Duke tumbuh miskin bersama ayah angkatnya, dihina dan diremehkan banyak orang. Hidupnya berubah ketika ia dipaksa menikah dengan Caroline, cucu keluarga konglomerat Moreno, demi sebuah kontrak lama yang tak pernah ia mengerti.
Di mata keluarga besar Moreno, Duke hanyalah menantu tak berguna—seorang lelaki miskin yang tak pantas berdiri di samping Caroline. Ia diperlakukan sebagai budak, dijadikan bahan hinaan, bahkan dianggap sebagai aib keluarga.
Namun, di balik penampilannya yang sederhana, Duke menyimpan rahasia besar. Masa lalunya yang hilang perlahan terungkap, membawanya pada kenyataan mengejutkan: ia adalah putra kandung seorang miliarder ternama, pewaris sah kekayaan dan kekuasaan yang tak tertandingi.
Saat harga dirinya diinjak, saat Caroline terus direndahkan, dan saat rahasia identitasnya mulai terkuak, Duke harus memilih—tetap bersembunyi dalam samaran, atau menunjukkan pada dunia siapa dirinya yang sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZHRCY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERNYATA PEWARIS
Saat Duke sadar kembali, dia tetap memejamkan mata selama satu menit dan menunggu sakit kepalanya mereda sebelum membuka kelopak matanya.
“Dimana aku?” gumam Duke, menatap sekeliling ruangan, lalu pandangannya berhenti pada seorang pria tua dengan rambut abu-abu pekat dan janggut putih.
Dengan ketenangan di matanya, pria itu tersenyum pada Duke dan berkata, “Kau berada di rumahku. Aku Tuan William, omong-omong.”
“Tuan... Wii–liam. Aku...”
“Tidak apa-apa, Nak. Kau tidak perlu takut padaku.”
Keraguan memenuhi wajah Duke saat dia menatap Tuan William dan berpikir, ‘Tidak perlu takut padamu! Kau memerintahkan anak buahmu memukuliku habis-habisan! Apakah kau menganggapku bodoh!’
Sesaat, Tuan William mengalihkan pandangannya dari Duke dan menaruh perhatiannya pada sebuah bingkai foto. Lalu dia mengambilnya dari meja rias dan menunjukkannya pada Duke.
“Apakah kau mengenal siapa orang yang dalam foto ini?” tanya Tuan William.
“Mengapa kau memiliki foto aku saat masih kecil?” gumam Duke, merinding.
“Putraku!”
“Putramu!! Apa?”
Mengira Tuan William sudah gila, Duke mulai menyusun rencana untuk melarikan diri di kepalanya.
“Kau tidak ingat ayahmu?” tanya Tuan William, tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca.
“Aku memiliki ayah, dan dia bukan kau. Dengan begitu, aku akan pergi sekarang.” ujar Duke, melemparkan selimut dari tubuhnya.
“Kenapa kau ingat namamu dan tidak ingat aku?”
“Karena mimpi buruk bodoh yang terus berulang yang kualami setiap malam sejak kecil hingga sekarang.”
“Mimpi buruk apa?”
"Semua hal dalam mimpi itu kabur kecuali suara orang itu, dan aku pikir dia sedang berbicara padaku. Dia terus berteriak, ‘Lari, Duke! Lari, dan jangan menoleh ke belakang!’ Jadi aku memutuskan untuk memanggil diriku Duke.”
Melihat Tuan William menangis tersedu-sedu, Duke merasa canggung melihat seorang pria dewasa menangis, dan dia tidak tahu apakah dia harus menghiburnya atau memanfaatkan kesempatan itu untuk kabur. Tapi dia tidak memiliki keberanian melakukan salah satu dari itu, jadi dia hanya duduk diam, menunggu Tuan William berhenti menangis.
“Itu aku! Akulah yang menyuruhmu lari, Duke. Pada malam sial itu, musuhku menyerbu tempat ini dan membunuh ibumu.” kata Tuan William, sambil mengepalkan tangannya.
Entah kenapa, hati Duke terasa sakit saat mendengar kata-kata itu, dan meskipun dia masih tidak ingat apa pun tentang Tuan William dan rumah besar ini, dia merasakan sebuah perasaan yang familiar.
“Istrimu sudah meninggal. Aku turut berduka cita.” gumam Duke.
“Dia bukan hanya istriku. Dia ibumu. Kami bertarung habis-habisan malam itu, tapi nyawamu akan terancam kalau kau tetap tinggal di sini malam itu, jadi aku menyuruhmu untuk melarikan diri.” kata Tuan William, menatap mata Duke dengan tajam.
Namun dia bisa melihat bahwa Duke masih meragukan kata-kata yang dia ucapkan, tapi Tuan William yakin bahwa dia telah menemukan putranya yang telah lama menghilang.
“Ayah yang kau maksud itu, apakah dia ayah kandungmu?” tanya Tuan William.
“Tidak, dia menemukanku setelah aku ditabrak mobil, dan pengemudinya melarikan diri meninggalkanku disana dengan sekarat.” kata Duke, mulai menyadari bahwa ada kemungkinan dia memang anak Tuan William.
“Ini semua salahku. Aku telah gagal menjadi ayahmu. Aku mencoba mencarimu setelah aku menghancurkan orang-orang yang mengambil nyawa ibumu, tapi pencarianku sia-sia. Nak, biarkan aku menebus kesalahanku!”
“Tes DNA,”
“Hah?”
“Aku ingin tes dilakukan untuk menghilangkan keraguanku karena aku masih belum mengingatmu dan semua yang baru saja kau katakan.”
Ada jeda canggung, lalu Tuan William meledak dalam tawa lebar.
“Ya, aku akan memanggil Dr. Easton sekarang juga!” seru Tuan William.
Lalu dia menepuk lengan Duke dan berlari keluar kamar.
“Dasar kakek sombong. Satu menit lalu dia berusaha membuatku mati, dan sekarang aku akan menjadi anaknya!” gumam Duke sambil bangkit dari tempat tidur.
Merasa sedikit penasaran, dia berkeliling kamar, membuka laci dan lemari, lalu dia menemukan sebuah bingkai foto yang tersembunyi di salah satu laci meja rias.
“Siapa dia?” gumam Duke, menatap wanita dalam foto itu.
Lalu bingkai itu terlepas dari tangannya dan pecah di lantai.
Air mata mulai mengalir di pipi Duke, dan tangannya bergetar tak terkendali.
Saat Tuan William kembali ke kamar, dia mendapati Duke duduk di sudut, menangis pilu. Lalu Duke mengalihkan pandangannya dari foto itu dan menatap Tuan William.
“Ibu sudah mati. Aku melihat semuanya malam itu. Dia tergeletak dalam genangan darah. Kenapa aku harus mengingatnya? Aku tidak ingin mengingatnya dalam keadaan seperti itu!” Duke bergumam, memeluk dirinya sendiri erat-erat.
Tak lama kemudian, Dr. Easton datang ke rumah besar itu dan melakukan pemeriksaan menyeluruh pada Duke.
“Dia menderita amnesia disosiatif. Otak Duke memblokir ingatan tentang kematian ibunya, membuatnya tidak bisa mengingat informasi pribadi yang penting.” kata Dr. Easton, menatap Tuan William.
“Kau pasti sudah sangat menderita. Aku adalah ayah yang buruk.” kata Tuan William lagi, matanya berkaca-kaca lagi.
‘Mengapa dia suka sekali menangis? Aneh. Aku tidak ingat dia sebegitu menyedihkan saat aku kecil.’ pikir Duke, melirik ke sekeliling ruangan.
Setelah Dr. Easton mengambil sampel air liur Tuan William dan Duke, dia pergi meninggalkan mereka berdua.
“Putraku akhirnya kembali! Aku memiliki pewaris lagi. Aku pikir sudah saatnya aku pensiun.” kata Tuan William.
“Apa?” tanya Duke.
“Yah, kau tidak berharap orang tua ini terus menjalankan perusahaan di usia setua ini kan. Aku ingin kau mengambil tempatmu sebagai pewarisku dan mengelola bisnis-bisnis miliaran dolar milikku.”
“Aku...”
“Aku tahu kau masih banyak yang harus dikejar. Tapi kau cepat belajar. Aku tidak percaya kau masih ingat gerakan-gerakan yang dulu kuajarkan padamu. Ambil alih dari ayahmu, ya.”
Setelah hening canggung, Duke melirik ke atas pada Tuan William dengan senyum nakal.
“Baiklah, tapi dengan satu syarat,” gumam Duke.
“Apa saja. Katakan.” jawab Tuan William.
"Jangan ungkapkan identitasku ke publik.”
“Tapi kenapa? Aku sudah menantikan hari ini begitu lama. Kenapa aku tidak bisa memberitahu dunia bahwa kau adalah putraku?”
Senyum licik muncul di bibir Duke saat dia menatap ayahnya dan berkata, “Aku masih memiliki beberapa urusan yang harus kuselesaikan.”