Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Undangan Bersama 1
"Murah senyum, enak diajak bicara juga," jawabnya.
Aku mengulas senyuman, "ibu bisa aja. Saya biasanya juga jarang bicara kalau temen bicaranya kurang nyaman buat saya."
Ibu kost terkekeh, "Hanif berarti buat kamu nyaman ya?"
Aku ikut terkekeh mendengarnya.
"Setau ibu, Hanif itu anak yang baik terus sopan juga. Dia juga kayaknya gak pernah nakal sama cewek," ucapnya membuatku tersenyum.
Obrolan cukup panjang terjalin diantara kita berdua.
Hingga sorenya, aku sudah bersiap karena Hanif akan menjemput untuk pergi ke suatu tempat.
(Neng)
(Aa udah di depan)
Aku tersenyum membacanya, lalu keluar dari kamar kost dengan tas hitam yang selalu kubawa.
Laki-laki itu terkekeh melihatnya, "aku jadi kayak bawa anak sekolah."
Aku terkekeh mendengarnya, "soalnya barangnya belum diantar abang. Jadi aku pake baju yang ada dulu."
"Gak apa-apa, yang penting pake baju," jawabnya dengan senyuman membuatku memukul lengannya pelan.
"Kalau gak pake baju, aku dikira orang gila nanti," timpalku membuatnya terkekeh pelan.
Aku pamit pada ibu kost bersama dengan Hanif.
"Jauh gak tempatnya?" tanyaku.
"Enggak cantik. Emangnya kenapa sih?" tanyanya balik, "gak bakal aku bawa kabur juga kamu."
Aku mencubit kecil pinggangnya hingga Hanif menggenggam tanganku meminta ampun.
"Abisnya jawab pertanyaan gak pernah bener," ucapku membuat Hanif tersenyum.
Setelah beberapa menit berjalan, Hanif memarkirkan motornya pada parkiran butik. Aku turun dengan wajah heran menatapnya.
"Ayo masuk!" ajaknya meraih tanganku—digenggamnya hingga dalam.
Hanif tersenyum pada karyawan butik itu, "saya mau ambil pesanan yang waktu itu. Ini nota-nya."
"Oh sebentar ya pak! Saya ambilkan dulu," ucap karyawannya dengan sopan.
Aku menahan senyuman mendengar Hanif dipanggil dengan sebutan pak. Aku mendekat padanya, "tuh udah disebut pak. Udah cocok jadi bapak tapi istri aja belum punya."
Hanif mendelik, "ngeledek nih? Atau mau segera pake baju pengantin?" tanyanya.
Aku hanya tersenyum mendengarnya.
Karyawan butik kembali dengan kebaya berwarna biru tua di tangannya, "kebayanya mau dicoba dulu gak pak, sama istrinya?" tanyanya membuatku menoleh pada Hanif dengan kebingungan.
Hanif tersenyum lalu mengangguk, ia menoleh padaku lalu berkata, "coba dulu gih!"
"Aku?"
"Ya iya kamu, siapa lagi cantik. Sana!!" pintanya.
Dengan ragu aku mengikuti langkah karyawan itu menuju kamar pass yang disediakan. Aku mencoba kebayanya—sangat pas, bahkan sangat cantik dan terlihat anggun.
Pas banget sama badan aku.
Kok bisa?
Tok... Tok... Tok...
"Neng udah belum? Ada yang gak pas ya?" tanya Hanif yang menunggu di depan kamar pass.
Aku keluar dengan wajah sedikit gugup untuk bertemu dengannya.
Hanif tersenyum melihatku.
"Ini kok bisa pas sama badan aku?" tanyaku, "buat siapa?"
Hanif terkekeh mendengarnya, "ya buat kamu atuh. Masa buat orang lain yang disuruh nyobain kamu."
"Kenapa kasih ini?" tanyaku.
Hanif mendekat padaku, "kan minggu kita undangan."
"Kainnya dikasih sama ibu, katanya biar samaan sama dia," sambung Hanif.
"Aku kan belum jadi menantu ibu, gimana kalau nanti ibu gak suka sama aku?"
Hanif kembali terkekeh, ia sentuh hidungku dengan gemasnya, "kamu udah jadi keluarga aku walaupun kita belum nikah. Insyaallah, akan segera aku resmikan."
Aku mendecak mendengarnya.
"Kamu cantik banget ih!" ucapnya membuatku kembali terkekeh pelan lalu mengusap wajahnya, "tatapan buaya."
"Astaghfirullah!! Bukan buaya,"
"Terus apa?" tanyaku.
"Calon suami kamu," jawabnya membuatku kembali tersenyum.
Setelahnya, aku berganti pakaian dan kembali ke kost-an karena abang katanya sudah menunggu dengan barang-barang yang ada di tempatnya.
Benar saja, laki-laki itu sudah ada bersama dengan ibu kost. Tatapannya pada Hanif terlihat sedikit sinis, tapi ia sama sekali tidak berbicara apapun pada Hanif ataupun padaku. Ia hanya menyerahkan barang-barangnya lalu pergi pamit begitu saja.
"Neng mau Aa bantu angkut ke kamar gak?" tanya Hanif membuatku tersadar dari lamunan karena memikirkan sikap abang.
Aku menoleh pada ibu kost karena memang barang yang dibawa abang cukup berat dan aku akan kewalahan jika mengangkatnya seorang diri.
"Gak apa-apa kok neng. Kan sama ibu juga diawasi, gak hanya kalian berdua," ucap ibu kost dengan penuh perhatiannya.
Hanif membantu mengangkut semuanya ke kamar. Setelahnya, aku mengantar ia keluar lebih dulu bersama dengan ibu kost yang pamit untuk pulang duluan karena sudah hampir maghrib.
"Aa pamit dulu ya!! Kalau ada apa-apa kasih tau,' ucapnya membuatku mengangguk.
"A,"
Langkah kaki hanif berhenti, laki-laki itu kembali menoleh padaku.
"Makasih ya udah bantu! Maaf kalau abang keliatan sinis sama Aa tadi," ucapku.
Hanif mengulas senyumnya, "gak apa-apa. Mungkin kita juga belum ada waktu berdua buat ngobrol setelah abang tau hubungan kita."
"Tapi kan kemarin abang baik-baik aja sama Aa," ucapku.
"Mungkin dia lagi banyak pikiran aja tadi. Gak apa-apa, pelan-pelan kita benahi semuanya ya!" aku mengangguk mengiyakan.
Hari Pernikahan Sepupu Hanif
Berhubung pernikahan itu diadakan di gedung yang cukup dekat, Hanif memintaku untuk bersantai saja karena acara pun akan diadakan pukul 10 hingga 2 siang.
Jam 9 pagi
Panggilan masuk dari Hanif berulang kali tidak tersambung karena aku yang masih sibuk berdandan.
Tapi pada akhirnya, tetap disambungkan dengan sedikit rasa kesal.
"Assalamualaikum, kenapa baru diangkat sih teleponnya?"
"Kan aku masih dandan, lagian ini juga baru jam 9,"
"Jawab dulu salamnya, orang ngucap salam juga!"
"Waalaikumsalam,"
"Kan Aa cuman telepon aja, biar tau kamu lagi ngapain. Jadi pas Aa berangkat ke situ kamu juga gak ngambek karena udah beres,"
"Tinggal nanti suruh chat aja kalau udah beres pake telepon terus,"
"Ya udah atuh maaf. Kan sekalian aja pengen temenin kamu yang lagi dandan,"
"Iya deh terserah Aa,"
"Marah nih? Masa mau ketemu mertua lagi badmood begitu, nanti kalau keliatan lagi kesel sama Aa bisa dimarahin,"
"Ya bagus dong, biar dimarahin sama ibu. Abisnya gak ngertiin anak gadis ruwetnya dandan gimana,"
Hanif terkekeh mendengarnya.
"Maaf atuh maaf!! Mau titip sesuatu gak? Aa udah mau ke situ sekarang,"
"Mau nyogok nih biar neng gak marah?"
Hanif kembali terkekeh mendengarnya.
"Kan biar tuan putri gak marah lagi, kalau masih marah nanti kusut dibawa ke acara,"
"Gak usah bawa apa-apa. Ke sini aja, kalau udah di depan kabarin,"
"Iya siap cantik, Aa meluncur kesitu,"
Panggilannya terputus setelah itu. Tidak butuh waktu lama, pesan singkat sudah dikirimnya—mengabari bahwa ia sudah ada di depan kost.
Aku keluar dengan heels putih ditambah tas yang senada. Hanif tersenyum melihatku, "makin tambah cantik ternyata kalau dandan. Makin jatuh cinta aku."
Aku mendecak mendengarnya, "bisa aja ya kalau gombal."
"Orang itu kenyataan," jawabnya.
"Udah ah ayo!! Nanti telat liat akadnya," ajakku dianggukinya dengan senyuman.
Hanif melajukan motornya dengan santai.
Setibanya di gedung, seorang gadis yang cukup tinggi nan cantik dengan kebaya senada denganku itu menghampiri, "ini teteh ipar ya bang?" tanyaku.