Laura Clarke tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Pertemuannya dengan Kody Cappo, pewaris tunggal kerajaan bisnis CAPPO CORP, membawanya ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan intrik. Namun, konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu lebih besar dari yang ia bayangkan: ia mengandung anak sang pewaris. Terjebak di antara cinta dan kewajiban.
"kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja di saat kau sedang mengandung anakku?"
"[Aku] bisa menjaga diriku dan bayi ini."
"Mari kita menikah?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bgreen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
rencana penculikan
Black pergi ke rumah sakit tempat Connie bekerja. Matanya yang tajam mengamati setiap gerak-gerik Connie, mempelajari rutinitasnya seperti seorang ilmuwan mengamati subjek penelitiannya.
Ia mencari celah, titik lemah yang bisa dimanfaatkan untuk melancarkan aksinya. Lorong rumah sakit terasa sesak malam itu.
Aroma obat-obatan bercampur dengan bau antiseptik, menciptakan suasana yang khas namun kurang menyenangkan.
Perawat dan pengunjung berlalu lalang, sibuk dengan urusan masing-masing.
Saat melihat Connie, jantung Black berdetak lebih cepat. Ia mempercepat langkahnya, mendekati wanita itu dengan hati-hati.
Connie tampak sibuk berbicara dengan seorang perawat, terlalu fokus untuk menyadari kehadiran Black.
BRUK...
Black sengaja menabrak Connie, menciptakan ilusi ketidaksengajaan. Ponsel Connie terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai.
Dengan sigap, Black memungut ponsel itu sebelum orang lain sempat melakukannya.
"Maaf," ucap Black dengan suara rendah, menunduk untuk menyembunyikan wajahnya.
"Tidak apa-apa. Aku juga minta maaf," jawab Connie dengan nada lembut.
Tanpa berlama-lama, keduanya melanjutkan langkah ke arah yang berlawanan.
Black merasakan sentuhan singkat Connie, sebuah kontak fisik yang sederhana namun membangkitkan sensasi aneh dalam dirinya.
Black berjalan keluar melalui pintu parkiran samping rumah sakit menuju mobilnya yang terparkir di sana.
Udara malam terasa dingin dan segar, namun pikirannya tetap tertuju pada Connie.
Di dalam mobil, Black menyalakan aplikasi pelacak di ponselnya.
Sebuah titik merah muncul di layar, menandakan keberadaan Connie. Senyum tipis menghiasi bibirnya. Rencananya berjalan sesuai harapan.
*
*
*
*
*
Tok tok tok...
Suara ketukan pintu memecah kesunyian ruang kerja Connie di rumah sakit.
"Masuk," sahut Connie tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di hadapannya.
Ceklek...
Connie mendongak, melihat siapa yang datang mengunjunginya.
"Hugo? Ada apa?" tanya Connie, alisnya sedikit terangkat.
"Di mana kau sembunyikan Geneva?" tanya Hugo langsung tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar mendesak.
"Aku membawanya ke tempat yang aman. Dia butuh tempat yang baik untuk memulihkan lukanya," jawab Connie tenang, namun ada nada tegas dalam suaranya.
"Geneva paling aman berada di markas, Connie. Kau tidak bisa membawanya begitu saja tanpa meminta izin padaku," balas Hugo, rahangnya mengeras.
"Tenanglah. Dia aman dan tidak akan bisa kabur," ucap Connie, mencoba menenangkan Hugo.
"Connie..." desis Hugo, memperingatkan.
"Kau tidak percaya padaku? Geneva seorang pasien, aku sebagai dokter harus mengobatinya hingga sembuh. Kau menempatkannya di kamar markas tanpa menghirup udara luar dan terkurung begitu saja. Itu akan memperburuk keadaannya," jelas Connie dengan nada frustrasi.
"Setelah dia sembuh, aku akan memberitahumu di mana dia (Geneva). Atau kau cari sendiri di mana Geneva berada sekarang," lanjut Connie, menantang Hugo.
"Haaaah..." Hugo menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya.
"Dia harus tetap dalam pengawasanku, Connie. Bagaimana kalau dia kabur?" ucap Hugo, kekhawatiran terpancar dari matanya.
"Dia tidak akan kabur. Kau tenanglah," ucap Connie, menatap Hugo dengan tatapan menyelidik.
"Baiklah, aku akan menemukannya sendiri," putus Hugo dengan nada pasrah.
"Kenapa kau begitu takut? Aku sudah bilang akan memberitahumu jika Geneva sudah sembuh," ucap Connie, curiga dengan sikap kakaknya.
"Geneva harus berada dalam pengawasanku, Connie," ulang Hugo, bersikeras.
"Jangan bilang kau tertarik dengan Geneva? Kau tahu kalau dia korban kekerasan. Kenapa kau harus menahannya? Seharusnya kau melepaskannya, Hugo!" seru Connie, emosinya mulai terpancing.
"Aku punya alasan kenapa aku masih menahannya," jawab Hugo dengan nada misterius.
"Terserah, carilah dia sampai ketemu," ucap Connie dengan nada sinis.
"Haaaah..." Hugo menghela napas berat. Ia tahu adiknya sangat keras kepala. Ia harus berpikir keras di mana Connie menyembunyikan Geneva.
Connie sedang bersiap-siap, memasukkan barang-barangnya ke dalam tas karena hendak pulang kerja.
Ia melihat Hugo yang tampak putus asa dan tersenyum tipis.
Ia bisa merasakan bahwa kakaknya memiliki perasaan yang berbeda terhadap Geneva.
"Baiklah, aku akan pulang jika tak ada lagi yang ingin dibicarakan," ucap Connie, suaranya lirih namun tegas, memecah keheningan ruangan.
"hmm," jawab Hugo lembut, sorot matanya mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap sang adik.
"Aku akan mengantarmu pulang," tawar Hugo, mencoba memastikan keselamatannya.
"Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Kau pasti sibuk mengurus bisnis Kody saat ini," tolak Connie halus, menyadari beban yang dipikul kakaknya sejak Kody fokus merawat Laura yang sakit. Ia tahu, Hugo selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya.
Hugo mengangguk pelan, mengiyakan tanpa membantah. Keduanya berjalan keluar ruangan, melewati lorong rumah sakit yang sunyi senyap di bawah rembulan malam.
Hanya beberapa perawat dan dokter jaga yang tampak berjaga, menciptakan suasana hening yang menusuk kalbu.
Di parkiran, mereka berpisah. Connie masuk ke dalam mobilnya, menghidupkan mesin, dan melaju meninggalkan rumah sakit, menuju apartemen mewahnya yang terasa hampa.
*
Sesampainya di apartemen, Connie membuka pintu dengan wajah lelah.
Ia melempar coat yang dikenakannya ke sofa, membiarkannya tergeletak begitu saja.
Saat berjalan menuju dapur, Connie mencium aroma asing yang menusuk hidung.
Bukan aroma parfum atau masakan, melainkan bau maskulin yang kuat dan tak dikenal. Instingnya berteriak, ada sesuatu yang tidak beres.
Dengan tenang, Connie membuka laci kedua di dapur, tempat ia menyimpan pistol untuk melindungi diri.
Jantungnya berdebar kencang, namun ia berusaha mengendalikan diri.
Sambil menggenggam pistol, ia menyalakan ponselnya, bersiap menghubungi Hugo jika terjadi sesuatu.
Semakin Connie melangkah, semakin kuat pula keyakinannya bahwa ada seseorang di belakangnya.
Aroma tubuh asing itu semakin mendekat, membuat bulu kuduknya meremang.
Dengan gerakan cepat, Connie berbalik dan mengacungkan pistol. Namun, pria di belakangnya bergerak lebih cepat.
Dengan tatapan dingin dan gerakan lincah, ia merebut pistol dari tangan Connie dengan mudah.
Pria itu mengarahkan pistol yang baru direbutnya ke arah Connie, matanya memancarkan aura mengancam.
"Siapa kau? Apa maumu?" tanya Connie, berusaha tetap tenang meski ketakutan mulai mencengkeram hatinya.
"Matikan ponselmu," perintah pria itu dengan suara berat dan dingin.
Dengan ragu, Connie mematikan ponselnya yang masih berdering.
Tak... Sambungan telepon terputus.
"Aku tidak ingin menyakitimu, jadi jangan..." Pria itu tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia mendekat, lalu memukul tengkuk Connie dengan keras, membuatnya kehilangan kesadaran.
Dengan sigap, pria itu menggendong tubuh Connie dan membawanya pergi dari apartemen dengan hati-hati, menghindari pengawal Connie yang berjaga di luar.
Ia menghilang di kegelapan malam, meninggalkan apartemen yang sunyi dan misteri yang menggantung di udara.
suka banget thor ,sama sifat kody yg begini😂😄