Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mereka Sama Buruknya
Pagi ini, Nira tengah bersiap. Ia akan kembali bekerja sebagai seorang perawat di sebuah rumah sakit swasta di kota tersebut. Riki sedang berada di kamar mandi. Ia juga kembali bekerja di sebuah perusahaan farmasi di kota yang sama.
“Hari ini kamu ke rumah sakit nggak?” tanya Nira ketika melihat Riki keluar dari kamar mandi.
“Enggak. Stok obat di apotek rumah sakitmu masih banyak. Mungkin minggu depan aku ke sana,” jawab Riki seraya memakai pakaiannya.
“Jangan ganjen. Jangan ngrayu perawat-perawat yang ada di rumah sakit lain. Kamu sudah punya istri dan sebentar lagi punya anak,” ucap Nira menatap Riki.
Riki tersenyum. Mendekati sang istri yang semakin cantik dengan polesan make up dan mencium pucuk kepalanya.
“Aku suka kalau kamu cemburu begini. Lagipula, istriku aja udah secantik ini, buat apa nyari perempuan lain? Kamu tuh udah paket sempurna. Cantik, mandiri, dan yang terpenting…” Riki mendekatkan bibirnya ke telinga Nira dan berbisik,”kamu masih perawan saat ku sentuh pertama kali.”
Nira menegang. Sungguh, ini masih pagi dan hormonnya memang sedang tinggi karena efek kehamilannya ini. Bisikan Riki seperti ajakan ke kamar dan menikmati rasa yang membuat lupa diri dan melayang ke atas nikmat duniawi. Sumpah demi apapun, ia menginginkannya lagi.
“Nanti malam, Sayang. Sekarang sudah mepet waktunya. Walaupun kilat, tapi tetap saja membutuhkan waktu dan kamu nggak mau kan kita terlambat?” tanya Riki menatap menggoda. Tahu jika Nira menginginkan kegiatan plus-plus itu lagi.
Nira mendengus. Ia berdiri dengan cepat sampai Riki hampir terjengkang ke belakang jika tak menahan tubuhnya.
“Makanya jangan godain aku.” Suara Nira terdengar sinis tapi juga frustasi karena keinginannya harus ditunda karena waktunya tak memungkinkan.
Riki menahan senyumnya. Ia puas karena berhasil mengerjai istrinya yang semenjak hamil gampang sekali digoda dan bersikap liar di atas ranjang.
“Aku antar ya,” ucap Riki setelah mereka selesai bersiap.
“Oke. Nanti mampir beli sarapan nasi pecel di perempatan rumah sakit itu ya,” angguk Nira.
“Siap.”
Keduanya pun lantas keluar dari rumah. Mereka tidak sempat sarapan di rumah karena bangun kesiangan. Alhasil mereka harus sarapan di tempat kerjanya masing-masing karena sudah terlambat.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit berkendara untuk sampai di rumah sakit, tempat Nira bekerja. Setelah berpamitan, Nira keluar dari mobil dan memasuki gedung rumah sakit.
“Akhirnya lo masuk juga, Nir. Kirain langsung resign.” Salah seorang perawat menyapa saat melihat Nira memasuki ruangan.
Nira meletakkan tasnya di laci meja dan tersenyum kecil. “Enggaklah. Gila aja langsung resign disaat biaya hidup di sini lagi tinggi-tingginya,” tanggap Nira.
“Ya elah. Masuk cuma dua bulan terus habis itu cuti lagi buat melahirkan,” timpal perawat lainnya.
“Sedangkan kita? Susah banget dapat ijin cuti,” ucap perawat yang pertama kali menyapa Nira. Fiza namanya.
“Makanya nikah. Kalau nikah, pasti dapat ijin cuti,” jawab Nira. Tangannya melihat lembaran-lembaran kertas daftar pasien yang berada di bawah perawatan ruangan itu.
“Boro-boro nikah. Mau pacaran aja susah. Susah ngatur waktunya,” timpal Rini.
Nira menggeleng saja. Ia menatap teman-teman satu shift-nya. Ia merindukan celotehan mereka dan kebersamaannya. Itulah sebabnya ia tak ingin keluar dari pekerjaan walau sudah melahirkan nanti.
Teman-temannya sangat asyik di ajak mengobrol dan bekerja sama. Dan yang utama adalah tidak ada yang cari muka ketika atasan mereka datang untuk audit.
“Kamar nomor dua mencet tombol. Gue aja yang masuk ya,” ucap Nira melihat layar yang menyala lalu melangkah menuju kamar perawatan yang membutuhkan bantuan.
Dengan senyum lebar dan semangat bekerja, Nira melalui hari pertamanya bekerja setelah mengambil cuti untuk menikah kemarin.
Jika Nira tengah bersemangat, maka di kampung halaman Nira, di sebuah rumah, seorang pria nampak tidur telentang di tengah ruangan. Di sekitarnya beberapa botol minuman oplosan tergeletak. Tanpa isi.
Pintu di buka dari luar. Rafa tertegun begitu kaki melangkah ke dalam. Suasana ruang tengah yang kacau. Berantakan. Dan seorang pria tergeletak. Entah tidur atau malah pingsan.
Raffa melangkah mendekat. Ia berjongkok. Menyingkirkan botol minuman yang sudah kosong.
“Raffi… Raffi,” panggil Rafa seraya menggoncangkan lengan Raffi.
Raffi melenguh pelan. Tangannya refleks memegangi kepalanya yang berputar. Pening. Sakit.
“Bangun, Raffi!” Rafa berkata tegas. Ia berdiri. Berkacak pinggang mengamati Raffi yang kesakitan.
Jelas. Ia sudah bisa menebak apa yang dilakukan Raffi sebelum tergeletak kacau seperti ini. Walau seperti itu, Rafa tak berniat membantunya.
“Aku pikir kamu sudah mati karena air setan itu,” ujar Raffi mendengus, melirik botol-botol berserakan di sekitar sang adik.
Raffi perlahan duduk. Kepalanya pusing bukan main. “Ngapain Abang dateng sepagi ini? Aku bukan anak kecil yang harus dibangunkan pagi-pagi untuk berangkat sekolah.”
“Buka matamu dan lihat jam dinding.”
Dengan memicingkan mata, Raffi mendongak, melihat jam.
“Jam sebelas siang. Siang. Bukan pagi,” desis Rafa masih berdiri diam. “Berdiri dan bereskan semua kekacauan ini. Setelah itu, temui aku di luar. Nggak sudi aku duduk di tempat kotor ini.”
Raffi terkekeh. “Nggak ada yang ngundang kamu datang ke sini, Bang. Daripada nunggu aku, mendingan kamu pergi aja dan kembali lagi nanti.”
“Terus kamu mau ngapain kalau aku pulang? Mau mabuk-mabukan lagi?”
“Nggak usah ikut campur deh. Udah sana pulang. Tinggalkan aku sendiri.”
Rafa berjongkok di depan Raffi. “Bereskan semua ini sekarang atau Ibu dan Bapak akan datang ke sini dan melihatmu seperti ini. Dalam setengah jam. Atau mereka akan mengirimkanmu ke pesantren di daerah pelosok sana.”
Raffi berdecak. “Aku udah tua begini mau dikirim ke pesantren? Sebelum sampai sana, aku akan turun di jalan dan menggelandang di sana. Kupastikan kalian nggak akan pernah melihatku lagi.”
Rafa berdiri, melangkah keluar. “Setengah jam, Raffi.”
Raffi mendengus lagi. Walau tak suka, tapi Raffi tetap bangkit berdiri. Memunguti botol-botol dengan tubuh sempoyongan dan kepala menahan sakit. Ia melakukannya bukan karena takut sama Rafa ataupun kedua orang tuanya. Ia hanya tak ingin mendengarkan ceramah saja. Kepalanya sudah cukup pusing. Jika di tambah dengan ceramah panjang lebar dari kakak dan kedua orang tuanya, bisa-bisa kepalanya meledak.
“Ada apa datang kemari?” Raffi duduk di sebelah Rafa setelah selesai bersih-bersih.
Rafa menoleh. “Mampir aja.”
“Aku baik-baik aja kalau Abang pingin tahu keadaanku.”
Rafa tersenyum miring. “Nggak ada orang baik-baik aja minum oplosan sampai berbotol-botol gitu. Mau mati muda emang?”
Raffi diam. Ia mengambil rokok dari saku celananya dan menyalakannya. “Nggak semua orang seberuntung kamu. Nikah, punya anak kembar, terus bahagia.”
Rafa mengambil satu batang rokok milik Raffi dan ikut menyalakannya. “Kamu juga bisa kalau kamu mau buka hati buat perempuan lain.”
Raffi menoleh. “Kenapa kamu sekarang sibuk banget ngurus percintaanku, Bang? Kurang kerjaan?”
“Mau setua apapun kamu, kamu tetap adikku. Bagiku, kamu masih anak kecil yang butuh arahan.” Rafa mengembuskan asap rokok ke udara. Matanya menatap jalanan depan rumah Raffi. Beberapa motor dan mobil berlalu lalang melewati jalanan itu.
“Apa semua ini karena Nira?” Rafa menoleh.
Raffi mengedikkan bahunya. Enggan menjawab.
“Kamu ketemu Nira?” Rafa bertanya sambil menatap lekat wajah Raffi.
Raffi masih tak menjawab.
“Oh. Oke. Kayaknya kamu ketemu Nira, terus kamu ingat lagi kenangan kalian dulu, dan berakhir mabuk-mabukan.” Rafa mengangguk, menebak. “Kamu tahu, kenapa Nira tiba-tiba pulang langsung nikah?”
Raffi menatap tajam kakaknya. “Sekarang, kamu mau membicarakan gosip di sini? Di rumahku?”
Rafa menggeleng. “Gosip hanya fakta yang tertunda, Raf. Nira sudah hamil enam bulan.”
Raffi menegang. Menggeleng pelan. “Nggak mungkin. Dia perempuan yang baik. Kalau Abang nggak suka sama dia, jangan jelekin dia. Aku tahu bagaimana Nira.”
Rafa tertawa sinis. “Tahu yang bagaimana? Tahu kehidupannya di kota sana? Tahu pergaulannya di sana? Apa jangan-jangan, kalian masih diam-diam komunikasi?”
Raffi menggeleng sekali. “Nggak ada komunikasi sama sekali sejak dia pergi meninggalkan kampung ini.”
“Nah terus? Apa alasan kamu nggak percaya dengan gosip itu?”
“Itu hanya gosip. Aku yakin, Nira nggak seperti itu.”
Rafa tertawa. “Ya terserah. Kita lihat saja nanti, bener enggak dia hamil duluan.”
“Kalau benar Nira hamil duluan, brengsek juga tuh laki.”
Rafa menaikkan satu alisnya. “Nggak cuma lakinya yang brengsek. Perempuannya juga sama.”
“Nira nggak brengsek ya, Bang!” Raffi tak terima.
“Oh ya? Kamu pikir untuk sampai hamil itu, cuma lakinya doang yang brengsek? Perempuannya juga sama aja. Mau-maunya Nira nglakuin itu pas belum nikah. Jelas mereka itu mau sama mau. Kita nggak tahu di kota sana, mereka melakukan apa. Nggak ada yang ngawasin. Nggak ada yang tahu. Jadi, intinya Nira itu nggak sebaik yang kamu pikir, Raf.”
“Brengsek! Sialan!” Raffi berdiri. Ia menginjak rokoknya yang masih menyala dengan tatapan tajam ke depan. “Kalau tahu begitu, lebih baik dari dulu aku hamilin Nira biar dia jadi istriku. Susah payah aku menjaganya. Menahan nafsu saat kami berduaan. Tapi, justru pria lain yang memilikinya.”
“Kamu marah sama pria itu seolah Nira juga nggak bersalah di sini, Raf. Nira perempuan dewasa. Ia pasti tahu akibat dari pergaulan bebasnya pasti ya bakal ke situ. Tapi, Nira tetap melanjutkannya. Itu artinya, Nira mencintai pria itu. Nira mau dan bersedia hamil dengan pria itu. Dan artinya juga Nira ingin pria itu yang jadi suaminya. Kalau sudah hamil, nggak mungkin Pak Mardi dan Bu Sinta menolak pria itu. Mau nggak mau, suka nggak suka, mereka pasti akan merestui karena pria itulah yang menghamili Nira.”
Rafa ikut berdiri. Menepuk bahu sang adik. “Nira bukan lagi perempuan baik saat dulu bersamamu, Raf. Jadi, tutuplah kisah itu rapat-rapat. Nira sudah memilih sendiri jodohnya. Ya walaupun pakai jalur orang dalam.”
Raffi menoleh sekilas lalu balik badan. Masuk ke dalam rumah. Begitu sampai pintu, ia berkata,” Kalau pulang, tutup lagi pintunya. Aku mau tidur.”
Rafa menghela napas panjang. Sudah sekian tahun, dan Raffi kembali menyentuh botol minuman oplosan. Rafa pikir adiknya itu sudah melupakan Nira dengan segala kesibukannya membangun bengkel, tapi ternyata ia masih sangat mengingatnya. Rafa mendongak, berdoa agar Tuhan segera mengirimkan jodoh untuk sang adik agar dia tak lagi meratapi cinta masa lalunya lagi. Rafa ingin melihat Raffi bahagia. Harapan seorang kakak agar sang adik juga mendapat kebahagiaan yang sama atau lebih dari kebahagiaannya sendiri.