“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 30
Tetesan air mata langsung berjatuhan, tapi baik Mia dan ibunya – mengangguk yakin. Ada rasa haru, harapan meskipun semua belum pasti. Paling penting sosok yang membuat mereka tetap memilih hidup, memiliki secuil kesempatan untuk keluar dari lingkaran setan.
Keputusan pun sudah diambil. Mia dan Astuti kembali ke hunian mereka, kebetulan hari mulai gelap – tidak lama lagi Anto pulang dari menggembala Kambing, dan Sopyan kembali dari nongkrong diwarung tempat awal mula negosiasi maksiat terjadi.
Laila berdiri di depan jendela, menatap rumah terlihat besar milik pak RW Sopyan. “Dasar manusia tak tahu diri, enggan bersyukur dan kufur nikmat. Sudah diberi istri sabar, anak-anak sempurna secara fisik, adab baik – tapi malah memilih bersekutu dengan Iblis.”
Netranya menatap lekat sosok yang baru saja turun dari motor Astrea. “Cepat atau lambat, kau sendiri pasti akan mati ditangan Iblis pujaan mu itu Sopyan. Bodohnya dirimu lebih mempercayakan nasib dengan menduakan Sang Pencipta. Padahal harta, jabatan yang kau sandang kini – semua itu hal semu, bersifat sementara dan tipu muslihat belaka.”
Ya, bersekutu dengan Setan sama saja halnya seperti bunuh diri secara perlahan. Apalagi yang wajib mempersembahkan tumbal nyawa manusia – lambat laun mereka akan kehilangan jati diri, simpati, empati, dan matinya hati nurani. Kelakuannya pun sama persis seperti Iblis yang dipuja.
Banyak orang jadi gelap mata, mengedepankan ego, ambisi, dan tergiur jalur instan menjadi kaya raya, berkuasa, serta hal lainnya yang diingini. Namun, lupa kalau Iblis itu penuh tipu daya, bertambah makmur pengikutnya, maka persembahan pun harus lebih dari sebelumnya. Ujung-ujungnya nyawa sendiri taruhannya.
.
.
Keesokan harinya.
“Kalian mau kemana?” Sopyan menanyai istri dan kedua anaknya yang mengenakan pakaian biasa saja.
“Apa peduli, Bapak? Tumben nanya, biasanya melengos begitu saja,” sahut Anto, rautnya sangat keruh.
“Anto dapat hadiah dari menang lomba lari disekolahnya. Kami hendak menemaninya kesana,” sela Astuti, tentunya berdusta.
“Helle … menang lomba tingkat kecamatan saja dibanggakan.” Sopyan langsung melangkah ke depan, enggan bertanya lagi.
Ada rasa nyeri pada hati remaja laki-laki itu. Perjuangan dan prestasinya tidak pernah dihargai apalagi diapresiasi.
Mia menarik lembut lengan adiknya. Dia berpenampilan sama seperti hari biasanya. Baju lengan panjang, dan celana sampai mata kaki.
Laila mendengar perdebatan bernada tinggi itu, tapi kali ini dia abai. Membiarkan Sopyan menikmati sisa waktu sebelum menyadari dirinya akan kehilangan segalanya.
Kemudian wanita berpenampilan simpel itu menutup pintu belakang. Hari ini dirinya libur – setelah dua minggu bekerja penuh, menolong tiga orang ibu hamil melahirkan di desa sebelah. Dan ia mendapatkan tambahan libur satu hari di hari Sabtu.
Sepuluh menit kemudian, derap langkah Kuda sudah dapat didengar oleh tiga orang yang wajahnya sembab, mata bengkak.
Mia, Astuti, dan Anto, serempak menoleh kebelakang. Saat melihat sosok Laila – si bungsu langsung memeluk erat ibu dan kakaknya.
Anto tergugu, suaranya serak dikarenakan semalaman dia tidak tidur, serta terus menangis dalam diam. Dia cuma membawa dua stel baju yang dimasukkan ke dalam tas ransel lusuh.
Jabrik berhenti tepat di samping Mia dan keluarganya.
Laila turun dari Kuda, hendak membantu Anto naik ke atas pelana. “Bergegaslah, kita tak bisa berlama-lama berdiri bersamaan seperti ini. Bisa saja ada yang memergoki dan langsung melaporkan kepada para manusia biadab itu!”
Astuti mendorong kuat punggung putranya agar mau naik ke atas Kuda. Dia menahan tangis hingga tenggorokannya terasa sakit. “Cepat, To. Jangan sia-siakan kebaikan orang yang sudi menolong kita!”
Mia mencubit kulit perutnya, melampiaskan kesedihan agar dia tidak menjerit dikarenakan perpisahan menyakitkan ini.
Tangan Anto mengusap kasar air mata yang tidak mau berhenti, padahal semalaman sudah bercucuran. Semalam saat ayahnya pergi lagi setelah makan malam – Ibu dan kakaknya menceritakan semuanya secara rinci.
Awalnya remaja laki-laki itu menolak mentah-mentah. Sampai pipinya ditampar Mia, diteriaki, lalu dia tidak tega kala kedua orang kesayangannya bersujud memohon agar dirinya mau menurut.
“Hati-hati ya, La.” Astuti memeluk sebentar sang penolong.
“Aku tunggu Kakak di bawah bukit balik sungai,” ucap Mia, dia sudah berjanji akan membantu, dan hari ini pembuktiannya.
Laila mengangguk, langsung naik lagi ke punggung Jabrik. Anto ada di depannya, menangis tanpa suara, apalagi saat Kuda mulai melaju, menjauhkan dirinya dari para wanita kesayangannya.
“Ayo, Buk! Kita tak punya waktu untuk sekadar meratapi nasib. Setiap detik sangat berharga demi melakukan yang kita bisa, meskipun bantuan ini ibaratnya cuma sebesar biji selasih.” Mia menarik lengan ibunya yang masih menatap kibasan ekor Kuda berlari kencang.
***
Empat puluh menit kemudian.
Laila sudah sampai di pinggiran kota kecil, dia tidak membawa Kudanya ke tempat parkir tempo dulu. Berjaga-jaga seandainya Sopyan ataupun anak buah Karsa mencari jejak Anto.
“Tunggulah di sini! Bila ada bahaya, Larilah masuk ke dalam perkebunan karet, lalu pulang ke rumah juragan Pram. Kau mengerti ‘kan, Jabrik?” Di elusnya surai indah yang selalu berhasil membiusnya.
Kuda bernama Jabrik itu seolah paham, mengangguk-angguk mengerti.
Kemudian Laila membuka ranselnya, memberikan topi berwarna hitam kepada Anto. “Pakai ini!”
Laila melompati parit berair, aliran irigasi. Dia tidak khawatir meninggalkan Jabrik sendirian – bila Kuda itu lapar tinggal makan rumput, dan ada air kala haus.
Dia dan Anto berjalan beriringan, menuju telepon umum. Meminta adiknya Mia menunggu sebentar.
Laila Ngatemi menghubungi abangnya. Meminta tolong untuk menjemput Anto, serta membawakan senter selam.
Sesudahnya ia dan Anto menunggu di taman kecil, seberang jalan telepon umum. Remaja itu menolak saat ditawari makan ataupun minum, rasanya tidak kuasa menelan sesuatu disaat tenggorokannya tercekat.
"Kak, maaf ya. Dulu aku sempat tak suka denganmu, sering ketus juga," ucapnya jelas, tidak malu mengakui sikap tidak sopan nya.
"Aku juga ingin minta tolong, tolong lindungi Kak Mia dan Ibuk," air matanya kembali luruh, dia menunduk dan menurunkan lagi topinya.
Laila menepuk punggung Anto. "Kalau mereka dalam bahaya, diriku juga. Jadi mana mungkin aku membiarkan sesuatu buruk menimpa kami – sementara aku masih ingin hidup seratus tahun lagi."
Anto terkekeh pelan. "Terima kasih, Kak."
.
.
Tiga jam lebih pun berlalu. Dua orang yang dulu menghampiri Laila, kini kembali datang.
Laila tidak bisa berlama-lama, dia harus bergerak cepat sebelum matahari terbenam. Saat Anto sudah berada di tangan yang tepat, wanita cantik itu melangkah cepat ke tempat di mana sang Kuda sudah menunggu, masih berdiri diposisi sama saat ditinggalkan tadi.
Kali ini Jabrik dituntut berlari lebih kencang, sedangkan Laila berpegangan erat pada tali kalang.
***
Ketika sudah tiba di bukit yang bawahnya sungai dekat rumah dinas, Laila turun dari kuda. "Pulanglah ke rumah Tuan mu! Tunggu aku disana!"
Sesudahnya Laila menuruni bukit beberapa waktu lalu pernah dia buat perosotan.
Mia keluar dari semak-semak, wajahnya sembab, tapi bibirnya menyunggingkan senyum tulus serta haru.
"Ayo!"
.
.
Bersambung.
mampus kauu