Mei Lan, seorang gadis cantik dan berbakat, telah hidup dalam bayang-bayang saudari kembarnya yang selalu menjadi favorit orang tua mereka. Perlakuan pilih kasih ini membuat Mei Lan merasa tidak berharga dan putus asa. Namun, hidupnya berubah drastis ketika dia mengorbankan dirinya dalam sebuah kecelakaan bus untuk menyelamatkan penumpang lain. Bukannya menuju alam baka, Mei Lan malah terlempar ke zaman kuno dan menjadi putri kesayangan di keluarga tersebut.
Di zaman kuno, Mei Lan menemukan kehidupan baru sebagai putri yang disayang. Namun, yang membuatnya terkejut adalah gelang peninggalan kakeknya yang memiliki ruang ajaib. Apa yang akan dilakukan Mei Lan? Yuk kita ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yulianti Azis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemuda itu Chen
Di dalam kamar, Mei duduk di kursi kayu dekat meja kecil, kedua tangannya bertumpu di pangkuan.
Tak lama Wei datang lalu mengetuk pintu kamar mandi, dan menyerahkan pakaian miliknya, pada pemuda yang mereka tolong.
Mei menunggu dengan tenang, tapi hatinya sedikit penasaran. Wajah pemuda itu tadi berantakan, penuh luka dan debu, tapi entah mengapa tatapan matanya saat itu menancap kuat di ingatan Mei. Kini ketiga saudara itu menunggu.
Beberapa saat kemudian, suara pintu geser terdengar, terlihat di balik uap air seseorang muncul.
Ia kini mengenakan hanfu berwarna biru muda milik Wei. Meski sedikit kebesaran di bahu, pakaian itu justru membuatnya tampak gagah. Rambut hitamnya yang basah sebagian jatuh di dahi, kulitnya bersih, dan sorot matanya yang tadi redup kini tampak lebih jernih.
Mei yang tadinya duduk tegak, kini tertegun. Ia menatap tanpa sadar, bahkan lupa bernapas sejenak. Wei yang berdiri di samping Dao juga sempat terkejut.
Dao berbisik lirih, “Kupikir dia orang gila tadi.”
Wei membalas pelan, “Sekarang malah seperti bangsawan yang menyamar.”
Suara berat tapi lembut memecah keheningan. “Apa … terlihat aneh, ya?” tanya pemuda itu sambil menatap dirinya sendiri dan sedikit mengernyit, suaranya terdengar terbata-bata.
Mei tersentak dari lamunannya.
“Ah, tidk! Tidak aneh sama sekali. Itu sudah cukup,” jawabnya cepat, lalu menunduk menutupi wajah yang sedikit memerah. “Ayo, aku akan mengobatimu.”
Pemuda itu mengangguk pelan dan berjalan mendekat. Langkahnya tenang tapi terlihat ragu-ragu.
“Buka baju bagian atasmu,” ujar Mei lembut sambil menyiapkan kotak kecil berisi ramuan dan kain kasa.
Wei dan Dao saling tatap, lalu dengan tenang memilih menyingkir ke sisi lain kamar.
Pemuda itu perlahan membuka bajunya. Begitu kain itu terlepas, Mei menahan napas, dada dan punggungnya penuh bekas cambukada yang masih merah, ada pula yang mulai mengering. Namun di balik luka itu, otot-ototnya tampak kuat dan terbentuk, menandakan ia pernah berlatih keras.
Mei mengoleskan obat dengan hati-hati. Aroma herbal memenuhi ruangan. “Pelan-pelan saja,” katanya lembut.
Namun saat ujung kain menyentuh luka, pemuda itu meringis. “Aduh … sakit … pelan-pelan ya.” suaranya seperti anak kecil yang merengek.
Mei menatapnya heran. “Maaf … tapi kau harus tahan sedikit.”
Dalam hati ia menghela napas. Apa pria ini agak bodoh? pikirnya, setengah kesal setengah kasihan.
Setelah selesai, Mei menutup kotak obatnya. “Sudah. Kau akan sembuh dalam dua hari.”
Pemuda itu menatapnya dan tersenyum malu. “Terima kasih, Nona baik.”
Mei tersenyum tipis. “Siapa namamu?”
Pemuda itu terlihat berpikir keras, lalu menjawab terbata-bata, “Nama aku … Chen.”
Nada bicaranya lembut dan kekanak-kanakan, seperti anak kecil yang baru belajar bicara sopan.
“Chen?” Mei mengulang pelan, mengangguk kecil. “Baik, Chen.”
Tiba-tiba, suara perut keroncongan terdengar pelan dari arah perut Chen. Ia menunduk cepat, lalu tertawa malu. “He! He! He! Chen lapar.”
Wei yang duduk di sudut ruangan menahan tawa, sementara Dao menepuk dahinya.
Mei tersenyum lembut. “Kalau begitu, ayo kita makan.”
Ia memanggil pelayan penginapan dan memesan beberapa hidangan sederhana. Tak lama kemudian, makanan datang nasi hangat, sup ayam, dan beberapa lauk sayur.
Begitu dihidangkan, Chen langsung menyerbu makanan itu dengan lahap. Tangannya bergerak cepat, mulutnya penuh, dan butir nasi menempel di pipinya.
Mei menatapnya takjub sekaligus geli. “Pelan-pelan saja, Chen. Tidak ada yang akan merebut makananmu.”
Chen menatap Mei dan berhenti sejenak. Ia mengangguk seperti anak anjing yang menurut, lalu makan lebih pelan.
Wei berbisik ke Dao, “Kupikir Mei’er baru saja memungut bocah, bukan pria dewasa.”
Dao menahan tawa. “Bocah dengan tubuh setinggi itu.”
Tiba-tiba Chen berhenti makan dan menatap Mei. “Nona, sangat cantik,” katanya polos, dengan ekspresi tulus.
Mei terkejut sejenak, lalu tertawa kecil. “Panggil aku Mei saja.”
Chen berpikir, lalu tersenyum cerah. “A-Mei!”
Mei mengangguk. “Itu lebih bagus.”
Setelah beberapa saat, Chen menyelesaikan makanannya. Ia menyeka mulutnya dengan punggung tangan, lalu memandang Mei dengan ekspresi lembut.
“A-Mei,” panggilnya pelan.
“Hm?” Mei menatapnya.
“Chen mau tanya, besok Chen boleh ikut A-Mei lagi?”
Mei terdiam sejenak. “Kau tidak ingin pulang ke kampungmu? Kalau kau beri tahu di mana desamu, aku akan mengantarmu pulang besok.”
Wajah Chen mendadak berubah, matanya meredup, bibirnya menurun. “Chen … tidak punya rumah,” katanya pelan, lalu menunduk. “Chen tidak mau pisah dengan A-Mei. A-Mei baik. Hanya A-Mei yang baik pada Chen.”
Wei dan Dao saling pandang, Wei akhirnya berkata, “Terserah Mei’er saja. Kami ikut keputusanmu.”
Mei menatap Chen yang kini memandangnya dengan mata jernih penuh harap. Ia menghela napas lembut, lalu tersenyum. “Baiklah, Chen. Kau boleh tinggal bersama kami.”
Chen langsung berseri-seri, senyumnya begitu tulus hingga matanya menyipit. “A-Mei baik! Chen suka A-Mei!” katanya dengan nada senang.
Wei menepuk bahu Dao sambil berbisik, “Sepertinya kita dapat anggota baru.”
Dao tertawa kecil. “Anggota yang polos tapi entah kenapa, aku merasa dia tidak sesederhana itu.”
Mei tersenyum samar mendengar itu, menatap Chen yang kini tertawa gembira di hadapannya.
*
*
Udara malam di desa Ki terasa sejuk. Di kamar yang kini sunyi, Mei menatap sosok Chen yang sudah berbaring di ranjangnya sendiri. Tubuh pemuda itu tampak tenang, napasnya teratur, seolah tidur nyenyak setelah hari yang panjang dan melelahkan.
Meski pada awalnya Chen tidak ingin ditinggalkan oleh Mei, tapi setelah diberi penjelasan jika seorang gadis dan pria tidak boleh sekamar, jika mereka bukan suami istri.
Mei berdiri di depan pintu sejenak, memandangi pemuda itu. “Tidurlah baik-baik,” bisiknya pelan, lalu menutup pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Karena semua kamar sudah penuh, Mei akhirnya tidur di kamar ibunya, Nyonya Rong.
Di dalam kamar, suasananya hangat. Lampu minyak kecil menyala di meja samping tempat tidur. Nyonya Rong sudah berbaring sambil membaca kitab tipis, sementara Mei menaiki tempat tidur di sebelahnya.
“Sudah selesai urus Chen?” tanya Nyonya Rong tanpa menoleh.
Mei mengangguk, lalu menarik selimut. “Sudah, Bu. Dia sudah tidur.”
“Baguslah. Anak itu tampak polos sekali,” ujar Nyonya Rong lembut. “Kau memang selalu mudah kasihan pada orang lain, Mei’er.”
Mei tersenyum kecil. “Aku hanya, tidak suka melihat orang diperlakukan seperti itu, Bu.”
Nyonya Rong menatap putrinya dan tersenyum hangat. Ia mengusap kepala Mei pelan. “Kau seperti ayahmu. Terlalu lembut hati.”
Mei menutup matanya, menikmati belaian lembut itu. “Kalau begitu, Mei’er bersyukur mirip Ayah.”
“Tidurlah, anak baik.”
“Ya, Bu,” jawab Mei lirih.
Tak lama, nafas Mei mulai teratur, karena usapan lembut sang ibu di kepalanya. Ia sudah hampir tertidur ketika tiba-tiba.
Whoosh!
Sebuah hembusan udara dingin terasa lewat di luar jendela. Tirai tipis bergoyang perlahan, padahal jendela tertutup rapat.
Mata Mei terbuka perlahan. Ia duduk setengah, menatap ke arah jendela yang gelap. Suara burung malam terdengar samar dari kejauhan.
Nyonya Rong yang hampir tertidur terkejut melihat putrinya bangun mendadak. “Mei’er? Ada apa?” tanyanya, separuh khawatir.
Mei menoleh cepat, lalu menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, Bu, Mei’er hanya bermimpi buruk.”
Wajah Nyonya Rong melunak. “Syukurlah. Kau terlalu lelah hari ini, mungkin itu sebabnya.”
Mei tersenyum samar. “Mungkin, ya.”
Nyonya Rong menyentuh pipi putrinya lembut. “Tidurlah lagi, Nak. Besok masih banyak yang harus dilakukan.”
“Baik, Bu.”
Mei kembali berbaring. Tapi matanya masih menatap langit-langit beberapa saat. Jantungnya belum sepenuhnya tenang.
Perasaannya tadi begitu jelas seolah ada sesuatu atau seseorang dengan aura yang luar biasa kuat, melintas di sekitar penginapan. Aura itu hanya sekejap, tapi cukup untuk membuat tubuhnya bereaksi.
Mei menoleh sekali lagi ke arah jendela yang tertutup rapat. Tirai tak lagi bergerak. Semuanya terlihat biasa.
Mungkin hanya perasaanku saja pikirnya dalam hati, mencoba meyakinkan diri.
ksiham ya knp si mei lan sllu di bully apa slah mei lan.coba