SEAN DAN SAFIRA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh delapan
happy reading genks!
****
"Capek." Safira menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa di dalam ruangannya. "Saya capek banget, Raga ... untung ada kamu." Kemudian ia merentangkan tangannya untuk melenturkan otot-otot tubuhnya yang kaku.
Sudah dua jam mereka membahas tentang presentasi yang akan Safira bawakan untuk proyek Bali Resort kepada Pradipta Group. Pradipta Group merupakan Developer terbesar di Jakarta dan Bali, karena kini Bara Corp sedang bekerja sama dengan Pradipta Group—yang masih berada di bawah kepemimpinan Bagaskara Pradipta, papanya Sean, otomatis pembanguna Bali Resort jatuh kepada Bara Corp selaku perusahaan kontraktor yang bertanggung jawab atas pembangunan.
"Ibu mau kopi, saya bisa buatin?"
Safira tersentak dengan kerjapan aneh. Iya aneh, tiba-tiba saja Safira merasa aneh dengan panggilan itu.
Ibu? Safira bergidik. Ia lalu meringis sambil menatap wajah Raga.
"Kamu ngerasa aneh gak sih, Ga?"
Raga yang ditatap seperti itu oleh Safira mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa ya, Bu?"
"Aduh-aduh ...." Safira menggeleng, masih dengan ringisan tidak enak.
Sebenarnya semenjak ia tahu kalau Raga adalah sepupu Sean, Safira merasa tidak enak dipanggil seperti itu. Bukan karena ucapan Sean kemarin yang memintanya untuk tidak menyusahkan Raga, hanya saja Safira merasa aneh saja kalau masih di panggil dengan embel-embel ibu oleh sepupu suaminya.
"Jangan manggil gitu deh, Ga ... kamu kan sepupunya Sean, kok saya ngerasa aneh ya dengernya."
Raga tertawa pelan. "Gak apa-apa, Bu. Kan saya tetep bawahan Ibu."
"Raga!" Safira mencebik kesal. Setiap mendengar panggilan Ibu keluar dari bibir Raga, perut Safira rasanya bergejolak, menggelikan. "Udah deh, panggil Mbak aja, kamu manggil Sean, Mas kan?"
Pemuda di depannya lagi-lagi kembali tertawa renyah. "Gak sopan tahu, Bu, masa sama atasan manggil, mbak."
"Ya ampun Raga, saya ngedengernya aneh tau!" dengus Safira. Perempuan itu melipat kedua tangannya di depan dada.
"Saya gak bisa, Bu. Lagi juga ibu minta saya manggil seperti itu karena mas Sean kan?"
"Nggak kok, saya emang mau kamu manggil saya kayak gitu." Lalu wajahnya merengut masam. Ternyata berbicara dengan Raga sama menyebalkannya seperti berbicara dengan Sean.
Sean?
Duh, kenapa harus mengingat lelaki itu sih? Bikin gak kosentrasi saja.
"Please, Raga, jangan bikin ribet."
Terkekeh kecil, Raga menunduk sejenak sebelum kemudian menatap Safira lagi. "Ya udah, biar sama-sama nyaman, gimana kalo—" ia berdehem pelan. "Mbak Fira juga jangan pake bahasa baku. Hm ... aku-kamu ya? Jangan saya-saya an, kayak ngomong sama klien aja." Dan di akhiri dengan kikikan geli dari Raga.
Safira juga tidak bisa menahan tawanya, ia mengangguk menyetujui permintaan Raga. "Oke, aku gak masalah kok. Malah ngerasa kayak punya adik laki-laki."
Maklum saja, Safira adalah anak tunggal dan memiliki kakak angkat bernama Angga, siapa tahu hadirnya Raga membuat Safira bisa merasakan seperti apa rasanya memiliki adik.
"Siap, mbak."
Detik selanjutnya Safira langsung terdiam, mengingat kata-kata Sean padanya semalam—yang juga membuatnya penasaran. "Ngomong-ngomong, kamu kenapa gak kerja di tempat Sean aja? Aku yakin kamu bakalan lebih makmur di sana."
Merasa ucapannya mendapat tanggapan cuek dari Raga, Safira kemudian berdeham lalu menyengir lucu ke arah lelaki itu. "Eh, maaf kalo ucapan aku salah. Tapi—"
"Pasti mas Sean belum cerita ya?" potong Raga.
Kening Safira terlipat dalam. Rasa penasarannya semakin kuat. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa baik Sean maupun Raga tidak ada yang ingin bercerita? Pasti ada yang ditutupi oleh keluarga ini.
"Udah deh, mbak, biar mas Sean aja yang cerita. Aku males ngomongin ini."
Tidak enak, Safira kemudian meringis. "Maaf ya," bibirnya yang terlipat dalam terlihat menggemaskan dan lucu.
Memang ada beberapa hal yang tidak bisa Raga jelaskan, dan lebih baik Safira mendengar itu dari mulut Sean saja, karena perempuan itu kan sudah menjadi istri kakak sepupunya.
"Jangan kayak gitu, mbak, gemesin banget sih." ledek Raga kemudian, berusaha merubah aura canggung di sana. "Nanti kalo aku naksir bahaya."
Mata Safira memicik. "Itu ledekan atau pujian?"
"Dua-duanya." balas Raga sambil terkekeh.
"Ih rese! Jangan kayak Sean deh."
"Kenapa mas Sean? Sering di ledek sama dia ya?"
"Iya." Safira memberengut dengan pandangan menerawang, mengingat-ingat setiap kejadian saat Sean mempermainkanya. Saat mereka bersama dan Sean selalu menggodanya.
Ingatanya kembali pada kilasan semalam. Saat Sean menggodanya di atas ranjang, lalu berlanjut saat bibir mereka saling bersentuhan. Ya ampun, mereka berciuman. Tiba-tiba saja pipi Safira memanas, pasti sekarang sudah berubah memerah.
Sean itu seperti titisan manusia keparat mungkin.
"Ciyeeee, inget suami jadi salting gitu sih, mbak."
Mengerjap gugup, ledekan Raga sukses membuat Safira salah tingkah. Tuh kan, efek Sean sangat berbahaya untuk keselamatan hidupnya. Bahkan lelaki itu berhasil mendebarkan jantungnya meski tidak menunjukan eksistensinya.
"Merah tuh mukanya."
Refleks Safira menyentuh pipinya cepat. "Nggak ya!"
"Haha salting tuh."
"A—apa sih, Ga? Aku gak mikirin Sean kok." elak Safira malu-malu karena baru saja tertangkap basah oleh sang adik ipar karena memikirkan Sean.
Lagi juga ngapain ia harus memikirkan Sean, sedangkan lelaki itu saja pasti tidak memikirkannya sama sekali. Untuk Sean mungkin ciuman mereka kemarin tidak ada apa-apanya, tapi untuk Safira sangat berkesan karena itu adalah ciuman pertamanya.
"Ya elah, gak apa-apa kali, mbak. Namanya juga suami sendiri." Bibir Raga yang tertarik tinggi, membuat Safira semakin salah tingkah. "Mas Sean emang gitu, senengnya ngeledek."
"Iya, sama kayak kamu." Safira mencibir. "Kamu juga kan lagi ledekin aku."
"Eh, tapi jangan bilang-bilang mas Sean, dia bisa cemburu loh kalo aku godain mbak Fira."
Seketika Safira terdiam menatap wajah Raga, dan tak lama kemudian ia tertawa. Tidak masuk akal jika Sean cemburu padanya, memang ia siapanya Sean. Lagi pula Sean sangat menyukai Bella, jadi tidak mungkin kalau ia cemburu.
"Kok ketawa?" tanya Raga dengan kening merengut.
"Itu gak mungkin, Ga. Dia kan—" Safira menghentikan ucapannya, kalau ia mengatakan pada Raga tentang hubungan mereka, sama saja ia membongkar perjanjian itu. "Ya—Dia kan nyebelin." sambung Safira. Kemudian ia menggelengkan kepalanya mengusir Sean dari pikirannya. Entah kenapa di saat seperti ini masih saja Sean berputar-putar di pikirannya. Safira merasa desakan lain di hatinya, seperti ingin melihat wajah Sean saat ini juga. Ingin mendengar suaranya. Tapi ia mencoba menepis lagi, ia tidak merindukan Sean.
Tidak boleh.
"Kenapa, mbak?"
"Eh? Nggak. Bukan apa-apa."
Safira tersenyum menutupi debaran jantungnya yang terdengar cepat. Hanya memikirkan Sean saja jantungnya bisa terpompa seperti ini.
Aku kenapa?
****
kemarin Sean yang keingetan, sekarang Safira yang keingetan. kita buat mereka sama-sama kangen dulu yaa hahahaha
terima kasih sudah menyukai cerita saya. like, komen, share, sama vote yakk sapa tahu bisa masuk ke rangking 20 besar cerita ini. hehehe
udah dihapus ya thor?
dimana kalau mau baca kisah mereka lagi...🥺
tp masih ada yg belum diubah itu thor.
hmmm fir fir.. mending kamu biarin jona sm diana. Klo sama medusa, Ga berasa canggung apa ya jdi satu keluarga sm mantan tmn tidur suami? 🙄
lagian knp jd ngurusin dia
otak dipke dong
Ga ada alesan bantuin atau apapun itu. Ingat sdh berumah tangga.
Lemah bgt jd cow, gmn mau ngelindungin anak istri
Bukan kyk sean yg plin plan
Dia begitu krn obsesinya sendiri.