Hidupku begitu hancur saat malam yang tak diiginkan menimpaku. Sayangku pada keluarga baru, telah menghancurkan cinta pada pria yang telah merenggut semangat hidupku.
Hidup yang selama ini terjaga telah hancur dalam sekejap mata, hanya keserakahan pria yang kucintai. Namun pada kenyataanya dia tak memilihku, akibat cintanya sudah terkunci untuk orang lain.
Apakah hidupku akan hancur akibat malam yang tak diiginkan itu? Atau akan bahagia saat kenyataan telah terungkap?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kadatangan tamu yang bikin kesal
Sungguh kesal dan gondok sekali terhadap majikan sendiri yang sombong dan angkuh itu. Kata-katanya begitu nylekit sekali, hingga membuat diriku marah besar padanya dan segera menghentikan status menjadi pembantunya.
Sifatnya yang arogan sungguh memuakkan, andai saja tak demi menggantikan ibu pasti sudah awal-awal datang dirumahnya aku sudah mengundurkan diri.
"Bagaimana aku bisa menjelaskan pada bu Fatimah bahwa aku sudah mengundurkan diri dari pekerjaan itu? Apa beliau nanti marah ya sebab kerjaannya telah kuhancurkan. Heeh, bagaimama ini? Aku tadi sudah terlanjur tak mau kerja lagi disitu. Hadeeh Karin, bu Fatimah sudah berbaik hati padamu, kenapa juga harus kamu hancurkan pekerjaannya? Pasti beliau akan marah besar padamu," guman hati yang sudah takut-takut akan kena marah pada ibu sambungku berikutnya.
Kini kaki terus saja sibuk mengayuh pedal sepeda agar secepatnya sampai kerumah bu Fatimah. Diri ini siap tak siap harus menerima resiko jika kena marah akibat tak becus melakukan pekerjaan itu.
"Assalamualaikum," ucap salamku ketika ingin memasuki rumah.
"Walaikumsalam," jawab seseorang dari dalam yang sepertinya adalah ibu.
Tangan punggung beliau langsung saja kucium takzim. Beliau kelihatan masih lemah yang tengah duduk santai diruang tamu.
"Gimana keadaan kamu, bu? Apa sakitnya sudah mendingan?" tanyaku khawatir.
"Masih sama seperti tadi pagi. Malahan ini kepala terasa pusing sekali dan badan terasa lemah sekali," jawab beliau sambil mengkerutkan wajah mungkin tak tahan atas rasa sakit itu.
"Kita bawa periksa ke dokter saja, gimana bu?" tanyaku memberikan usul.
"Iya, Karin. Tunggu bapak pulang kerja saja, biar beliau nanti yang mengantarkannya," terang beliau.
"Baiklah, bu!" jawabku sambil memijit pelan lengan tangan beliau.
"Oh ya, kenapa kamu baru jam segini sudah pulang?" tanya bwliau.
"Emm, maaf bu. Karin tadi lagi kesel sama majikan. Masak kata-katanya itu tak ada aturan kayak tak pernah sekolah saja. Karena kesalahan kecil saja, Karin sudah dikatain pengemis pekerjaan demi mendapatkan uang receh. 'Kan kata-katanya itu kejam sekali. Kalau bukan majikan saja sudah kugampar mulutnya itu," keluhku emosi.
"Heeeh, kamu yang sabar Karin. Tuan muda memang kayak gitu sifatnya, suka ceplas-ceplos dan tak ada aturan kalau berkata, tapi kalau kamu sudah mengenalnya lebih dalam lagi sifatnya itu penuh kasih sayang dan baik," jelas ibu.
"Heehh tak tahu 'lah, bu. Ucapannya sungguh membuatku sakit hati, hingga tadi tak sengaja Karin keceplosan berhenti kerja. Maafkan aku bu, jika telah mengacaukan pekerjaan kamu," jelasku sambil menundukkan kepala sebab tak enak hati.
"Ngak pa-pa, Karin. Ibu bisa memaklumi posisi kamu itu. Paling-paling tuan muda nanti akan memanggil kamu lagi, sebab dia itu tak akan bisa mengerjakan sesuatu tanpa pembantu," jelas bu Fatimah.
"Benarkah itu? Baguslah kalau dia nanti mau membujuk, tapi kalau majikan tak ada usaha untuk meminta kembali berkerja ya Karin terpaksa tidak mau kembali kesana," terangku.
"Iya, ngak pa-pa nak. Kamu harus banyak-banyak bersabar menghadapi dia. Lagian ibu rasanya sudah tak kuat dan tua untuk melakukan pekerjaan itu," imbuh ucap ibu.
"Iya, bu. Kamu harus tetap jaga kesehatan agar tak sakit kayak gini," ujarku yang masih tetap sibuk memijit beliau.
"Iya, nak. Sungguh ibu sangat beruntung memiliki anak sebaik kamu. Walau aku tak pernah mengendong bayi, tapi Tuhan ternyata menjawab do'aku untuk memiliki anak dan ternyata kamulah orang yang terpilih menjadi anak dan menjagaku," ucap beliau sudah berkaca-kaca.
"Ibu jangan sedih begitu. Walau aku bukan anak kandung kamu, tapi anggaplah aku sebagai anak sendiri jika ibu benar-benar menginginkannya," tuturku mengelus pipi beliau pelan-pelan.
"Iya, Karin. Makasih."
"Iya, bu. Sama-sama."
Tak lama kemudian bapak telah datang setelah pulang kerja dan tanpa mengulur waktu lagi, langsung saja membawa ibu pergi untuk periksa ke dokter atas penyakit apa yang diderita beliau sekarang ini.
"Hati-hati, pak!" ujarku sebelum beliau melenggang pergi menggunakan motor.
"Iya, neng. Kamu jaga rumah dan hati-hati juga," balik ucap beliau.
"Iya, pak."
Ibu dan bapak sudah semakin jauh hilang dari pandangan. Karena badan sudah terasa capek, kini aku berusaha ingin menutup rumah untuk segera istirahat didalam kamar.
Tin ... tin ... tiiiiin, klakson mobil telah kuatnya berbunyi hingga mengagetkanku yang tengah fokus ingin masuk rumah.
"Hadeh, siapa sih siang-siang bolong begini mengklakson mobil dengan kerasnya? Apa ngak tahu aturan, bahwa disini banyak tetangga yang bisa marah gara-gara terganggu? Siapa sih dia?" tanyaku dalam hati ketika melihat mobil hitam mewah tengah memasuki perkarangan rumah.
Mata kini memperhatikan siapa gerangan tamu yang bikin kesal dan ngak ada akhlak disiang bolong begini, akibat suara belnya yang menganggu sekali.
Bhugh, suara pintu mobil telah ditutup kasar.
"Haah, tuan sombong itu? Ngapain juga ke sini? Jangan bilang dia kesini mau meminta maaf, dasar manusia aneh," keluhku dalam hati saat majikan kini berjalan cool mendekatiku, yang masih terbengong tak percaya atas kedatangannya.
"Hei, Karin. Hehehe, kita ketemu lagi 'kan!" sapanya cegegesan dengan kedua tangan terpegang dibelakang.
"Mau apa sih tuan datang kesini? Kurang kerjaan saja nyemperin pembantu kesini? Jangan bilang kamu mau minta maaf atas kesalahan ucapan kamu," ketusku bertanya sambil menebak.
"Idiiih, pede amat. Jangan sok percaya diri akut begitu atas kedatanganku. Aku kesini 'tuh sebab ada hal penting yang ingin kubicarakan sama kamu, boleh?" jelasnya.
"Apaan sih yang ingin dibicarakan, kayak penting amat. Langsung bicara disini saja, kenapa?" keluhku.
"Haaiiist, masak tamu dibiarkan diluar, ngak sopan banget sama tamu yang agung ini. Lagian aku ini mantan majikan yang harus diperlakukan baik walau kamu membenciku. Memuliakan tamu adalah berpahala bagi sang pemilik rumahnya, masak ngak mau dapat pahala berlipat-lipat. Jadi boleh 'kan aku masuk?" tanyanya yang kini sudah main nyelonong berjalan melewatiku ingin segera masuk rumah.
"Ciih, dasar manusia angkuh mau menang sendiri," keluhku ngedumel dalam hati ingin sekali mengetok kepala pria bernama Chris ini.
Tangan sudah ancang-ancang ingin mengampar si Chris, tapi saat melayang diudara keburu dia menoleh kebelakang melihatku, hingga tangan langsung kuturunkan dan berusaha tertawa kecil cegegesan agar dia tak mengetahui maksudku.
"Haaah, enak juga rumah ini walau kecil," hinanya yang kini sudah betengger duduk manis diruang tamu.
"Ngak usah banyak basa-basi. Cepetan ngomong mau apa kesini?" tanyaku ketus.
"Haiach, ngak sabar betul sih jadi orang. Buatkan minuman dulu, kek. Suguhkan camilan atau buah gitu, jangan memperlakukan tamu kasar gitu, paham!" Kemauannya yang mengesalkan.
"Hedeeh, dasar tamu ngak ada akhlak dan banyak maunya. Bikin repot saja tuan rumah. Tunggu disini sebentar, akan kubuatkan segera," jawabku tak suka, yang kini melenggang pergi atas pemintaan si Chris manusia sombong itu.
Tangan kini sedang sibuk mengaduk-aduk gula supaya larut dalam cangkir yang berisikan teh. Tak butuh waktu lama aku untuk menyeduhnya, yang kini segera kuhidangkan pada tamu si Chris yang sok segalanya itu.
"Ini minumlah," Kusodorkan minuman secara kasar.
Chris kelihatan sudah mengerutkan alisnya untuk naik keatas, yang sepertinya tak suka atas suguhanku.
"Aku ngak mau ini. Kalau bisa buatkan aku kopi saja, boleh!" pintanya manja.
"Hadeeh, kamu ini benar-benar tamu yang banyak maunya. Masih untung aku suguhkan itu dari pada air mentah dari sumur, mau?" responku ketus sudah begitu terasa gondok dihati.
"Wah ... wah, ketus amat sih jawabannya. Benar-benar tak ada niatan baik menyambut majikan kamu ini. Dasar pembantu luknut, nyesal aku datang kesini," ucapnya tak senang terhadap sikapku.
"Kalau kamu tak suka atas sikapku ini, noh pintu rumah masih terbuka lebar untuk kamu pergi sekarang. Lagian kamu yang bertamu tapi banyak cin cong dan mengeluh ini itu, kalau ada niatan tak mau datang kesini ya jangan kesini," jawabku sedikit emosi dengan menyungingkan mulut ke atas.
"Heheheh, tadi bercanda doang Karin. Iya ya, aku yang datang kesini kenapa jadi aku yang banyak ngeluh. Sudah lupakan keluhanku itu, sekarang buatlan aku kopi sebentar saja, sebab ada hal yang penting secepatnya ingin kubicarakan sama kamu," pintanya lagi.
"Heheuauahheheh," keluhku geram dengan mengepalkan erat tangan.
Lagi-lagi kini aku kembali kedapur, untuk menyiapkan apa yang diminta majikan tak ada akhlak itu.
"Kamu itu bener ngeselin, Chris. Akan kubuat kamu mati kutu sekarang, hi ... hi ... hi!" Tawaku dalam hati ingin mengerjainya.
Nampan berisi secangkir kopi sekarang kubawa kedepan, yang segera kusuguhkan ulang pada majikan Chris.
"Ini, silahkan diminum," Suguhanku dengan berusaha memberikan senyuman ramah-seramahnya namun tak suka.
"Matilah kau Chris sekarang, sebab tadi banyak maunya, hahahahahah," gelak tawaku dalam hati puas, saat melihat bibir Chris ingin menyeruput kopi.
Bruuuussssss, sebuah semburan kuat dari mulut Chris saat memuntahkan kopi yang kubuat.
"Ha ... ha ... ha ... ha," gelak tawaku lantang saat wajah Chris kini mengeryit tak senang atas rasa kopi.
"Haaaaiiist, dasar kurang ajar. Apa yang kamu bubuhkan dalam kopi ini? Kamu kasih racun atau apa ini? Sengaja kamu ingin membunuhku?" keluhnya bernada emosi.
"Hehehe, maaf ya. Teh itu tadi terakhir kami ada gula dan ketika membuat kopi tak ada gulanya, jadi ya terpaksa aku kasih garam saja. Lagian kamu sih maksa suruh bikin kopi, ya mau tak mau gula kugantikan dengan garam," terangku sambil mulut sekuat tenaga menahan senyum.
"Dasar gila. Benar-benar cewek kurang kerjaan. Bilang saja mau balas dendam dan membunuhku," nyolot suara Chris marah-marah.
"Ya elah, pakai garam saja tak sampai nyawa bisa melayang tahu. Berlebihan banget dasar manusia oplas," balik keluhku sambil menghina.
"What? Apa yang kamu bilang tadi? Manusia oplas? Kamu itu benar-benar minta diberi pelajaran," jawab Chris sambil memonyongkan bibir kuat akibat mengeluh.
"Apa? Apa? Kalau berbuat macam-macam maka aku akan berteriak dengan alasan kamu mau berbuat jahat dan tak senonoh padaku," balik jawabku nyolot tak senang.
"Haiiiist, kali ini kamu yang menang. Awas saja, lain kali nanti akan kubalas," ancam Chris.
"Silahkan, aku ngak takut sama kamu. Kita itu sama-sama manusia kenapa harus takut padamu. Oh ya, cepetan apa yang ingin kamu bicarakan tadi, cepat katakan. Atau kamu akan aku usir secara tak hormat dari sini sekarang," pintaku kasar.
"Iya ... iya, bawel amat sih jadi cewek. Dasar tak ada hormat-hormatnya sama orang," jawabnya setuju.
Plak, sebuah kertas kini terlempar kasar dimeja ruang tamu.
"Apa ini?" tanyaku heran.
"Baca saja," suruhnya halus.
Perlahan-lahan kuperhatikan seksama sebuah tulisan dengan ketikan komputer begitu rapi dan kecil-kecil.
"Itu adalah surat perjanjian yang menyatakan bahwa bu Fatimah masih ada kontrak kerja selama satu tahun lagi padaku, jadi kamu sekarang tak bisa menghindar lagi dariku, gimana?" ucapnya yang kini sudah berbisik pelan ditelingaku hingga membuat bulu kuduk mulai meremang berdiri semua.
Aku hanya bisa menganga dengan mulut terbuka lebar, sebab tak percaya bakalan bekerja pada si manusia oplas dan sombong ini lagi.
"Tutup mulut kamu, nanti bisa kemasukkan lalat," ucap majikan yang kini tangannya ditaruh didaguku, agar bisa menagkupkan bibir yang menganga.
Majikan sudah duduk kembali pada posisi waktu diawal-awal masuk ke rumah ini.
"Apa ini ngak bisa ditunda? Lagian ini kontrak kerja punya ibu bukan aku, jadi mana bisa kamu jadikan alasan untuk memperkerjakan aku kembali," keluhku mencoba meminta pengertian.
"Memang yang tanda tangan itu adalah bu Fatimah, tapi kamu 'kan yang sementara ini mengantikan dia untuk bekerja sekarang. Jika kamu tak mau mengikuti perjanjian itu, maka harus ada ganti ruginya bayar denda seratus juta, gimana?" jelasnya sambil bertanya.
"Wah ... wah, kamu memang manusia tak punya hati mau memeras rakyat kecil seperti kami. Patut saja banyak pembantu yang tak betah kerja dirumah kamu, ternyata oh teryata sifat kamu memang pemeras orang miskin seperti kami. Dasar!" keluhku tak senang.
"Bukan begitu, Karin. Setiap kerja itu pasti ada surat perjanjiannya antara pihak satu dan kedua, biar dikemudian hari tak ada yang merasa dirugikan, paham!" Penjelasannya.
"Iya ... iya, paham. Oklah, aku akan kembali kerja, tapi aku mau menambah persyaratan kerja ini, gimana?" ujarku mengajak bernegosiasi.
"Memang apa yang ingin kamu tambahin? Silahkan saja, asalkan tak merugikan aku saja," jawab Chris setuju.
"Aku mau gaji dinaikkan dua kali lipat, yang kedua antara majikan dan pembantu tak boleh mengurusi privasi masing-masing dan yang ketiga tak boleh mencelakai maupun membuat ulah yang bikin hati kita saling membenci, gimana?" tawarku memberitahu.
"Yang kedua ketiga setuju, tapi yang pertama apa ngak bisa gaji tetap sesuai dengan perjanjian awal?" tanyanya.
"Aku maunya seperti itu. Kalau tuan tak mau ya ngak pa-pa, berarti aku tak perlu kembali kerja dirumah kamu lagi," Kepura-puraanku masih kekuh ingin sesuai perjanjian.
"Emm, ok 'lah. Deal! " jawabnya setuju.
"Deal," balik jawabku menyetujui juga sambil menjabat tangannya.
"Maafkan aku tuan Chris, bukan maksud hatiku untuk memeras kamu, tapi aku sekarang butuh biaya untuk membantu kehidupan keluarga bu Fatimah. Selain itu kehamilanku akan semakin nampak besar dan aku butuh biaya untuk proses persalinan nanti. Maaf ... maafkan aku tuan Chris, jika memalak kamu tanpa memberitahu alasannya," guman hati yang merasa bersalah.