Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.
Mati lagi?
Tidak, terima kasih!
Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!
Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Bayangan Samar
Di luar, angin musim gugur bertiup kencang, mengguncang lonceng perunggu di atap istana. Dentingnya berbaur dengan langkah kasim dan dayang yang lalu-lalang, membentuk irama Monoton yang menekan.
Murong Chunhua duduk tanpa beban. Wajahnya setenang permukaan air, seolah teguran panjang kakaknya hanya riak sepele yang tak layak dihiraukan.
Senyum tipis kadang menghiasi bibirnya, lalu lenyap secepat bayangan, meninggalkan kesan dingin yang sukar dibaca.
Kaisar akhirnya menutup pembicaraan dengan nada berat. “Xiao Hua, jangan buat aku mendengar gosip aneh lagi.”
Ia melirik sekilas ke arah pemuda yang berdiri tegak penuh wibawa, lalu mengibaskan tangannya. “Cukup untuk hari ini. Aku ingin beristirahat. Kalian boleh pergi.”
Chunhua bangkit anggun, melangkah keluar dari ruang belajar. Namun, baru beberapa langkah di pelataran, alisnya berkerut.
Kereta berhias peoni emas yang seharusnya menantinya tidak tampak. Bahkan tandu khas Istana Putri pun tak terlihat di tempat biasa.
Ia menoleh pada kasim Wei yang mengantar mereka keluar. “Di mana keretaku? Dan tandu?”
Wei Qiu tersenyum kaku, seolah sudah menyiapkan jawaban. “Tandu milik Yang Mulia sedang diperbaiki.”
“Perbaikan?” Chunhua menaikkan sebelah alisnya, nada suaranya dingin bercampur ejekan. “Apakah keretaku juga harus diperbaiki?”
Senyum kasim paruh baya itu semakin kaku. Bibirnya bergetar seolah ingin meminta maaf, tetapi tak satu pun kata berani keluar.
Chunhua menyipitkan mata, lalu menoleh ke arah ruang belajar yang sudah tertutup rapat. Dengan cemberut kecil yang jelas dibuat-buat, ia mendengus. “Oh, Apakah Kakak kaisar ingin aku pulang dengan berjalan kaki?”
Wei Qiu menunduk semakin rendah. “Kaisar berharap Tuan Muda Kedua An berkenan mengantar Sang Putri kembali ke kediaman.”
Keheningan sesaat menyelimuti pelataran. Angin musim gugur berembus, menggoyangkan ujung jubah Chunhua.
An Changyi, yang berdiri tenang sejak awal, akhirnya menunduk memberi hormat.
Suaranya rendah namun tegas, penuh kepastian.
“Saya akan memastikan Sang Putri tiba di kediaman dengan selamat… bahkan hingga pintu kamar sekalipun.”
Senyum Chunhua nyaris tak terbaca, hanya seulas tipis di sudut bibir.
Ucapan itu terdengar sederhana, tetapi nadanya membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
“Kalau begitu, itu lebih bagus.” Kasim kepala tampak lega, lalu mundur dengan hormat, memberi ruang bagi keduanya.
Chunhua melirik An Changyi sekilas.
Benar-benar Kakak Kaisar… sangat usil.
Chunhua terpaksa berjalan bersama An Changyi Senyum Chunhua nyaris tak terbaca, hanya seulas tipis di sudut bibir. Ucapan itu terdengar sederhana, tapi nadanya membuat jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
“Kalau begitu, itu lebih bagus.” Kasim kepala tampak lega, lalu mundur dengan hormat, memberi ruang bagi keduanya.
Chunhua melirik An Changyi sekilas, kemudian melihat ruang belajar kekaisaran yang tertutup rapat. "Benar-benar usil!" cibirnya.
Karena tandu juga tidak tersedia, Chunhua terpaksa mengikuti An Changyi berjalan melewati lorong panjang istana hingga menuju gerbang.
Jalanan berlapis batu putih memantulkan cahaya matahari, memberi kesan hangat meski hawa musim gugur masih dingin.
Beberapa dayang dan kasim yang mereka lewati menundukkan kepala dalam-dalam, tetapi bisikan samar dan tatapan mencuri jelas terasa dari balik mata yang menunduk.
Murong Chunhua, Putri Agung yang terkenal dengan reputasinya yang buruk, berjalan beriringan dengan An Changyi—pemuda paling tampan di ibukota.
Pemandangan itu terlalu menggoda untuk tidak diperhatikan, seolah seluruh lorong menjadi panggung bagi keduanya.
Akan tetapi, Chunhua sama sekali tidak peduli.
Senyum tipis sesekali muncul di wajahnya, bukan karena bisikan orang-orang, melainkan karena ia benar-benar menikmati pemandangan sekitar.
Pepohonan rimbun, tiang istana menjulang, bahkan burung pipit yang melintas rendah—semua itu memberinya ketenangan yang jarang ia rasakan.
Sebagai seseorang yang hampir selalu bepergian dengan kereta, jarang sekali ia bisa menyusuri istana dengan langkah kaki biasa.
Ada kebebasan aneh di dalamnya.
An Changyi melirik sekilas, sedikit terkejut melihat sisi lain sang putri.Di luar kebiasaan, ia tampak seperti gadis biasa, bahkan ada cahaya lembut pada wajahnya saat menatap pepohonan.
Dan harus ia akui, Chunhua terlihat sangat cantik seperti itu.
Entah ia sadar atau tidak, langkah An Changyi menjadi lebih mantap. Bahunya tegak, gerakannya anggun, tetapi berwibawa.
Seperti seekor merak muda yang diam-diam melebarkan bulu-bulunya untuk pertama kali—canggung, tetapi juga penuh pesona.
Baru setelah mereka melewati gerbang utama, An Changyi membuka suara. Nada tenangnya tetap terjaga, meski ujung kalimatnya menyimpan sindiran tipis.
“Apakah kali ini Tuan Putri tidak lagi berpura-pura tidak mengenal saya?”
Chunhua melirik ke arahnya, lalu tersenyum samar. “Tuan muda paling tampan di ibukota akan menjadi suamiku, mengapa aku harus berpura-pura tidak mengenali?”
Jawaban itu membuat An Changyi sedikit terdiam. Namun, ia segera menimpali, “Ah, mungkin ingatanku salah. Kemarin seorang nona cantik menjatuhkan sapu tangannya dan menanyakan namaku. Saya sempat berpikir itu Tuan Putri.”
Chunhua tertawa kering dua kali, nada suaranya penuh provokasi. “Benarkah? Apakah nona itu lebih cantik dari Putri ini? Haruskah putri ini menghukumnya karena berani menggoda pria milikku?”
An Changyi tertegun. Ia tidak pernah menyangka Putri Agung bisa berkata segamblang itu.
“Kalau begitu,” ia akhirnya berkata dengan nada datar, “Yang Mulia bisa mencobanya.”
Chunhua tersenyum lebih lebar. “Putri ini bukan orang yang picik. Jika Tuan Muda An tertarik pada wanita cantik itu, aku tidak akan menghalangi.”
Dalam hatinya ia menimbang, jika memang tidak bisa mencegah pernikahan, mungkinkah An Changyi sebagai protagonis bisa mencegahnya sendiri?
Dan dengan nada ringan, tetapi menusuk. "Jika yang ini tidak berhasil, putri ini akan mendapatkan suami sah lain," ujarnya, kemudian berlalu meninggalkan An Changyi.
Kereta bersimbol keluarga An sudah menunggu di luar. Tanpa undangan, Chunhua melangkah masuk terlebih dahulu. Seorang pelayan muda yang bertugas menjaga kereta menatap bingung, tidak berani bergerak.
An Changyi sendiri terdiam sesaat, terutama setelah mendengar kalimat terakhir Chunhua.
Tatapannya menajam, seperti pedang yang baru saja diasah. Tanpa kata lebih lanjut, ia menyusul masuk.
Bibirnya melengkung dengan sesuatu yang mirip senyum—tapi jelas bukan senyum ramah.
Kereta keluarga An tidak terlalu besar, tapi cukup mewah.
Tirai sutra berwarna hijau tua menutup rapat jendela, hanya menyisakan cahaya samar yang menembus masuk, menimpa wajah Chunhua yang pucat cantik.
Guncangan roda membuat tubuh mereka sesekali saling bergeser, jarak yang sudah dekat semakin sulit untuk dijaga.
Chunhua menuang teh dengan gerakan ringan. Uap tipis mengepul, menyebarkan aroma harum bunga melati. Namun, sebelum cangkir itu menyentuh bibirnya, tangan An Changyi menahannya.
An Changyi merebut cangkir, meneguk isinya habis, lalu dengan sengaja meletakkan cangkir itu kembali dengan suara keras, seakan menantang.
“…”
Chunhua mengangkat alis, tersenyum samar, lalu menuang lagi. Namun, kejadian serupa terulang.
Kali ini, alih-alih marah, Chunhua hanya bersandar malas ke kursi, tatapannya menggoda.
“Apakah tuan muda takut bibirku akan meninggalkan jejak di cangkir?” tanyanya dengan nada rendah, penuh sindiran.
An Changyi tidak menjawab. Tubuhnya mendekat begitu saja, hingga Chunhua terpaksa terdorong ke dinding kereta. Jarak mereka hampir tidak ada—hanya sehelai napas yang memisahkan.
Chunhua bisa merasakan napas hangat pria itu mengenai pipinya, bisa mencium aroma kayu cendana samar dari pakaiannya, bercampur dengan bau keringat tipis khas lelaki yang baru keluar dari latihan militer.
Suara roda kereta dan derap kuda seperti menghilang, menyisakan dentum jantungnya sendiri yang semakin cepat.
Suara An Changyi akhirnya terdengar, rendah dan tajam, “Siapa pria itu? Suami sah yang kau maksud. Hua Zhen? Atau pria lain dari halaman belakangmu?”
Chunhua tersenyum, bibirnya menekuk nakal. “Apakah kamu… cemburu?”
Pertanyaan itu membuat An Changyi goyah sesaat, hingga ia melepaskan pegangan. Tapi Chunhua tidak berhenti. Ia balas menekannya ke kursi kereta, tubuh mereka nyaris menempel.
Napasnya sengaja ia tiupkan ke telinga pria itu, membuat bulu kuduknya meremang. Tangannya bergerak perlahan, mengusap perut An Changyi dari luar pakaian, jari-jarinya menekan lembut seolah menelusuri setiap otot yang terbentuk di balik jubah tipis.
“Apakah kamu cemburu?” ulang Chunhua, kali ini lebih lembut, lebih menggoda. “Tidak ingin aku mencari suami lain?”
Tangannya merambat naik, hampir menembus kerah, nyaris menyentuh kulit.
An Changyi menahan napas, matanya berkilat berbahaya. Lalu dengan gerakan tegas, ia mencengkeram pergelangan tangan Chunhua, menghentikan langkahnya.
“Yang Mulia,” ucapnya datar, tapi terdengar menahan sesuatu, “jaga perilaku Anda.”
Chunhua melirik dari sudut mata, bibirnya melengkung. Ia sama sekali tidak malu, justru terlihat semakin puas. Rambutnya sedikit berantakan, gaunnya bergeser, menyingkap kulit pucat di bahu. Namun, dia duduk kembali dengan anggun, seolah semua itu tidak penting.
“Perilaku apa yang tidak pantas,” katanya datar, “di antara pasangan sah?”
Suasana dalam kereta terasa panas, meski udara di luar masih dingin musim gugur.
Mereka diam cukup lama, hanya derap kuda yang menjadi saksi betapa tipisnya batas antara godaan dan hasrat.