
"Taksi kamu udah sampai. Yuk, keluar."
Kayla berdiri, mengangkat tasnya pelan. Ia berjalan mengikuti Nathan keluar restoran, menembus terik matahari yang menggantung rendah di langit siang.
Di depan restoran, mobil taksi online yang sudah dipesan Nathan terparkir. Supirnya sudah membuka pintu belakang, menunggu penumpangnya masuk.
Nathan berbalik menghadap Kayla. Matanya tampak gelisah. Tangan kirinya menyentuh lengan Kayla, seolah ingin memperpanjang waktu.
"Maaf banget ya, Sayang. Aku bener-bener nggak mau ninggalin kamu gini. Tapi kalau aku nggak datang, ini bisa makin runyam," ucapnya dengan suara nyaris berbisik.
Kayla mengangguk. Ia menatap Nathan sambil mencoba tersenyum, meski bibirnya terasa berat untuk digerakkan. "Iya, aku ngerti. Hati-hati ya di jalan."
Nathan menggenggam tangannya sebentar, lalu melepaskannya perlahan. Ia tetap berdiri di tempat, memandangi Kayla masuk ke dalam taksi. Ia menunggu sampai pintu tertutup dan mobil mulai berjalan, barulah ia berbalik.
Di dalam mobil, Kayla duduk tenang. Matanya menatap ke luar jendela, mengikuti deretan toko dan pepohonan yang dilewati kendaraan.
Tak ada kata keluar dari bibirnya. Tapi perlahan, air mata turun tanpa suara. Tidak meledak, hanya satu-satu, tapi terasa seperti menumpuk banyak yang belum sempat selesai dibicarakan.
Ia mengusap pipinya diam-diam, berharap supir tak memperhatikan dari cermin tengah. Tapi meski wajahnya diam, hatinya ramai.
Bukan karena Nathan pergi.
Tapi karena ia mulai bertanya-tanya, sampai kapan ia bisa terus berpura-pura tidak apa-apa?
Langit tampak mulai redup saat taksi yang ditumpangi Kayla melambat, lalu berhenti di pinggir jalan. Sopirnya menoleh ke belakang dengan ekspresi canggung.
"Maaf, Bu. Kayaknya ban belakang bocor. Saya ganti sebentar, ya. Mungkin sekitar 15 menit."
Kayla menatap keluar. Jalanan tak ramai. Tidak ada tempat teduh terdekat. Sinar matahari samar-samar menembus celah pepohonan, tapi terasa lebih seperti beban daripada cahaya.
"Nggak apa-apa, Pak. Saya turun aja di sini," ucapnya pelan sambil membuka pintu.
Sopir tampak hendak menahan, tapi Kayla sudah menjejakkan kakinya ke trotoar. Ia ingin bergerak. Ingin menjauh dari rasa sesak yang masih menggantung di dada sejak Nathan berpamitan.
Langkahnya pelan menyusuri trotoar yang mulai panas. Angin bertiup malas, dan suara kendaraan hanya jadi gema yang tak berarti di telinganya.
Baru beberapa langkah, suara klakson terdengar dari belakang. Ia menoleh cepat, sedikit terkejut.
Sebuah mobil berhenti perlahan di sisi jalan. Kaca jendela turun dan di baliknya, wajah yang tak asing muncul.
"Kayla?"
Suara itu familiar. Kayla mengerjap sejenak, lalu, "Davin…"
"Apa kabar? Serius, kamu jalan kaki sendirian gini?" tanyanya seraya turun dari mobil.
"Aku tadi naik taksi, tapi bannya bocor."
"Ya udah bareng aku aja, yuk. Kantor kita kan searah."
Kayla tampak ragu. Ia tidak langsung menjawab. Ekor matanya menyapu ke sekitar, seperti mencari alasan untuk menolak atau mungkin pembenaran untuk menerima. Tapi sebelum sempat berkata apa-apa, suara Davin kembali terdengar.
"Udah, keburu telat. Ayo naik."
Tanpa menunggu jawaban, Davin membuka pintu penumpang di samping kursi kemudi. Gerakannya ringan, seolah ini bukan tawaran, melainkan solusi satu-satunya.
Akhirnya, Kayla melangkah masuk.
Mobil melaju perlahan kembali ke jalan utama. Tak ada obrolan di awal. Hanya AC yang menderu pelan dan suara lalu lintas dari luar jendela.
Setelah beberapa menit, Davin melirik singkat ke arah Kayla. "Baru dari mana?"
"Makan siang," jawab Kayla singkat.
*Oh ya?" Nada suaranya dibuat ringan. Tapi jeda sebelum pertanyaan berikutnya sengaja dibiarkan cukup lama untuk memberi tekanan.
"Dari restoran mana? Soalnya aku lihat kamu lumayan jauh dari kantor pas nemu kamu tadi. Lumayan ya, buat makan siang satu jam."
Kayla tampak ingin menjawab cepat, tapi urung. Sejenak ia mengatur ulang napasnya, mencoba membuat jawaban terdengar senormal mungkin.
"Tadi makan sama Nathan. Tapi dia harus ke kantor duluan karena ada urusan mendadak."
"Oh." Hanya satu kata itu keluar dari mulut Davin. Tapi ia tidak langsung bicara lagi, membiarkan sunyi menggelantung beberapa detik.
"Sering ya dia gitu?" tanyanya akhirnya. Lembut. Tidak seperti tuduhan, lebih seperti empati yang diselipkan dalam rasa ingin tahu.
"Enggak sering," jawab Kayla cepat. Terlalu cepat.
Davin hanya mengangguk. Tidak menatapnya, matanya lurus ke jalanan. Tapi nadanya tetap ringan, seperti obrolan biasa di tengah macet kota.
"Cuma ya... agak sayang aja sih." Ia berhenti sejenak. "Waktu makan siang kan terbatas. Kalau aku sih, mungkin bakal ngusahain bisa balik bareng. Ya... cuma buat pastiin kamu aman, gitu."
Tidak ada tuduhan. Tidak ada nada merendahkan Nathan. Tapi entah kenapa, kata-kata itu masuk ke telinga Kayla seperti suara kecil yang sulit diabaikan. Sederhana, tapi menancap.
Ia tidak menjawab. Hanya menatap keluar jendela.
"Tapi mungkin emang dia lagi banyak tekanan, ya? Maklumi lah dia belum lama kerja," lanjut Davin, kali ini dengan nada setengah bertanya, setengah maklum. "Laki-laki tuh kadang terlalu fokus sama hal besar, sampai lupa kalau yang kecil-kecil justru penting."
Kayla masih diam. Pandangannya terlempar ke luar jendela, tapi pikirannya tidak benar-benar menangkap apa pun. Kata-kata Davin barusan... terlalu biasa untuk dianggap penting, tapi terlalu tepat untuk diabaikan.
Mobil terus melaju. Tidak ada percakapan selama beberapa menit. Tapi bukannya canggung, justru terasa seperti ruang kosong yang dengan sendirinya dipenuhi pertanyaan.
Dan kemudian, Davin menambahkan dengan nada santai, hampir seperti gumaman.
"Aku cuma mikir aja... kadang yang lagi kita jaga itu bukan cuma hubungan, tapi juga harga diri."
Kalimat itu seperti dilempar ke udara tanpa alamat. Tidak ditujukan langsung untuk Kayla, tidak butuh respons. Tapi seperti sengaja dilempar di antara mereka. Biar jatuh, bunyi, dan mengusik.
Kayla menoleh pelan. Ekspresinya tetap datar, tapi matanya menahan sesuatu. Ia tidak bertanya maksud kalimat itu. Mungkin belum mau tahu. Mungkin... takut tahu.