Demi kabur dari perjodohan absurd yang dipaksakan oleh ayahnya, Azelia Nayara Putri Harrison nekat meminta bantuan dari seorang pria asing yang ditemuinya secara tidak sengaja di jalan.
Namun pria itu bukanlah orang biasa—Zevian Aldric Rayford Steel, pewaris utama keluarga Steel; sosok yang dingin, ambisius, arogan, dan… anehnya, terlalu cepat jatuh hati pada wanita asing yang baru ditemuinya.
Saat Zevian menawarkan pernikahan sebagai jalan keluar dari imbalan yang dia minta, Nayara menyetujuinya, dengan satu syarat: pernikahan kontrak selama 2400 jam.
Jika dalam waktu itu Zevian gagal membuat Nayara percaya pada cinta, maka semuanya harus berakhir.
Namun bagaimana jika justru cinta perlahan menjawab di tengah permainan waktu yang mereka ciptakan sendiri? Apakah Zevian akan berhasil sebelum kontrak pernikahan ini berakhir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Permintaan seorang ayah
Suasana sarapan itu berlangsung dalam diam. Hening. Tidak ada obrolan, tidak ada tegur sapa, hanya suara alat makan beradu dengan piring yang terdengar sesekali. Keheningan itu seperti tembok tinggi yang belum bisa mereka runtuhkan, padahal keduanya tahu, di balik diam itu tersimpan banyak hal yang tak sempat diungkapkan.
Namun, tiba-tiba Nayara tersedak. Entah karena melamun, atau karena memang sejak awal ia tidak benar-benar fokus pada makanannya. Tubuhnya terbatuk-batuk keras, tangan kanan menekan dadanya, sementara wajahnya memerah menahan sakit di tenggorokannya.
Anthony sontak berdiri dan berjalan cepat ke arahnya. Wajahnya panik.
"Naya!" panggilnya cemas, lalu dengan sigap menyodorkan segelas air putih yang ada di dekatnya. Ia mengusap punggung putrinya perlahan, penuh perhatian.
Nayara masih terbatuk-batuk, dan Anthony terus mengusap punggungnya lembut sambil membungkuk ke arah tubuh Nayara, memastikan putrinya baik-baik saja.
Di tengah kepanikan itu, Nayara mendadak terdiam. Matanya sayu memandangi wajah ayahnya yang kini begitu dekat. Gerakan tangannya, cara dia menepuk punggung, hingga nada suara yang penuh kekhawatiran—semuanya terasa begitu familiar. Ia ingat betul, itu adalah perlakuan yang sama seperti ketika ia masih kecil dulu, ketika ia terjatuh saat bermain, atau ketika demam tinggi dan ayahnya begadang menemaninya. Semuanya… tidak berubah.
"Ya ampun, makannya... kalau makan pelan-pelan," ujar Anthony, masih setia mengusap punggungnya dengan lembut. Nayara akhirnya mulai tenang. Napasnya kembali teratur meskipun tenggorokannya masih terasa perih.
"Sudah... Pa," ucap Nayara pelan, membuat gerakan tangan Anthony langsung terhenti.
"Masih sakit?" tanya Anthony dengan suara lebih lembut kali ini.
Nayara mengangguk pelan, dan seketika, seperti kabut yang mulai tersibak matahari, kecanggungan yang menyelimuti hubungan mereka sejak semalam perlahan menghilang. Ada hangat yang kembali muncul, meskipun kecil dan belum utuh.
"Sebentar. Biasanya kamu akan lebih baik setelah minum susu," ucap Anthony sembari berdiri dan berjalan cepat menuju dapur.
Nayara memperhatikan punggung ayahnya itu dari kejauhan. Pria yang tak lagi muda itu masih bergerak cepat, seolah waktu tidak pernah memberinya izin untuk melambat. Dalam diam, Nayara menatapnya—bukan dengan amarah, bukan pula dengan luka, tapi dengan campuran bingung dan rindu yang samar-samar muncul ke permukaan.
Tak lama, Anthony kembali ke ruang makan dengan segelas susu hangat di tangannya.
"Minumlah pelan-pelan," ucapnya, lalu menyodorkan gelas itu kepada putrinya.
Nayara menerima gelas itu dan menyesap perlahan. Rasa susu yang hangat menyusuri tenggorokannya, memberikan kenyamanan kecil, setidaknya cukup untuk meredakan perih yang tadi menusuk. Ia mengangguk pelan setelah meneguknya.
"Sedikit lebih baik," gumamnya pelan.
Anthony hanya mengangguk, namun di matanya terpancar kelegaan yang tulus. Untuk sesaat, mereka kembali menjadi ayah dan anak—tanpa luka, tanpa marah, hanya dua orang yang pernah saling menyayangi dalam diam yang sama.
"Terima kasih, Pa," ucap Nayara lirih, disambut anggukan kecil dari Anthony yang kini kembali bersikap dingin.
Nayara menarik napas pelan. Nafsu makannya langsung hilang. Rasa perih di tenggorokan belum sepenuhnya reda, ditambah suasana hati yang kembali terpuruk karena perubahan sikap ayahnya. Ia mendorong piring pelan, mengambil sebuah buah apel dari keranjang, lalu mulai mengupasnya dengan pisau kecil.
Sesekali, matanya melirik ke arah Anthony yang masih makan dalam diam. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut pria itu. Seolah kehangatan tadi hanyalah ilusi sesaat.
Tiba-tiba, ponselnya yang tergeletak di meja bergetar dan memancarkan cahaya dari layar. Di sana tertera nama yang membuat jantung Nayara sedikit berdebar—“Zevian.”
Ia segera mengangkat panggilan itu.
"Iya..." jawabnya singkat.
"Aku tidak bisa masuk," suara Zevian terdengar jelas, diiringi nada kesal yang tak disamarkan. Nayara yang langsung memahami maksud Zevian hanya tersenyum kecil. Ada nada geli dalam suaranya saat ia menjawab.
"Lalu?" tanyanya, berusaha menahan tawa. Kapan lagi ia bisa mengerjai pria arogan itu.
"Lalu?" ulang Zevian, nadanya terdengar semakin tajam dan tidak sabar.
"Iya, lalu kenapa?" Nayara kembali bertanya dengan nada datar yang disengaja, matanya melirik ke arah ayahnya yang masih tidak peduli.
Nayara tahu persis bagaimana ketatnya penjagaan di area perumahan eksklusif ini. Orang-orang yang tinggal di lingkungan itu bukan sembarang orang—kebanyakan dari mereka adalah tokoh publik, pejabat, hingga pebisnis ternama. Tidak sembarang tamu bisa masuk tanpa izin tertulis atau konfirmasi dari penghuni rumah.
"Nayara... sungguh?" tanya Zevian lagi, suaranya mulai teredam frustrasi.
"Kamu kan punya nama. Tinggal gunakan koneksimu, apa susahnya?" ujar Nayara santai, tetap dalam mode menggoda.
"Tidak bisa seperti itu. Ini bukan daerahku," jawab Zevian tegas. Suaranya terdengar menahan kesal, tetapi tetap tidak kehilangan kontrol.
"Kalau begitu, tidak usah kemari," ujar Nayara tanpa ragu hingga terdengar jeda di seberang sana, sebelum akhirnya suara Zevian terdengar lebih dingin dan penuh tekanan.
"Baiklah. Aku tidak akan mengurusnya. Itu lebih baik," ucapnya, lalu klik—panggilan berakhir. Mata Nayara langsung membelalak kecil. Ia tahu ucapan Zevian barusan bukan sekadar ucapan spontan. Itu pasti berkaitan dengan kontrak pernikahan mereka—sesuatu yang tidak bisa dianggap main-main.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan ulang kontak Zevian. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
Namun, semua panggilannya ditolak.
Panik mulai menyelimuti dirinya. Tangannya mulai berkeringat, dan rasa khawatir perlahan menjalar di dadanya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelisah yang mulai memuncak. Zevian tidak main-main jika sudah berkata seperti itu. Dan kini Nayara tahu—ia mungkin sudah mendorong pria itu melewati batas kesabarannya.
Anthony memperhatikan Nayara yang tampak kesal. Namun, seperti biasa, ia tidak ikut menanggapi. Pandangannya tetap tertuju pada piring makanannya, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Nayara terus mencoba menelepon Zevian. Setelah beberapa kali panggilan yang ditolak, akhirnya sambungan tersambung. Zevian mengangkat teleponnya, namun tidak ada sapaan hangat atau pertanyaan—hanya suara dingin yang langsung menyambar dari seberang.
"Aish... menyebalkan," gumam Nayara kesal, namun Zevian tidak merespons ucapan itu.
"Aku sudah di jalan pulang. Tidak jadi ke sana," ujarnya dengan nada datar dan tanpa emosi.
"Aish... jangan begitu. Kita harus mengurus itu," ucap Nayara, kini memelankan suaranya, menyadari bahwa ayahnya masih duduk tak jauh darinya.
"Aku malas," balas Zevian pendek. Tak ada emosi yang bisa dibaca dari suaranya, hanya keengganan yang begitu jelas. Nayara mendengus pelan, kesal. Niat hati hanya ingin sedikit mengerjai pria itu, namun justru dirinya sendiri yang berakhir kelabakan.
"Maaf, aku bercanda," ucap Nayara akhirnya, mencoba memperbaiki kesalahannya.
Namun yang ia terima justru suara klik dari ponsel—Zevian memutus sambungan telepon tanpa sepatah kata pun. Nayara terdiam, menatap layar ponselnya yang perlahan meredup. Matanya memantul bayangan dirinya sendiri, yang kini mulai dikuasai rasa sesal.
Namun tak berselang lama, suara klakson mobil terdengar dari arah gerbang depan. Nayara spontan bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke arah luar. Begitu membuka pintu utama dan melangkah ke pekarangan, matanya langsung tertuju pada sebuah mobil sport berwarna hitam metalik yang meluncur masuk dengan elegan.
Mobil milik Zevian.
"Sial..." desis Nayara pelan, mendengus kesal.
Ternyata pria itu benar-benar datang. Dan lebih dari itu—dia benar-benar menggunakan nama Nayara untuk bisa melewati pos keamanan. Niat awal Nayara untuk mengerjainya justru berbalik arah. Kini ia yang merasa seperti dipermainkan.
Pintu mobil terbuka, dan sosok Zevian muncul dari baliknya. Ia turun perlahan, lalu berjalan santai ke arah teras. Setiap langkahnya terdengar mantap, tidak terburu-buru namun tetap menunjukkan aura dominan yang sulit diabaikan. Sepatu sneakers hitamnya menapaki satu per satu anak tangga teras tanpa tergesa.
Hari ini, penampilannya lebih kasual dari biasanya—tanpa jas mahal atau kemeja formal. Ia hanya mengenakan kaus lengan panjang berwarna hitam polos yang pas membalut tubuh tingginya. Celana jins gelap yang membingkai kakinya terlihat rapi, tak ada lipatan berantakan, seperti memang disesuaikan dengan bentuk tubuhnya yang proporsional.
Jam tangan berwarna perak melingkar di pergelangan kirinya, dan kalung couple yang biasa mereka pakai—yang selama ini Nayara anggap hanya sebagai formalitas kontrak—masih tergantung di lehernya. Sedikit tersembunyi di balik kerah kaus, tapi cukup jelas untuk terlihat.
Matanya menatap Nayara sekilas dari kejauhan, sebelum akhirnya dia berhenti tepat di depan gadis itu. Tatapannya datar, namun ada ketegasan di sana—seperti pria yang tahu betul bahwa dia datang bukan untuk main-main.
"Selamat pagi, calon istri," sapa Zevian sambil menyunggingkan senyum tipis di hadapan Nayara. Nada suaranya ringan, seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Nayara mendengus kesal, melipat tangannya di depan dada.
"Menyebalkan," balasnya singkat, wajahnya menunjukkan ekspresi tidak puas.
Zevian terkekeh pelan, geli melihat reaksi Nayara yang begitu mudah dibaca. Ia melangkah lebih dekat, menjaga jarak yang tidak terlalu intim namun cukup dekat untuk membuat Nayara semakin jengkel.
"Tadi kamu bilang aku harus menggunakan namaku, maka aku menggunakannya. Apa salahnya?" ujarnya ringan, mengangkat kedua bahu seperti seseorang yang tidak merasa bersalah sedikit pun.
Nayara hanya menatapnya dengan sorot mata tajam. Ia kesal karena merasa dikalahkan dalam permainan yang awalnya ia ciptakan sendiri.
"Terserah," jawabnya dengan nada datar, lalu memalingkan wajah. Ia masih belum sepenuhnya terima karena ulah Zevian yang membalikkan situasi. Zevian memperhatikan wajah Nayara sesaat, lalu matanya turun memperhatikan leher gadis itu. Wajahnya perlahan berubah.
"Di mana kalungmu?" tanyanya pelan, begitu menyadari bahwa Nayara tidak memakai kalung couple yang biasanya tergantung di sana.
"Aku melepaskannya. Aku tidak suka memakai perhiasan," jawabnya jujur tanpa merasa bersalah. Zevian menghela napas pendek. Ia terlihat kecewa, meskipun mencoba untuk tidak terlalu menunjukkannya.
"Pakailah... jangan dilepas. Aku memilihnya sengaja agar kita bisa memiliki barang yang sama," ujarnya, kali ini suaranya lebih lembut, nyaris terdengar seperti harapan kecil yang ingin ia pertahankan.
"Tidak mau," jawab Nayara cepat, tak memberi celah sedikit pun.
Zevian terdiam sesaat. Ia menunduk, lalu tanpa berkata apa-apa, tangannya terangkat ke lehernya sendiri. Dengan gerakan pelan, ia melepaskan kalung couple yang semula tergantung di sana. Ia menatapnya sebentar, lalu memasukkannya ke dalam saku celana jinsnya.
Keheningan melingkupi mereka beberapa detik sebelum akhirnya Zevian membuka suara lagi, kali ini dengan nada bicara yang sudah tidak seantusias sebelumnya.
"Kapan kita pergi?" Tanya Zevian yang membuat Nayara menoleh, lalu mengangguk kecil.
"Ayo pamit dulu pada Papa," ajaknya.
Zevian hanya mengangguk pelan, lalu mengikuti langkah Nayara menuju pintu masuk rumah. Gerakannya tidak seceria biasanya, ada kesan lesu yang terpancar dari raut wajahnya.
Saat mereka masuk ke ruang makan, Anthony masih duduk di tempat yang sama. Ia tampak sedang menikmati sepiring buah segar—mungkin baru saja dipotong oleh pelayan. Lelaki paruh baya itu tidak menunjukkan reaksi apa pun saat melihat kehadiran putri dan calon menantunya. Ia hanya mengalihkan pandangan sekilas, lalu kembali fokus pada buah di depannya.
Suasana ruangan terasa kaku, seperti ada sekat tak terlihat yang menghalangi percakapan hangat di antara mereka. Hening, sampai akhirnya Nayara mengambil inisiatif.
"Pa, Naya akan keluar bersama Zevian," ujar Nayara sopan, berdiri di hadapan sang ayah dengan nada suara hati-hati. Anthony mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangan dari buah yang sedang ia suapkan ke mulut.
"Pergilah. Tapi pulang ke mari, jangan ke apartemen. Papa tidak mengizinkanmu kembali ke sana. Aksesmu ke sana sudah diblokir," ucapnya tenang, namun tegas. Tidak ada ruang untuk tawar-menawar dalam nada bicaranya.
Mendengar pernyataan itu, Nayara terdiam. Kedua alisnya bertaut halus, menyiratkan keterkejutan dan sedikit kekecewaan yang tidak bisa ia sembunyikan.
"Papa tidak bilang soal ini," gumamnya pelan, menahan rasa kecewa yang perlahan mengendap di dada. Suaranya terdengar getir. Anthony menoleh sekilas, sorot matanya tetap dingin. Ia mengangkat garpu, menusukkan potongan apel, lalu menyuapkannya perlahan.
"Papa tidak perlu bilang jika Papa ingin mengambil fasilitas yang sudah Papa berikan. Terkadang, anak yang tidak patuh harus diberi hukuman supaya dia sadar," ujarnya datar tanpa menatap Nayara, seolah kalimat itu hanya pernyataan formal yang tak butuh respon.
"Tapi pa, Naya ingin tinggal di apartemen Pa, itu lebih dekat dengan kampus. Papa jangan seperti itu," ujar Nayara lagi wajahnya masak jelas tak terima.
"Papa tidak perduli," ujar nya yang membuat Nayara menggigit bibir bawahnya. Ia tahu, melanjutkan perdebatan hanya akan membuat dirinya frustrasi. Ia telah terbiasa dengan cara sang ayah memperlakukan segala sesuatu seperti kontrak yang dingin dan kaku—tidak ada ruang untuk diskusi, apalagi perasaan. Dengan nada yang sudah lebih tenang, ia berkata.
"Kamu tunggu di sini. Aku ke kamar dulu. Duduk saja." Ujar nya yang membuat Zevian hanya mengangguk singkat, matanya mengikuti langkah Nayara yang mulai menjauh.
Zevian kemudian menarik kursi dan duduk di kursi meja makan yang terletak agak ke samping dari posisi Anthony, memberi jarak aman namun masih dalam jangkauan komunikasi. Keheningan perlahan melingkupi ruangan itu. Tak ada suara selain denting garpu menyentuh piring dan detik jam di dinding. Atmosfernya canggung—dingin dan kaku seperti udara pagi tanpa matahari.
Beberapa menit berlalu sampai akhirnya Anthony membuka suara, mencoba mengikis diam yang menggantung berat di antara mereka.
"Dia takut pada pria..." Zevian melirik kearah Anthony tapi tidak bicara atau menanggapi apapun, sampai Anthony kembali berkata "saya tidak tahu bagaimana cara mu mendapatkan perhatian nya, tapi sejak dulu dia memang tidak menyukai laki-laki. Saya sempat berpikir apakah dia menyimpang atau bagaimana, oleh sebab itulah saya menjodohkan dia dengan anak dari kolega saya. Dan dia malah kabur, mungkin saat itu kalian bertemu? Atau sudah lebih lama dari itu?" Tanya Anthony yang membuat Zevian menjawab ragu.
"Tidak sesingkat itu, dan tidak selama itu juga... kami bertemu sekitar satu bulan yang lalu," ujar zevian mengulangi kebohongan yang sama agar terdengar masuk akal dan sinkron dengan yang selalu dia ucapkan pada siapapun.
"Satu bulan untuk jatuh cinta," Ujar Anthony dia terkekeh geli tapi nadanya datar. "Bahkan pembangunan pos keamanan depan itu memerlukan waktu tujuh bulan hingga sempurna, apakah bisa orang jatuh cinta secepat itu?" Ujar Anthony yang membuat zevian terdiam sebelum menjawab. Tangannya mengepal di atas lutut, rahangnya mengeras, tapi wajahnya tetap datar. Ia menatap lurus ke depan, ke arah jendela yang temaram, sebelum akhirnya bersuara pelan tapi jelas.
“Om… pos keamanan mungkin butuh tujuh bulan untuk sempurna, tapi dasarnya bisa dipasang dalam satu hari. Sisanya soal menguatkan, memperjelas struktur, dan membuatnya tahan guncangan. Bukankah begitu juga dengan hubungan?” Ujar Zevian yang membuat Anthony meliriknya, ekspresi wajahnya datar namun matanya menyipit, seolah mencoba menelanjangi maksud dari kata-kata itu.
“Jadi, maksudmu… dasar hubungan kalian itu sudah kuat sejak awal?” tanyanya, skeptis. Zevian menoleh perlahan, pandangannya tenang.
“Bukan kuat, Om. Tapi nyata. Naya tidak jatuh cinta pada saya. Mungkin dia bahkan belum paham apakah dia mencintai saya atau tidak. Tapi dia butuh seseorang yang tidak memaksa masuk, melainkan mengetuk. Dan saya hanya melakukan itu—mengetuk, sampai dia membuka pintunya sendiri." Ujar Zevian yang membuat Anthony mengangkat alis.
“Kamu percaya bisa membangun rumah di atas fondasi yang rapuh?”tanya Anthony menatap lekat sorot mata calon menantunya itu.
“Saya percaya bisa memperkuat fondasi itu bersama orang yang mau bertahan,” balas Zevian cepat. “Saya tidak menuntut Nayara untuk langsung percaya, apalagi cinta. Tapi saya di sini bukan untuk mengambilnya, Om. Saya hanya ingin berdiri di sisinya—sampai dia percaya bahwa saya tidak akan menyakitinya seperti laki-laki lain dalam hidupnya.” lanjut Zevian yang membuat Anthony menatap Zevian lebih lama kali ini. Ada jeda yang menggantung di antara mereka, cukup lama hingga suara jam dinding terdengar mendebar.
“Kamu berbicara seolah kamu mengenalnya begitu dalam padahal baru satu bulan,” gumam Anthony, entah bicara pada Zevian atau pada dirinya sendiri.
“Satu bulan mungkin tidak cukup untuk memahami seluruh isi hatinya, tapi cukup untuk saya tahu bahwa saya ingin terus mencoba.” ujar Zevian lirih. Anthony terdiam. Bahunya mengendur sedikit, napasnya terdengar berat.
“Kamu tahu, Zevian…” katanya kemudian, “saya tidak suka pembohong. Tapi saya bisa toleransi pada seseorang yang berbohong demi melindungi seseorang yang ia anggap penting.” lanjut nya namun Zevian tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil, tanpa senyum, tapi matanya mantap. Anthony memandangnya sekali lagi sebelum akhirnya berujar:
“Kalau kamu melukai dia… saya tidak akan tinggal diam. Dia bukan sekadar anak saya. Dia satu-satunya alasan saya masih ada di dunia ini.” ujar Anthony seperti permintaan yang di tutup oleh gengsi yang tinggi.
“Saya mengerti, Om,” jawab Zevian pelan, namun tegas. Sorot matanya mantap, penuh kesungguhan yang tidak dibuat-buat. “Dan saya tidak berniat menyentuhnya dengan cara yang akan membuat Om kecewa,” lanjutnya tulus, menundukkan kepala sedikit sebagai bentuk rasa hormat.
Di saat yang bersamaan, ekor matanya menangkap sosok Nayara yang mulai menuruni tangga dengan langkah santai. Rambutnya terkepang rapi, pakaian yang dikenakan kasual namun tetap terlihat elegan. Setiap gerakan Nayara seolah menarik cahaya di sekelilingnya, membuat Zevian refleks berdiri, seakan gravitasi dirinya bergantung pada kehadiran wanita itu.
"Ayo," ujar Nayara singkat, matanya melirik sekilas ke arah Zevian. Tanpa membuang waktu, Zevian langsung berdiri dari duduknya, merapikan posisi kausnya, lalu mengangguk sopan ke arah Anthony.
“Kami pamit, Om,” ucapnya sekali lagi, sopan dan penuh hormat.
Anthony hanya mengangguk pelan sebagai balasan. Tatapannya mengikuti langkah keduanya—putrinya dan calon menantunya yang berjalan berdampingan menjauh dari meja makan. Suara langkah mereka mulai menjauh, lalu menghilang melewati ambang pintu utama.
Keheningan kembali merayapi ruang makan itu. Anthony bersandar di sandaran kursi, memandangi sisa buah di atas piringnya yang mulai berubah warna. Tak ada satu pun kata yang terucap, namun pikirannya penuh oleh percakapan yang barusan terjadi.
Di balik sikap acuh dan gaya bicaranya yang tajam, Anthony menangkap sesuatu dari tatapan mata Zevian—ketulusan yang tidak banyak ia lihat dari pria seusianya. Bukan karena Zevian berbicara manis, melainkan karena ia tidak mencoba mengesankan, justru apa adanya.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Anthony diam-diam berharap… semoga pria itu benar-benar membawa kebaikan bagi Nayara. Meski dirinya sadar, ia bukanlah sosok ayah yang sempurna—jauh dari kata baik—namun tak sekalipun ia berhenti menginginkan yang terbaik untuk putrinya.