Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 33.
Seekstrovert apa pun Anindya, ternyata tetap melelahkan juga setelah mengadakan resepsi seharian. Belum lagi gaun-gaun cantik yang dipakai, membuat geraknya jadi terbatas. Dia jadi tidak bisa pecicilan seperti hari-hari biasa.
Makanya, pas sudah sampai di kamar hotel yang didekor khas kamar pengantin, Anindya langsung melempar heels yang dipakai ke sembarang arah. Tungkainya melangkah lebar lebih bebas, langsung menerjang kasur king size penuh taburan bunga mawar merah. Gerakannya yang gedebukan membuat ornamen sepasang angsa dari handuk yang ada di kasur jadi buyar. Anindya tidak peduli. Dia lelah sekali. Jadi tetap saja tumbuhnya telungkup di kasur. Kakinya agak menjuntai sedikit.
Malik hanya bisa geleng-geleng kepala kecil melihat kelakuan Anindya. Kalau Anindya yang ekstrovert mentok saja lelah, apa lagi Malik. Rasanya seperti separuh nyawa Malik terbang digondol setan.
Malik melepas jas dan digantung di dekat sofa. Lengan kemejanya digulung sampai sebatas siku, lalu dia juga membuka dua kancing atasnya.
"Saya mau mandi duluan," kata dia.
Anindya balik badan, berubah telentang. Malik sudah jalan lebih dekat ke arah kamar mandi.
"Nggak mau mandi bareng?" usilnya. Padahal kalau diiyakan, bisa terkencing-kencing dia di tempat.
Malik tidak gubris. Tetap lanjut masuk ke kamar mandi.
Dari luar, Anindya bisa mendengar suara air jatuh dari shower. Sayang saja dia tidak bisa melihat ke arah kamar mandi dari tempatnya rebahan sekarang. Kalau bisa kan lumayan, bisa curi-curi pandang.
"Alah, otakmu ngeres," gumamnya, lalu terkekeh atas kelakuannya sendiri.
Tak berapa lama, kucuran shower berhenti. Disusul suara pintu terbuka, lalu Malik keluar dalam balutan bathrobe. Rambutnya masih basah, sedang digosok-gosok menggunakan handuk kecil bersih warna putih. Tali bathrobenya kelihatan tidak terlalu kokoh. Anindya tidak yakin ikatannya bisa bertahan kalau Malik banyak gerak.
"Liatin apa kamu?"
Anindya cengengesan. "Liatin Mas Malik. Seger banget habis mandi. Jadi pengen--"
Bruk!
Kalimat Anindya tak selesai. Handuk basah bekas mengelap rambut Malik, mendarat di wajahnya.
Anindya mengomel dan hendak menyingkirkan handuk itu, tapi langsung dicegah oleh Malik.
"Jangan gerak, saya mau ganti baju."
Dikasih instruksi begitu, Anindya menurut. Handuknya dibiarkan tetap menutupi mukanya selama beberapa waktu.
Tapi yang namanya Anindya, mana bisa kalau cuma disuruh diam. Selagi menunggu Malik selesai pakai baju, dia terus-terusan bertanya, "Udah belum?".
Pertanyaan pertama sampai ketiga masih dijawab oleh Malik dengan sabar. Begitu masuk pertanyaan keempat, Malik cuma menyahut dengan helaan napas berat.
Muka Anindya yang tertutup handuk, cekikikan. Puas sudah membuat Malik kesal di hari pertama sah jadi suami istri.
Menurut Anindya, ganti baju harusnya tidak selama itu. Jadi sebelum mulutnya cerewet lagi bertanya apakah Malik sudah selesai, dia langsung bangun dari rebahan dan duduk di ranjang. Handuk di mukanya juga otomatis ikutan jatuh. Membuatnya bisa melihat dunia luar lagi dengan bebas.
Di depannya, di depan lemari geser dekat ranjang, Malik ternyata belum berpakaian sempurna. Kaus putih berkerah yang hendak Malik kenakan baru dimasukkan ke kepala, membuat dada bidang dan perut kotak-kotaknya terekspos sempurna.
Melihat itu, jangankan tersipu malu, Anindya malah bertopang pipi sambil tersenyum senang. Matanya mendadak berbinar. Seperti sedang menatap mahakarya Tuhan paling indah sealam semesta. Dia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan barang sedetik pun, jadi matanya sama sekali tidak berkedip.
"Jelalatan!"
Lagi-lagi, sesuatu mendarat di wajah Anindya begitu Malik sadar sedang dipandangi. Kali ini adalah kemeja satin warna cokelat susu. Aroma parfum Malik menempel di sana, malah membuat Anindya bahagia. Masih sambil senyum-senyum kayak orang gila, Anindya singkirkan kemeja itu, lalu dia cium-cium supaya wanginya meresap ke dalam relung jiwa.
Malik makin tidak habis pikir. Sebelum Anindya berulah lagi, dia cepat-cepat mengambil ponsel dan dompetnya, lalu kabur.
"Mau ke mana?"
"Ke lounge, ada urusan," jawab Malik sambil terburu-buru membuka pintu. "Kalau capek tidur duluan aja, saya kayaknya bakal lama."
Anindya tidak sempat menjawab karena Malik sudah lebih dulu hilang dari pandangan. Dia cuma bisa terkikik karena berhasil mengerjai Malik sekali lagi.
"Gemes amat sih suami aku."
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Tadi sore di tengah acara resepsi, Malik sudah minta pada papanya Anindya untuk bertemu di lounge malam ini. Dia katakan sejujurnya bahwa ingin membicarakan sesuatu yang penting. Syukurnya papanya Anindya langsung setuju tanpa banyak tanya.
Begitu Malik tiba, papanya Anindya ternyata sudah lebih dulu ada di sana. Lounge hotel cukup sepi malam ini, hanya ada dua pasangan turis asing yang duduk di sofa panjang dekat jendela, dan seorang bartender yang sesekali merapikan botol di rak kaca. Musik jazz instrumental mengalun pelan, dipadu cahaya temaram dari lampu gantung dan lilin kecil di meja. Suasananya hangat, intim, seolah memang diciptakan untuk mendukung pembicaraan mereka yang akan berlangsung serius.
Wine dan camilan tersedia di meja bundar di pojok ruangan. Ada cheese platter, beberapa potong buah segar, juga french fries yang masih mengepulkan aroma gurihnya. Malik bisa mencium campuran wangi wine dan keju yang samar-samar menusuk hidung.
"Papa udah lama?" tanya Malik basa-basi.
Papanya Anindya hanya tersenyum dan menggeleng kecil.
Malik pun menggeser kursi dan duduk di seberang mertuanya. Kursi empuk itu menimbulkan bunyi berderit halus saat diduduki. Malik sempat meneguk segelas air putih yang tersedia untuk menenangkan tenggorokan. Tangannya agak gemetar, meski wajahnya berusaha terlihat tenang.
Mula-mula mereka mengobrolkan beberapa hal lain. Soal resepsi hari ini, pekerjaan, juga beberapa rencana kecil yang akan Malik lakukan bersama Anindya ke depan. Lalu di satu titik pembicaraan, Malik teringat pada tujuan utamanya mengajak bertemu.
"Pa," suaranya kecil. Bukan Malik sekali. Yang biasanya tegas dan percaya diri.
Papa mencomot sepotong french fries dan melahapnya sekaligus, sambil menunggu Malik meneruskan.
"Soal Anin."
"Go ahead," pinta Papa.
Malik meremas kedua tangan di atas pangkuan. Sebelum ke sini, dia sudah menyusun semuanya dengan apik di kepala. Tapi pas sudah waktunya bicara, dia malah mendadak bingung tak tahu harus mulai dari mana. Susunan rencananya mendadak kabur. Diserang rasa khawatir berlebihan atas reaksi papa.
"Ngomong aja, Papa nggak keberatan buat denger apa pun."
Pandangan Malik menyapu wajah Papa. Bibir pria itu tersenyum, tapi entah bagaimana Malik masih bisa lihat perasaan gusar yang sama. Hanya alasannya saja yang mungkin berbeda.
Selama beberapa waktu, Malik mengambil jeda untuk menyusun kembali rangkaian kata supaya tidak menyakiti siapa pun. Baru ketika dirasa siap, dia rogoh kantong celana dan keluarkan ponsel dari sana.
Malik membuka galeri, memencet satu folder khusus yang udah disiapkan, lalu menyodorkan ponselnya kepada papa.
Papa mendekat ke arah meja. Mencuri lihat foto di sana.
"Itu...." Malik menjeda lagi. Tenggorokannya mendadak kering. Menelan ludah pun terasa sulit. "Itu invoice pembayaran di market place, atas pembelian tespek palsu."
Rongga dada Malik terasa menyempit. Saluran napasnya seperti diblokir, membuat pasukan oksigen tidak dapat mengalir sebagaimana mestinya. Terlebih, ketika mengangkat kepala. Ditemukannya wajah papa dengan ekspresi yang....
Bersambung...