carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32
Carol tidak pernah peduli dengan pendapat orang lain tentang dirinya, karena Carol merasa, untuk apa dirinya peduli? Toh, selama ini juga tidak ada yang peduli kepadanya.
Carol tidak memedulikan omongan orang dan malah asyik mengirim pesan kepada papanya.
> “Pa, nanti papa jemput aku, kan?”
“Ya, sayang. Kamu mau papa jemput apa tidak?”
“Mau dong, tentu saja. Nanti aku akan menunggu papa dengan anteng.”
Anton yang membaca pesan itu merasa senang. Tidak lama kemudian, Anton kedatangan tamu, yaitu Mega.
Anton kaget saat Mega datang langsung ke kantornya tanpa janji terlebih dahulu.
> “Kenapa kamu ke sini? Kalau tidak penting, pulang aja. Aku malas ketemu kamu.”
Mega langsung mendekap Anton tanpa berkata apa-apa. Anton hanya diam dan tidak melawan karena takut menyakiti Mega.
> “Mega, lepas. Jangan buat gue kasar sama lo. Gue tidak mau orang lain mikir yang aneh-aneh tentang lo dan gue.”
“Kenapa sih? Kayaknya lo nggak senang banget kalau gue berbuat baik sama lo. Emang salah gue apa coba?”
Mega merasa sulit sekali mengambil hati pria ini. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apakah pria ini memiliki wanita lain selain dirinya.
> “Lo nggak salah. Gue cuma nggak mau ada hubungan apa-apa sama lo, dan gue merasa kita nggak perlu dekat-dekat.”
“Alasannya kenapa? Lo harus kasih gue alasan yang jelas biar gue mau dengerin lo.”
“Alasannya sederhana, gue cuma nggak mau terikat aja.”
Mega tidak terima dengan ucapan Anton dan tiba-tiba bertindak nekat dengan benda tajam.
> “Lo ngapain, sih? Nekat banget!”
Anton segera menekan tombol darurat agar semua orang kepercayaannya datang. Tak lama, mereka semua masuk ke ruangan.
Tangan Anton terluka. Mega syok saat melihat itu. Awalnya, Mega hanya ingin menakuti Anton agar pria itu lebih menghargainya, tapi tanpa sengaja malah melukai Anton.
Mega ketakutan Anton akan melapor ke pihak berwajib, tapi Anton tidak melakukan itu. Ia hanya meminta Mega untuk menjauh.
> “Mulai detik ini, jangan pernah ke sini kalau nggak ada urusan penting. Dan jangan pernah perlihatkan wajah lo lagi, karena gue nggak mau ketemu lo.”
Mega terdiam sambil dibawa keluar oleh para bodyguard. Anton menahan rasa sakit dari lukanya.
Tidak lama kemudian, sekretarisnya memanggil dokter pribadi Anton. Setelah dokter datang, ia langsung memeriksa luka Anton dan segera menanganinya.
Setelah selesai, Anton hanya diam saja dan tidak banyak bicara. Ia sempat bertanya tentang makanan apa saja yang tidak boleh ia makan agar lukanya cepat sembuh. Dokter menjelaskan semuanya, lalu pamit pulang.
Sekretaris Anton menghampirinya. Anton tersenyum pelan kepada sekretarisnya.
> “Pak, kondisi Bapak saat ini harus banyak istirahat. Apa Bapak tidak mau pulang ke rumah?”
“Kalau saya pulang, anak saya akan khawatir. Jadi lebih baik saya di sini dulu, sambil menunggu luka saya mendingan.”
Sekretarisnya hanya diam. Ia tahu kalau bosnya memang sangat keras kepala.
Tok! Tok! Tok!
Sekretarisnya melihat siapa yang datang, karena pintu keamanan ruangan Anton baru saja diperbaiki satu jam yang lalu.
> “Dari Pak Gerald, Pak. Apa mau dibuka pintunya?”
“Ya, silakan buka saja. Saya nggak ada masalah dengan Gerald.”
“Baik, Pak.”
Sekretaris membuka pintu untuk Gerald. Gerald heran melihat model kunci pintu ruangan Anton.
> “Kenapa pintu ruangan lo kayak gini? Nggak seperti biasanya.”
“Ceritanya panjang.”
“Lo kenapa? Luka? Sakit apa?”
Sekretaris Anton menahan Gerald yang ingin mendekat. Anton memberi kode bahwa tidak apa-apa. Gerald adalah sahabat baik Anton.
> “Anton, kalau ada apa-apa bilang aja ke gue. Jangan pendam sendiri. Manusia kan nggak bisa hidup sendiri, butuh teman. Lo punya gue. Seharusnya lo minta bantuan gue, bukan malah sebaliknya.”
Anton hanya tersenyum. Ia memang tidak mau merepotkan orang lain.
> “Gue nggak mau merepotkan lo. Gue merasa, untuk apa juga? Gue nggak bisa ngarepin orang. Tenang aja, gue nggak kekurangan siapa-siapa kok.”
Gerald mendengar itu dan merasa kesal. Maksud Anton sebenarnya baik, tapi terdengar sombong di telinga Gerald.
> “Ada apa lo ke sini, Gerald?”
“Nggak ada apa-apa, cuma mau tahu kabar lo. Boleh kan seorang sahabat tahu kabar sahabatnya sendiri?”
Anton bingung, karena biasanya hal seperti itu tidak membuat Gerald repot-repot datang.
> “Makasih ya, udah perhatian. Padahal gue tahu lo orang sibuk.”
“Nggak apa-apa lah. Kan lo teman gue. Bagi gue, nggak ada salahnya kalau kita saling tahu kabar masing-masing, ya nggak?”
Anton mengangguk, setuju dengan ucapan Gerald.
Tak lama kemudian, handphone Anton berdering. Ternyata dari Carol. Anton bingung, kenapa Carol menelepon jam segini—apakah ia sedang tidak baik-baik saja?
> “Halo, sayang. Ada apa?”
“Papa lagi apa, Pa? Aku bosan, nggak ada teman.”
“Emang kamu sudah pulang sekolah? Kok telepon papa sekarang?”
Carol diam, bingung mau menjawab apa.
> “Aku belum pulang. Cuma bosan aja di sekolah.”
“Loh, kenapa begitu, sayang?”
“Karena nggak ada teman, jadi bosan, Pa. Belum lagi tugasnya banyak. Aku sampai bingung harus gimana ngerjainnya.”
Anton tertawa kecil mendengar itu. Gerald yang memperhatikan merasa aneh. Cara Anton berbicara dengan Carol terdengar seperti pasangan kekasih, bukan seperti ayah dan anak.
Gerald mulai merasa khawatir kalau Anton benar-benar mencintai anak angkatnya sendiri. Ia tidak ingin itu terjadi, meskipun sebenarnya bukan urusannya secara langsung. Tapi sebagai sahabat, Gerald ingin mencegah hal itu.
Setelah telepon ditutup, Anton bingung karena Gerald masih belum pergi.
> “Gerald, kok lo belum pulang? Masih ada urusan apa sama gue?”
“Nggak ada. Gue cuma mikir aja... Kalau lo ada apa-apa, kasih tahu gue ya, biar gue selalu tahu kabar lo.”
Anton tersenyum dan mengangguk. Gerald sebenarnya tidak tega berkata begitu, takut Anton tersinggung.
Setelah Gerald keluar dari ruangan, sekretaris Anton memperhatikan setiap gerak-gerik Gerald. Ia ingin tahu lebih dalam tentang sifat pria itu—bukan karena disuruh Anton, tapi karena ingin menjaga bosnya.
Anton kemudian segera menyelesaikan pekerjaannya agar bisa menjemput Carol tepat waktu.
Kalaupun pekerjaannya belum selesai, ia akan tetap meninggalkannya demi menjemput anak kesayangannya.
Anton terus melihat jam. Ia tidak mau telat menjemput Carol, karena pasti Carol akan marah dan kecewa bila ia terlambat.
Sementara itu, di kelas, Carol sedang belajar. Sebenarnya ia malas, tapi demi membanggakan papanya, ia tetap berusaha.
Carol tidak berharap menjadi juara kelas. Ia hanya ingin mendapat pujian dari papanya. Itu sudah cukup membuatnya bahagia.
Bagi Carol, tidak ada yang lebih penting dari papanya. Ia merasa kasih sayang orang lain hanya sementara, sementara papanya bisa memberi hal yang tidak bisa diberikan siapa pun.
Mario, teman sekelas Carol, memperhatikan gadis itu yang sedang melamun. Ia ingin mendekatinya.
Carol merasa ada sesuatu yang menempel di pundaknya. Ia mengira itu serangga, tapi ketika melihat ukurannya besar, ia memberanikan diri menoleh.
Begitu tahu itu adalah Mario yang menyender di pundaknya, Carol langsung menamparnya keras-keras tanpa berpikir dua kali.
Mario kesakitan, tapi tetap duduk di sebelah Carol. Carol kesal karena Mario selalu saja menempel pada orang yang jelas-jelas tidak menyukainya.
lah