Zely Quenby, seorang gadis yang bekerja di sebuah perusahaan. ia hanya seorang karyawan biasa disana. sudah lama ia memiliki perasaan cinta pada Boss nya yang bernama lengkap Alka farwis gunanda. Hingga timbul lah tekad nya untuk mendapatkan Alka bagaimana pun itu. meskipun terkadang ia harus menahan rasa sakit karena mencintai seorang diri.
bagaimana yah keseruan kisah antara Alka si bos galak dan crewet dengan gadis bermulut lembek itu?
pantengin terus yah, dan jangan lupa untuk tekan favorit biar bisa ngikutin cerita nya😍.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sopiakim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Jarak yang terasa dekat
Awalnya Alka mengira usia pernikahan mereka tak akan berlangsung lama, ia ragu dengan gadis itu. Seolah akan ada masalah entar yang timbul jika ia menikahi Zely walaupun ternyata ia malah mendapatkan kebalikan dari dugaannya.
Alka mulai sadar, rumah yang dulu terasa kosong kini berubah pelan-pelan. Bukan karena perabotan baru atau dekorasi hangat. Tapi karena kehadiran seorang gadis yang diam-diam mengisi setiap sudut dengan ketulusan kecil yang nyaris tak terlihat itu dan itulah pengaruh kehadiran Zely.
Setiap pagi, ia menemukan sarapan hangat di meja bahkan saat gadis itu sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya di toko bunga. Tidak pernah mewah, tapi selalu pas. Seolah Zely tahu apa yang ia butuhkan sebelum ia sendiri menyadarinya. Bahkan ketika Alka pulang larut dan tak berkata apa-apa, gadis itu tetap menunggu di ruang tengah dengan wajah yang terlihat lelah dan setengah ngantuk, Zely pura-pura menonton televisi sambil menyisakan makanan hangat di meja makan meskipun Alka hampir tak memakannya.
Zely tak pernah menuntut. Tak pernah menanyakan hatinya. Tak pernah memaksa kedekatan. Tapi perhatian-perhatian kecilnya perlahan menembus tembok dingin yang Alka bangun selama ini.
Ia mulai memperhatikan Zely lebih dari yang seharusnya. Cara gadis itu menyelipkan rambut ke belakang telinga saat masak, senyum pelannya saat berhasil membuat sup yang menurutnya ‘pas’, atau matanya yang sembab tapi tetap hangat saat menahan tangis.
Itu semua mengganggu pikirannya. Lebih dari yang ia mau akui.
“Dia cuma istri kontrak, kenapa dengan mu akhir akhir Alka? Memikirkan gadis itu? Untuk apa?” bisik Alka dalam hati, berkali-kali.
“Dia di sini karena utang. Bukan karena cinta.”
Namun setiap kali Zely tertawa kecil saat ia tak sengaja melontarkan lelucon—atau ketika tangan mereka bersentuhan di meja tanpa sengaja—dadanya berdebar dengan cara yang tak pernah ia alami bahkan dalam hubungan yang dulu penuh perhitungan dan kesepakatan.
Ia mulai takut. Takut bukan pada Zely, tapi pada dirinya sendiri. Pada hatinya yang mulai goyah. Pada rasa yang perlahan tumbuh tanpa izin.
Jadi Alka memilih menjauh. Menjaga jarak. Bersikap dingin. Ia pikir itu akan meredam segalanya.
Tapi semakin ia menjauh, semakin ia merindukan suara langkah kaki Zely di pagi hari.
Dan itulah masalahnya—karena sekarang, keheningan tak lagi terasa nyaman.
Zely tahu sejak awal, pernikahan ini tak mengandung cinta. Ia tak diharapkan menjadi istri yang dicintai—hanya wanita yang membayar utang ibunya juga menebus kecerobohannya. Walaupun sebenarnya sejak awal ia sudah menginginkan Alka dan laki-laki sebaliknya ia tetap berharap dengan hatinya. Walaupun akhir akhir ini ia sadar kalau ia seharusnya tidak terlalu jatuh dengan perasaan nya.
Yang paling membingungkan adalah Alka.
Dulu, pria itu nyaris tak bicara padanya. Sikapnya dingin, tatapannya datar, seolah Zely tak lebih dari bayangan di rumah yang terlalu besar. Tapi kini… segalanya berbeda. Alka mulai memperhatikannya. Mengingat apa yang Zely suka dan tak suka. Menawarinya jaket saat malam terlalu dingin. Bahkan diam-diam menyentuh tangannya saat ia terlalu lelah untuk memotong sayur.
Namun, perhatian itu selalu disusul dengan penolakan. Sehari bisa hangat, besoknya dingin kembali. Alka akan bicara dengan nada lembut, lalu keesokan harinya nyaris tak menyapa. Ia membuat teh untuk Zely saat gadis itu flu, tapi tak lama kemudian berkata, “Jangan anggap ini apa-apa.”
Zely tak bodoh. Ia tahu ada yang berubah. Tapi ia juga tahu—perasaan bukan sesuatu yang bisa ia harapkan. Tidak dari pria sekelas Alka. Ia hanya gadis dari keluarga yang bahkan tak jelas asal usul nya.
“Mungkin dia hanya kasihan…” bisik Zely pada dirinya sendiri, berkali-kali. “Dan aku harus tahu diri.”
Namun saat Alka berdiri terlalu dekat, atau saat pria itu menatapnya sedikit lebih lama dari seharusnya, pertahanan Zely mulai runtuh. Ia kembali berharap bisa memeluk tubuh tetap itu untuk sekedar mencari kenyamanan.
Ia ingin percaya. Ingin berharap.
Tapi kemudian ia teringat—tentang kontrak, tentang batas, tentang kenyataan.
Dan seperti Alka, Zely pun memilih menjauh… meski hatinya ingin berlari mendekat. Kenyataannya begitu kuat untuk menyadar kan dirinya bahwa meskipun kita diperbolehkan untuk bermimpi kita harus tahu membatasi diri.
Seperti biasa Zely akan menyiapkan sarapan untuk Alka diatas meja makan, ia memang sudah mulai bekerja di toko bunga sejak sebulan lebih belakangan ini. Alka mengizinkan nya dam memang ia tidak berniat untuk membatasi kehidupan gadis itu selama gadis itu tidak menimbulkan kekacauan yang mengancam karirnya.
"Sarapan sudah aku sajikan mas, mari Sarapan."
Alka mengangguk tanpa senyuman walaupun sebenarnya hatinya cukup bahagia akhir akhir ini, ia diperhatikan penuh oleh gadis itu. Mulai dari Sarapan hingga pakaian gadis itu yang siapkan tanpa ia minta bahkan ia larang pun gadis itu akan melakukan nya.
Mereka duduk berseberangan, sama-sama sibuk dengan makanan yang ada diatas piring mereka.
"Sup nya sangat enak, seperti ada yang berbeda. Apa kamu belajar masak akhir akhir ini?" Tanya Alka dengan lembut.
Zely tersenyum pelan dan ia tidak bisa memungkiri kalau ia senang masakannya diapresiasi, tapi yang lebih membuat dia senang kalau Alka menyadari dam memperhatikan hal sedetail itu.
"Hehehe aku belum pernah cerita yah mas kalau aku punya rekan kerja yang pintar banget masak. Namanya mbak Mia! Dia suka bagi resep masakan ke aku. Tadi aku mau cobain eh ternyata mas sadar."
Wajah gadis itu berseri, matanya berbinar saat sedang bercerita seolah ia tidak memiliki beban. Penuh ekspresi dan sesekali ia menggerakkan tangannya tak sadar begitu larut dalam ceritanya. Ia begitu semangat karena melihat respon seseorang di hadapan nya yang begitu menghargai kehadiran nya.
Di hadapannya, Alka duduk diam namun penuh perhatian. Tatapannya tak pernah lepas dari wajah gadis itu, seolah setiap kata yang keluar adalah hal paling menarik yang pernah ia dengar. Ia tidak menyela, tidak tergesa, hanya mendengarkan dengan tenang dan sesekali tersenyum kecil saat gadis itu mengeluarkan ekspresi yang lucu atau kalimat yang tidak terduga. Entah sejak kapan, suara riang itu mulai menjadi sesuatu yang ingin ia dengar lebih sering.
Tanpa sadar mereka mulai menciptakan meja makan yang hangat, obrolan saat makan ternyata seseru bagi Alka. Ia baru menyadari setelah melalui proses panjang dengan gadis itu. Zely mengubah banyak hak dalam hidupnya.
"Aduh mas, aku sudah mau telat nih."
Zely melirik jam ternyata sudah hampir tiba waktu untuk ia masuk kerja, apalagi hari ini ia bertugas untuk mengantar beberapa pesanan bunga dalam jumlah yang lumayan banyak.
Alka bisa melihat wajah gadis itu begitu panik hingga tidak sengaja kakinya membentur sudut meja.
"Akhhh."
Ia meringis karena itu jelas lumayan sakit. Namun, keburu panik ia tidak menghiraukan nya sama sekali. Ia meraih tas nya dengan nafas yang mulai tersengal.
Greb
Alka menarik tangan gadis itu hingga ia kaget bukan main. Jantungnya hampir copot karena tidak hanya itu, mereka berakhir saling berhadapan dengan jarak yang begitu dekat.
"Hei tenanglah, masih ada sisa waktu sekitar 15 menit lagi. Kakimu sakit apa kamu tidak sadar?" Tanya Alka dengan nada yang lembut.
Zely mencoba untuk tenang dengan menarik nafasnya perlahan. Tapi tetap saja ia masih harus berjalan ke terminal dan menunggu bus bagaimana bisa ia tenang saat tahu ia akan telat.
"Maaf mas aku benar-benar telat, jadi permisi!"
"Sebentar, tenang dahulu! Biar mas saja yang mengantarkan mu kesana, untuk naik bus kamu jelas akan terlambat. "
Deg
Pertanda apa ini? Kenapa tiba-tiba Alka memberikan ia tumpangan? Seolah ia sedang diberikan harapan oleh laki-laki itu.
Sudah hampir sebulan ia kerja namun laki-laki tidak pernah sekalipun memberikan ia tumpangan, baru kali ini.
Zely ingin menolak namun melihat waktu sudah mepet ia akhirnya mengikuti Alka menaiki mobil.
"Apa mas tidak keberatan jalan memutar? Bukankah mas juga sudah harusnya masuk kantor?" Tanya Zely takut merepotkan laki-laki itu.
Alka tersenyum hingga membuat Zely tidak bisa berhenti memuji ketampanan nya yang berkali-kali lipat bertambah karena dihiasi oleh senyuman manis yang sangat jarang bisa ia lihat itu.
"Betanya satu satu dulu,mas tidak keberatan jika harus memutar. Dan kamu tidak lupa kan kalau suamimu ini adalah pemilik perusahaan itu,"ucap Alka dengan lembut dan tenang.
Zely yang mendengarkan itu hampir saja copot jantung, apa Alka baru saja mengatakan dan mengakui kalau ia adalah suami Zely? Pliss Zely ga salah denger kan?.
"Suami kontrak maksud mas, jangan salah faham dulu."
Damn
Tiba-tiba saja Alka meralat ucapannya saat tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Heheheh iya mas."
Zely mencoba menghilangkan kekecewaan itu dengan tertawa hambar cengengesan seperti orang tak waras. Mereka benar-benar sangat canggung tanpa alasan.
"Terimakasih mas," ucap Zely hendak turun karena ia sudah sampai ditujuannya.
Alka mengangguk tersenyum "Nanti mas kebetulan mau lewat sini, mas jemput kamu saja ya."
Zely tersenyum mengangguk dan turun, ia tidak bisa berhenti tersenyum karena Alka benar-benar sangat hangat sejak pagi ini. Alka juga berlalu begitu saja dengan senyuman.
Pagi ini mereka seolah sedang berbunga bunga namun dengan susah payah mereka elakkan rasa yang kian tumbuh itu.
...🎀Bersambung 🎀...
Woylaaa NGAKU GA lo pada!!!
Jangan jual jual mahal gitu, kalo cinta yah cinta napa sih pake tarik umur segala haduhhh.
Jangan lupa yah like komen dan votenya wan kawan.
See you guyss🫶
ini beda 👍👍👍👍