Amara Kirana tidak pernah menyangka hidupnya hancur seketika saat keluarganya terjerat utang.
Demi menyelamatkan nama baik keluarga, ia dipaksa menikah dengan Bagas Atmadja—pria dingin yang ternyata adalah ayah dari sahabatnya sendiri, Selvia.
Pernikahan itu bukan kebahagiaan, melainkan awal dari mimpi buruk.
Selvia merasa dikhianati, Meylani (istri kedua Bagas) terus mengadu domba, sementara masa lalu kelam Bagas perlahan terbongkar.
Di tengah kebencian dan rahasia yang menghancurkan, muncul Davin Surya, pria dari masa lalu Amara yang kembali menawarkan cinta sekaligus bahaya.
Antara pernikahan paksa, cinta terlarang, dan pengkhianatan sahabat… akankah Amara menemukan jalan keluar atau justru tenggelam semakin dalam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon funghalim88@yahoo.co.id, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4 HARI -HARI MENJELANG PERNIKAHAN
Sejak malam Amara mengucapkan “ya”, hidupnya berubah drastis. Rumah kecil keluarganya kini didatangi kurir bank yang membawa bukti pelunasan utang. Ayahnya mendadak bisa tidur nyenyak, bahkan bernyanyi kecil saat menyapu halaman. Ibunya pun lega, meski wajahnya sering masih murung ketika menatap Amara.
Namun bagi Amara, setiap pagi bagai mimpi yang bukan miliknya. Ia terjaga dengan rasa asing, seakan sedang menjalani hidup orang lain.
Pagi itu, sebuah mobil hitam kembali menjemputnya. Kali ini sopir pribadi Bagas yang datang. “Nona Amara, Pak Bagas meminta Anda ikut ke rumah untuk persiapan.”
Amara hanya mengangguk, lalu pamit pada Ibu. “Aku pergi dulu, Bu.”
Ibu memeluknya erat. “Nak, apa pun yang terjadi, jangan lupakan dirimu sendiri.”
Rumah megah keluarga Atmadja menyambutnya lagi, kali ini dengan kesibukan berbeda. Beberapa perancang busana masuk membawa sketsa gaun, perias wajah memamerkan palet warna, dan konsultan pernikahan sibuk membuka buku catatan tebal.
Amara duduk di kursi panjang, merasa dirinya seperti boneka yang akan dipakaikan kostum. Salah satu perancang menunjukkan gaun putih sederhana dengan hiasan renda di bagian lengan. “Bagas bilang Anda suka yang tidak terlalu mewah. Kami buatkan yang elegan, tapi tetap sederhana.”
Amara menatap gaun itu kosong. “Baik.”
Meylani muncul dari tangga atas, dengan senyum sinis. “Sederhana sekali untuk ukuran istri keluarga Atmadja. Kau yakin bisa berdiri di sampingnya tanpa membuat orang tertawa?”
Para perias pura-pura sibuk, tapi jelas mereka mendengar. Amara menelan rasa perih di dadanya, memilih diam.
“Cukup, Meylani,” suara Bagas terdengar dari ruang tengah. Langkahnya mantap, wajahnya dingin tapi berwibawa. “Aku sudah bilang, aku yang memilih. Gaun sederhana pun tidak akan menurunkan martabatku.”
Meylani mendengus, lalu berbalik meninggalkan ruangan.
Amara mengangkat wajah, menatap Bagas. “Kenapa kau tetap memilihku, meski semua orang menolak?”
Bagas menatapnya singkat. “Karena aku tidak peduli pada pendapat mereka.” Ia lalu beralih pada konsultan. “Pastikan semuanya selesai dalam seminggu.”
Satu minggu. Kata-kata itu menampar kesadaran Amara. Hidupnya benar-benar akan berubah hanya dalam tujuh hari.
Kabar pernikahan itu semakin luas. Media menulis judul-judul sensasional: Konglomerat Atmadja Akan Nikahi Sahabat Anak Perempuannya. Foto Amara diambil diam-diam ketika keluar dari kampus, wajahnya terpampang di artikel daring.
Di koridor kampus, bisikan semakin tajam. “Itu dia yang mau jadi ibu tiri sahabatnya sendiri.”
“Berani sekali ya, pasti demi harta.”
“Kasihan Selvia.”
Amara berusaha menahan kepala tetap tegak, tapi setiap kata itu seperti batu yang dilemparkan ke dadanya.
Selvia tidak lagi menghubunginya. Semua pesan yang dikirim Amara tidak pernah dijawab. Persahabatan bertahun-tahun runtuh begitu saja.
Suatu malam, Amara duduk di balkon kamarnya. Angin membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Davin.
“Aku dengar kau sudah setuju. Amara, pikirkan lagi. Kau tidak perlu melakukan ini. Aku bisa menolongmu.”
Air mata Amara jatuh tanpa ia sadari. Jari-jarinya menari di layar. “Semua sudah terlambat, Vin. Aku tidak bisa mundur.”
“Kalau begitu, biarkan aku tetap di sisimu. Aku tidak akan diam melihatmu terjebak.”
Amara menatap layar lama sekali. Sebagian hatinya ingin meraih kembali tangan Davin, tapi kenyataan sudah terlanjur ia pilih. Ia hanya menjawab singkat, “Jangan cari aku. Ini pilihanku.”
Ia mematikan ponsel, menengadah pada langit yang kelam.
Hari-hari berlalu cepat. Gaun sudah jadi, undangan sudah dicetak, gedung sudah dipesan. Bagas bergerak seakan ini proyek bisnis, bukan pernikahan. Semua teratur, semua rapi, semua dingin.
Malam sebelum hari pernikahan, Amara dipanggil ke ruang kerja Bagas. Ruangan luas dengan rak buku tinggi dan aroma kayu mahal.
“Duduk,” katanya singkat.
Amara duduk, tangannya meremas rok.
“Mulai besok, hidupmu akan berubah. Akan banyak orang yang mengincarmu, memfitnahmu, mencoba menjatuhkanmu. Kau harus siap.”
Amara menatapnya. “Kenapa aku merasa ini bukan pernikahan, tapi perang?”
Bagas mengangkat alis. “Karena memang begitu.”
Ia menyodorkan sebuah dokumen tambahan. “Ini kontrak perlindungan. Semua aset keluargamu aman. Kau tidak perlu khawatir lagi.”
Amara menatap kertas itu, lalu menatap Bagas. “Apa kau pernah memikirkan perasaanku? Tentang bagaimana aku harus kehilangan sahabat, menghadapi kebencian orang, menikah dengan pria yang bahkan bukan pilihanku?”
Untuk pertama kali, wajah Bagas berubah. Ada jeda sesaat sebelum ia menjawab. “Tidak. Karena aku tidak terbiasa memikirkan perasaan. Aku terbiasa memikirkan solusi.”
Air mata Amara menetes, tapi ia cepat menyekanya. Ia berdiri. “Kalau begitu, mulai besok, aku hanya solusi bagimu. Bukan istri.”
Bagas tidak menahan. Ia hanya menatap punggung Amara hingga pintu tertutup.
Hari pernikahan tiba.
Gedung pernikahan dipenuhi bunga putih dan lampu kristal. Wartawan berbaris di luar, kamera siap menyorot. Undangan dari kalangan pejabat, pengusaha, hingga selebriti hadir.
Amara berdiri di ruang rias, mengenakan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Wajahnya dipoles sempurna, tapi matanya menyimpan badai.
Ibu masuk, menatapnya dengan air mata. “Kau cantik sekali, Nak.”
Amara memeluk ibunya erat. “Bu, doakan aku kuat.”
“Selalu,” bisik Ibu.
Pintu terbuka. Seorang panitia memberi isyarat. “Waktunya.”
Amara menarik napas panjang, lalu melangkah keluar. Musik mengalun lembut, tamu-tamu berdiri. Di ujung lorong, Bagas menunggunya dengan wajah teguh.
Setiap langkah terasa berat, tapi ia terus berjalan. Sorot lampu kamera menyilaukan, suara bisik-bisik menusuk telinga. Namun ia menatap lurus ke depan, pada lelaki yang kini menjadi takdirnya.
Ketika akhirnya berdiri di samping Bagas, penghulu membuka acara. Suara lantang memimpin ijab kabul, dan dengan sekali ucap, hidup Amara resmi terikat pada pria yang usianya dua kali lipat dirinya.
Tepuk tangan menggema. Senyum tamu-tamu terlihat, kilatan kamera tak berhenti.
Namun di dalam hati Amara, hanya ada satu kalimat yang bergema: Aku bukan lagi diriku yang dulu.
Tepuk tangan yang memenuhi gedung masih menggema di telinga Amara bahkan setelah ijab kabul selesai. Ia menatap tangannya yang kini berhias cincin emas sederhana. Dunia luar bersorak, tetapi dalam dirinya hanya sunyi.
Usai prosesi, para tamu berbaris memberi selamat. Senyum yang mereka suguhkan terasa palsu, seolah sedang menonton sandiwara yang menghibur sekaligus mengejutkan. Beberapa menyalami Bagas dengan penuh hormat, tapi menatap Amara dengan rasa ingin tahu bercampur sinis.
“Cantik sekali pengantin barunya, Pak Bagas,” ujar seorang pejabat setengah berbisik. “Beruntung sekali.”
Bagas hanya mengangguk singkat. Ia memegang tangan Amara seolah memastikan gadis itu tetap tegak.
Di sisi lain, Selvia berdiri dengan wajah pucat. Ia datang bersama keluarga besar, namun sejak awal tak sekali pun menatap Amara. Ketika pandangan mereka akhirnya bertemu, hanya ada kebencian dingin yang menyayat. Amara ingin menghampirinya, tapi langkah kakinya terkunci.
Meylani mendekat sambil tersenyum tipis. “Selamat ya, Amara. Semoga kau kuat. Menjadi bagian dari keluarga ini bukan hanya soal cincin di jari, tapi soal bertahan hidup.”
Amara terdiam. Ia tahu sindiran itu bukan ucapan basa-basi, melainkan ancaman yang halus.
Selesai resepsi, Amara dibawa ke kamar pengantin di rumah besar keluarga Atmadja. Kamar itu luas, dengan ranjang megah dan tirai panjang menjuntai ke lantai. Namun bagi Amara, semua itu terasa asing.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap gaun pengantinnya yang kini sudah terasa berat. Kamar hening, hanya terdengar detak jam dinding yang lambat.
Pintu terbuka, Bagas masuk dengan setelan formal yang sudah ia longgarkan. Wajahnya tetap dingin, tapi suaranya terdengar lebih pelan.
“Semua sudah selesai. Mulai malam ini, kau resmi jadi istriku.”
Amara mengangkat wajah, matanya basah. “Apa kau sadar apa yang baru saja kau lakukan padaku? Hidupku berubah dalam semalam. Aku kehilangan sahabatku, aku jadi bahan gosip, dan semua orang memandangku dengan hina.”
Bagas berjalan mendekat, lalu berhenti di hadapannya. “Aku tahu. Tapi keputusan sudah diambil. Kau harus kuat.”
“Kenapa aku?” Amara mendesah. “Kenapa bukan orang lain?”
“Karena hanya kau yang berani menatapku dan tetap berdiri,” jawab Bagas tenang. “Itu cukup bagiku.”
Amara menunduk, air matanya jatuh ke pangkuan. “Aku tidak yakin bisa bertahan.”
Bagas menarik napas panjang, lalu duduk di kursi seberang ranjang. “Kau tidak sendirian. Aku akan melindungimu, meski caraku mungkin tak pernah membuatmu nyaman.”
Hening kembali merayap di kamar megah itu.
Keesokan harinya, media nasional penuh dengan berita pernikahan mereka. Judul-judul bertebaran: Konglomerat Bagas Atmadja Nikahi Sahabat Putrinya Sendiri. Foto Amara dalam gaun putih tersebar luas, memenuhi portal berita dan media sosial.
Di kampus, gosip semakin keras. Banyak mahasiswa membicarakan Amara seolah ia tidak duduk di tengah mereka. Beberapa teman lama memilih menjauh, takut terseret kontroversi.
Amara berjalan dengan kepala tertunduk, tetapi di dalam dirinya ada bara kecil: kemarahan yang mulai tumbuh, meski masih tertutup oleh rasa takut.
Sore itu, Davin menghampirinya di gerbang kampus. “Aku lihat beritanya. Kau benar-benar melakukannya.”
Amara menatapnya dengan mata lelah. “Aku tidak punya pilihan.”
“Ada selalu pilihan, Amara,” Davin membalas dengan nada getir. “Tapi kau memilih jalan tersulit. Jika suatu saat kau tidak sanggup lagi, carilah aku. Aku tidak akan kemana-mana.”
Amara tidak menjawab. Ia hanya melangkah pergi, meninggalkan Davin dengan rasa hampa.
Malam kedua setelah pernikahan, Amara duduk di balkon rumah besar Atmadja. Angin malam membawa aroma bunga dari taman luas, tapi bagi Amara semuanya hanya terasa sepi.
Selvia belum sekali pun bicara dengannya. Meylani semakin sering melontarkan sindiran. Para pelayan memperlakukannya sopan, namun dingin.
Bagas datang, berdiri di samping balkon. Ia menatap langit malam tanpa bicara beberapa saat.
“Aku tahu kau tidak bahagia,” ucapnya akhirnya. “Tapi kau sudah memilih. Bertahanlah. Waktu akan menjawab sisanya.”
Amara menoleh, menatap wajah pria itu dalam cahaya bulan. “Bertahan? Kau kira itu mudah?”
“Tidak,” jawab Bagas singkat. “Tapi kau akan belajar.”
Amara terdiam, memalingkan wajah. Malam itu, ia sadar: pernikahan ini bukan akhir dari penderitaan, melainkan awal dari perjalanan panjang yang penuh badai.
Dan di dalam hatinya, tekad kecil mulai tumbuh. Jika ia memang harus menjalani ini, ia tidak akan hanya jadi pion. Ia akan menemukan cara untuk tetap berdiri—meski harus melawan semua orang, termasuk suaminya sendiri.