Setelah lama merantau, Nira pulang ke kampung halaman dengan membawa kabar mengejutkan. Kehamilannya yang sudah menginjak enam bulan.
Nira harus menerima kemarahan orang tuanya. Kekecewaan orang tua yang telah gagal mendidik Nira setelah gagal juga mendidik adiknya-Tomi, yang juga menghamili seorang gadis bahkan saat Tomi masih duduk di bangku SMA.
Pernikahan dadakan pun harus segera dilaksanakan sebelum perut Nira semakin membesar. Ini salah. Tapi, tak ingin lebih malu, pernikahan itu tetap terjadi.
Masalah demi masalah pun datang setelah pernikahan. Pernikahan yang sebenarnya tidak dilandasi ketulusan karena terlanjur ‘berbuat’ dan demi menutupi rasa malu atas aib yang sudah terlanjur terbuka.
Bisakah pernikahan yang dipaksakan karena sudah telanjur ada ‘orang dalam’ perut seperti itu bertahan di tengah ujian yang mendera?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yesstory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selesaikan Masalah Itu Segera
Di saung, pinggir jalan, area persawahan kampung, terucaplah keinginan Nira untuk bercerai dari Riki. Tengah hari, terik mentari di atas sana seolah tak hanya menyengat fisik luar, tapi juga diam-diam membakar amarah di dalam hati Riki.
Riki sudah menduganya, hanya saja kali ini Nira mengucapkannya secara jelas, di tempat kenangan mereka. Di tempat Riki melamar Nira secara pribadi.
Nira pandai memanfaatkan situasi. Ia tak bicara di dalam rumah mereka ataupun rumah kedua orang tua Riki. Tapi ia bicara di tempat umum. Jalanan kampung sepi, tapi terdengar suara seruan orang mengusir burung pipit yang hinggap di batang padi.
Nira seolah tahu jika Riki tak akan melampiaskan amarah di tempat ini. Dan kalaupun Riki pergi meninggalkannya sendirian, itu akan lebih mempermudahnya dalam meminta perceraian.
Riki memandang Nira lekat,” Kesempatan macam apa itu? Kebahagiaan apa yang kamu maksud, Ra? Apa kedua anak kita itu bukan kebahagiaanmu? Kamu ingin memisahkan anak-anak kita dariku? Kamu ingin mereka nggak mendapatkan kasih sayang dariku kalau kita berpisah? Apa itu yang kamu maksud kebahagiaanmu?”
Nira menghela jengah,” Aku nggak akan menghalangi kamu untuk bertemu mereka. Kamu tetap Papanya. Jangan berlebihan, Rik. Aku hanya minta kita bercerai. Tapi bukan berarti aku memisahkanmu dengan anak-anak kita.”
“Kalau kita bercerai, kita nggak akan tinggal serumah. Mereka akan bertanya kemana Papanya. Kenapa nggak tinggal sama mereka? Apa yang akan kamu jawab? Kamu mau bilang kita sudah berpisah, begitu? Lalu mereka bertanya lagi, kenapa kita berpisah, dan apa kamu bisa menjawabnya?” Riki menahan suaranya tetap tenang walau hatinya di dalam sana seperti dibakar.
“Mereka mungkin belum mengerti sekarang. Tapi, apa kamu siap dengan segala pertanyaan mereka nanti tentang kita?”
“Kamu mungkin bahagia, Nira. Tapi mereka enggak. Mereka masih terlalu kecil untuk memahami kenapa Mama dan Papanya berpisah. Kita dibesarkan dari keluarga yang harmonis. Apa kamu akan memberikan keluarga nggak utuh pada mereka?”
“Apa karena kamu membenciku, kamu lantas mengorbankan kebahagiaan anak-anak kita?”
Nira terdiam. Ia sudah berpikir tentang itu semua. Tentang anak-anak.
Riki berdiri, mengulurkan tangannya di depan Nira tanpa menatap Nira,” Kita pulang. Pembicaraan selesai.”
Nira mendongak,” Lalu apa kesimpulannya?”
Riki mendengus, menarik pelan tangan Nira agar berdiri,” Nggak ada kesimpulan.”
Nira menghela napas, melepaskan tangannya, lalu berjalan lebih dulu kembali ke rumah orang tua Riki. Riki mengikuti dari belakang.
Sejak pembicaraan tanpa kesimpulan di saung itu, Nira dan Riki saling diam. Tak ada yang mau bicara lebih dahulu. Hal itu diperhatikan oleh kedua orang tua Riki. Keduanya bersikap acuh. Tersenyum hanya pada saat menimang Alvin atau bermain dengan Arsa. Selebihnya mereka tak saling bicara.
“Apa yang terjadi? Setelah pulang dari jalan-jalan, kalian malah saling diam?” Ibunya Riki bertanya setelah mereka selesai makan malam.
“Kalian bertengkar?” tanya Bapaknya Riki menatap keduanya yang duduk berdampingan tapi tanpa interaksi apapun.
“Nira ingin cerai,” jawab Riki menunduk.
Bapak dan Ibunya Riki terhenyak, saling pandang.
“Nira? Kamu ingin cerai, Nak? Tapi kenapa?” Bapak yang bertanya, menatap Nira yang tersenyum tipis.
“Riki yang akan jelasin, Pak, Bu. Maaf, aku mau ke kamar duluan. Aku mau lihat Arsa dan Alvin.” Nira berkata, mendorong kursi ke belakang, dan berlalu dari sana.
“Riki, jelasin, ada apa? Kalian baru pertama kali datang ke sini setelah menikah dan tiba-tiba Nira ingin bercerai. Ada masalah apa, Rik?” Ibunya Riki menatap anaknya.
Riki menghela napas pelan dan menjelaskan semuanya. Ia jujur tentang apa yang ia lakukan.
“Kamu! Kamu pria atau bukan, hah?! Kenapa kamu kasarin seorang wanita, hah?! Nira istri kamu, Riki!” Bapak berseru, melotot marah.
“Pantas kalau Nira minta cerai. Riki, asal kamu tahu, sebesar apapun masalah Ibu dan Bapak, Bapak nggak pernah sekalipun membentak Ibu. Apalagi kasar. Sedangkan kamu … Ya Tuhan, apa yang kamu lakukan, Rik?” Ibunya Riki mengusap wajah, tak percaya sang putra bisa berbuat sejahat itu.
Riki menunduk. Ia bersalah. Ia khilaf—berulang kali.
“Segera selesaikan masalahmu, Riki. Segera. Bagaimanapun caranya. Asal jangan bercerai. Arsa dan Alvin masih terlalu kecil. Kalau harus memohon, bersujud di kaki Nira, maka lakukanlah. Dalam keluarga kita, nggak ada yang pernah bercerai. Seluruh keluarga kita harmonis, setia pada pasangan masing-masing.” Bapak menyandarkan punggungnya di kursi.
Ibu Riki menggeleng,” Sudahlah kasar, selingkuh pula. Bagaimana bisa kamu jadi seperti ini, Riki? Ya Tuhan, Ibu nggak nyangka kamu bisa melakukan itu semua, Riki.”
Riki tetap menunduk. Kali ini ia tahu, Nira sudah lelah menghadapinya. Kemarahan kedua orang tuanya tak sebanding dengan kemarahan Nira yang wanita itu tahan selama ini atas kekasaran juga perselingkuhannya.
Malam ini, Riki tak tidur di kamarnya. Ia butuh menenangkan diri, memikirkan kelanjutan pernikahannya. Ia mencintai Nira. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih begitu mencintai Nira. Nira yang menerimanya di antara para pria yang mendekati istrinya itu. Bahkan sampai saat inipun, jika Nira berjalan di keramaian, beberapa pria selalu memandanginya diam-diam. Riki tahu benar Nira adalah wanita cantik yang diidamkan banyak pria. Harusnya ia beruntung memiliki Nira sebagai istrinya. Bukan malah menyakiti hati dan fisiknya.
Keesokan paginya, suasana rumah menjadi canggung. Orang tua Riki yang sudah mengetahui masalah rumah tangga putranya juga jadi pendiam. Hanya tersenyum atau tertawa saat bersama Arsa dan Alvin.
Sampai Riki dan Nira berpamitan pun, tak banyak yang dikatakan. Orang tua Riki tak bertanya apapun pada Nira karena tahu kesalahan ada pada putranya sendiri.
“Kalau mau, Arsa dan Alvin biar di sini dulu nggak papa, Nira. Ibu dan Bapak akan menjaganya bergantian,” ucap Ibu Riki saat Nira menyalami tangannya, hendak pamit kembali ke kota.
“Iya. Biar kalian bisa menyelesaikan masalah kalian,” lanjut Bapak.
Nira tersenyum sopan, menggeleng,” Arsa mau di antar Riki ke kampungku, Bu, Pak.”
“Jauh sekali. Kenapa nggak di sini aja? Daripada bayar pengasuh atau ongkos ke kampungmu, mending di sini aja. Kalian cukup membiayai keperluan mereka aja.” Ibu Riki menawarkan.
Nira menoleh pada Riki.
“Kami sudah sepakat, Bu. Di sana, Arsa punya teman bermain. Alvin tetap bersama kami,” jawab Riki yang paham arti tatapan Nira.
Ibu mendesah kecewa, mengangguk,” Baiklah.”
Nira dan Riki kembali berpamitan lalu masuk ke dalam mobil. Perjalanan pulang ke kota kembali hening. Sama seperti saat perjalanan menuju kampung halaman Riki kemarin. Hanya musik lirih yang diputar Riki untuk menemani perjalanan hening mereka.
***
“Arsa atau Alvin yang nangis, Ra?“
Riki masuk ke dalam kamar Nira dengan langkah terburu-buru, mendekati Nira yang menggendong Alvin.
“Alvin. Nggak tahu kenapa. Tiba-tiba nangis,” jawab Nira terus menimang Alvin dalam dekapannya.
Riki menjulurkan kedua tangan, mengambil alih Alvin dalam gendongan Nira lalu menimangnya,” Stt … Kenapa, Nak? Kamu capek ya karena habis dari kampung Nenek dan Kakek?”
Alvin terus menangis. Tidak kencang, tapi cukup membuat suasana kamar jadi ‘ramai’. Arsa di tempat tidurnya nampak tak terganggu dengan tangisan adiknya. Padahal suara tangisan Alvin terdengar hingga ke kamar atas, sehingga Riki terbangun dan gegas ke kamar Nira.
Perlahan, suara tangisan Alvin melemah di dalam dekapan Riki. Riki terus menimangnya sambil bersenandung kecil. Nira duduk di pinggir ranjang. Matanya sayu, menahan kantuk.
“Kamu tidur aja, Ra. Biar Alvin aku yang jaga,” ucap Riki melihat Nira.
Nira terdiam.
“Kalau kamu takut aku ganggu kamu, kamu tidur di kamar atas aja. Di kamar kita. Aku yang akan tidur sini,” lanjut Riki.
Nira menatap Riki,” Kamu yakin?”
“Ya,” angguk Riki,” Aku yang akan jaga Alvin juga Arsa. Kamu bisa tidur di kamar atas. Aku nggak bakal nyusul kamu kok. Jadi kamu nggak perlu takut.”
Nira menguap. Mengedarkan pandang pada Alvin dan Arsa sejenak, lalu beranjak keluar kamar. Ia berharap dalam hati supaya Riki tak menyusulnya, meminta hak. Ia benar-benar sangat lelah dan mengantuk. Lelah selama perjalanan juga mengantuk karena Alvin terus rewel tak mau tidur.
Sebelum menutup pintu kamar, Nira menoleh ke belakang. Riki dengan raut wajah bantalnya terus menimang Alvin yang tak lagi menangis dalam dekapannya. Ada rasa haru juga sesak. Haru karena Riki mau menggantikan dirinya menjaga anak-anak, juga sesak karena Alvin yang terus menangis sedari tadi langsung diam begitu digendong Papanya, menunjukkan seolah Alvin ingin bersama Papanya.
Nira menghela napas, menutup pintu kamar perlahan, dan naik ke lantai atas. Tubuh dan perasaannya berperang. Tubuhnya lelah dan perasaannya berkecamuk sekarang.