Di malam pertunangannya, Sahira memergoki pria yang baru saja menyematkan cincin pada jari manisnya, sedang bercumbu dengan saudara angkatnya.
Melihat fakta menyakitkan itu, tak lantas membuat Sahira meneteskan airmata apalagi menyerang dua insan yang sedang bermesraan di area basement gedung perhotelan.
Sebaliknya, senyum culas tersungging dibibir nya. Ini adalah permulaan menuju pembalasan sesungguhnya yang telah ia rancang belasan tahun lamanya.
Sebenarnya apa yang terjadi? Benarkah sosok Sahira hanyalah wanita lugu, penakut, mudah ditipu, ditindas oleh keluarga angkatnya? Atau, sifatnya itu cuma kedok semata ...?
"Aku Bersumpah! Akan menuntut balas sampai mereka bersujud memohon ampun! Lebih memilih mati daripada hidup seperti di neraka!" ~ Sahira ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ASA : 30
Thariq membopong tubuh lemas Sahira, melangkah perlahan menuruni anak tangga. Sementara para bawahannya, sibuk mengumpulkan barang bukti, memasukkan ke dalam tas jinjing pria.
Damar bergerak gesit dalam senyap, mulutnya bungkam, anggota tubuh seolah terprogram otomatis, tanpa dipinta sudah lebih dulu bertindak. Membukakan pintu penumpang, lalu melesat duduk di sebelah jok kemudi. Rekannya yang mengendarai mobil.
“Cari rumah sakit terdekat!” titahnya tanpa mengalihkan pandangan dari Sahira, yang kini memejamkan mata seraya memeluk kalung pernikahan mereka.
‘Apa hubungan kita ini sangat penting untukmu, Sayang?’
“Seberapa jauh jarak dari sini ke RS Columbia Asia Aksara?” Ia ingin sang istri di rawat di rumah sakit bertaraf internasional yang ada di wilayah Medan.
Damar yang duduk di samping jok kemudi, membuka google maps di ponsel pintarnya. “Memakan waktu sekitar 1 jam, Tuan.”
“Cari rumah sakit lainnya, yang paling dekat,” putusnya kemudian, terlalu jauh bila memaksakan diri, sementara sang istri tengah menahan rasa sakit luar biasa.
Di balik dinding tembok, Adisty melihat semuanya. Dalam diam dia mengamati, bagaimana paniknya seorang Thariq Alamsyah.
Matanya menerawang jauh, bibir tipisnya mencetak senyum samar. ‘Kini saatnya memasuki babak baru, tiba waktunya kalian mengetahui siapa jati diri Pangestu yang sesungguhnya.’
Saat dirasa Sahira telah aman, dan berada ditangan yang tepat, ia keluar dari tempat persembunyian. Tak lama kemudian, mobil Nissan GT-R Black yang dibandrol dengan harga di atas 1,6 M, mendekati Adisty. Seorang sopir berkaos pas badan, keluar dari pintu kemudi.
“Biarkan saya yang menyetir.” Ia membutuhkan pengalihan agar pikirannya tetap tenang, hatinya tak cemas, mencoba percaya kalau Sahira pasti baik-baik saja.
“Baik, Nona.” Bergegas pria berbadan tegap, bahu kokoh itu pindah tempat duduk.
Adisty Pangestu menginjak pedal gas. Memacu kendaraan kesayangan yang masuk dalam jajaran mobil tercepat di kelasnya. Sang sopir tidak bereaksi, dia diam bak patung. Hal ini sudah terbiasa terjadi, dan wanita disampingnya mahir membawa mobil layaknya pembalap profesional.
***
Sahira sedang ditangani IGD (Instalasi Gawat Darurat) rumah sakit kecil pinggiran kota, di depan pintu ruang tindakan tersebut, Thariq hilir mudik menanti dengan harap cemas.
Pintu ruangan di buka, nama sang suami dari Sahira dipanggil. Bergegas Thariq masuk ke dalam, langsung mendekati ranjang dimana istrinya terbaring lemah dengan jarum infus menusuk urat punggung tangannya.
“Abang,” panggilnya lirih, tampilannya sedikit lebih baik, meskipun sudut bibir dan pipi membengkak. Pakaiannya telah diganti dengan baju rumah sakit.
“Iya, Sayang. Sakit sekali ya?” Ia usap sayang pucuk rambut Sahira.
Sahira tersenyum samar, mengangguk lemah.
Sang dokter datang, memberikan hasil pemeriksaannya. Sahira tidak mengalami cidera dalam, hanya luka luar, dalam beberapa hari kedepan sudah sembuh dan warna lebam-lebam nya menghilang.
Betapa leganya hati Thariq, kendatipun begitu dia tetap menginginkan perawatan lebih lanjut, perasaannya masih tak tenang.
Dokter jaga mengusulkan agar Sahira malam ini dirawat inap, bila kondisinya stabil dan tidak ada tanda-tanda infeksi maupun pembengkakan pembuluh darah di luka terlihat berat pada bagian wajah dan paha, maka besok boleh pulang.
Ranjang pasien didorong oleh dua orang perawat memasuki kamar inap kelas satu. Walaupun bagi Thariq masih kurang dikarenakan fasilitasnya jauh dibawah rumah sakit besar, paling tidak sang istri dalam pantauan tenaga medis.
Pria berkemeja lusuh, terdapat debu di bagian dada dan bahu itu, terus saja mengusap sayang pelipis sang istri, sebelah tangannya lagi menciumi jemari Sahira yang tidak diinfus, si empunya sendiri telah terlelap.
“Maaf, maafkan saya dikarenakan lalai menjagamu. Maaf karena saya, kau harus menderita seperti ini. Maaf, Sayang.” Telapak tangan lemah itu ia tempelkan di pipinya, hatinya terenyuh melihat bukti nyata kekejaman Arimbi.
Di luar ruangan, suara isak tangis terdengar lirih. Mustika dan bu Ayda saling memeluk, duduk di bangku besi depan kamar rawat Sahira.
Mereka datang setelah mendapatkan kabar dari Damar, lebih tepatnya Mustika memaksa asisten abangnya memberi tahu tentang keberadaan sang kakak ipar.
Saat pintu kamar dibuka dari dalam, bu Ayda langsung melangkah lebar, memeluk sang putra. “Bagaimana kondisi Sahira, Nak?”
“Jauh lebih baik, Ma.” Thariq mengelus punggung sang ibu, menuntunnya agar duduk kembali, tidak menutup rapat pintu rawat, supaya bila Sahira bangun dan memanggil, dia dengar.
“Syukurlah, apa boleh Mama melihatnya sebentar saja?” Senyum lega tersungging di bibirnya, kendatipun raut lelah menghiasi wajah. Ia dan sang putri melakukan perjalanan satu jam untuk sampai disini.
“Dia sedang istirahat,” ada nada enggan dibalik pemberitahuan itu.
Bu Ayda mengangguk paham. “Maafkan Mama, Thariq. Karena keegoisan wanita tak tahu diri ini, Sahira celaka.”
Thariq menghela napas berat, ia mengusak rambut. “Semoga setelah ini Mama lebih bijak lagi dalam bertindak.”
Rasanya seperti ada benda tak kasat mata yang menikam hatinya, nada dingin sang putra menandakan bila ia tengah kecewa.
“Abang, maafkan aku.” Mustika berlutut, ia memeluk kaki sang kakak yang duduk di samping ibunya.
“Kau lihat, Tika! Akibat kecerobohan mu, Sahira terbaring di ranjang pesakitan.” Thariq tak mengelus rambut adiknya, seperti yang biasa dia lakukan.
“Maaf, Bang.” Ia tergugu, sama sekali tidak tersinggung. Ini memang kesalahannya.
“Kau bilang akan menjaganya, tapi nyatanya meninggalkannya seorang diri, disaat dia jauh dari saya,” lagi dirinya mengungkapkan rasa kecewanya.
Mustika mengeratkan lingkaran tangannya, wajahnya menunduk, mulut terbungkam. ‘Bodoh, bodoh, bodoh! Seharusnya kau antar dulu kak Sahira, baru pulang! Tak nya kau mati cuma dikarenakan menderita sakit perut.’
Wanita yang mengenakan setelan rumah itu sangat menyesali kecerobohannya.
Damar memperhatikan dalam diam, dia bersandar pada dinding tembok. Hatinya sedikit tercubit melihat sosok menangis pilu, ia tahu bagaimana kalutnya Mustika, suaranya bergetar saat memohon diberi tahu tentang kondisi kakak iparnya.
Kelopak mata Sahira terbuka, menatap hampa pada jendela bergorden polos, sayup-sayup suara di luar sana masuk indera pendengarannya.
Namun ia memilih abai, enggan memanggil sang suami agar ibu dan adik iparnya diperbolehkan masuk.
“Aku telah berhasil menarik simpati dan empati keluarga Alamsyah. Mereka ada dalam genggaman tangan ini.” Ia kepalkan telapak tangannya.
“Akhirnya hari itu telah tiba tepat di depan mata,” ia terkekeh pelan. Sorot matanya menyiratkan rasa puas sekaligus kesakitan. Kemudian memilih memejamkan matanya, kembali tidur.
***
Mobil mewah berwarna hitam mengkilap, memasuki hunian mewah bergaya eropa. Kediaman pribadi Pangestu, yang banyak orang tidak tahu, dikarenakan keluarga itu memilih kehidupan tidak mencolok mata, aslinya berharta.
Belum juga si pengemudi keluar dari dalam mobil, sosok wanita berumur setengah abad, menuruni tangga teras, langkahnya tergesa-gesa.
“Adisty, Sahira benar baik-baik saja kan, Nak?” tanya Selina Pangestu, raut wajahnya sangat cemas.
Adisty keluar dari dalam mobil, membiarkan sang sopir mengambil alih untuk memarkir kendaraannya. Ia merangkul pundak wanita terkasih. “Rubah cerdik itu hanya luka ringan, Bun. Tak perlu risau.”
“Syukurlah.” Ia mengusap dada yang terasa lega, menyamakan langkah memasuki hunian mereka. “Bunda harap, ini kali terakhir dia terluka demi menjalankan misi agar segera terbebas dari ambisi dan dendam.”
“Seharusnya memang seperti itu, sesuai skenario awal, inilah akhirnya."
Adisty berhenti, memegang lengan salah satu sosok yang ia sayangi. "Apa Bunda telah siap memasuki babak baru rencana kita ...?”
.
.
Bersambung.
Siapa lavibtuh tikus yang datang. Arimbi kah...
mksh KK othor upnya
mantap banget penjabaran nya