NovelToon NovelToon
ISTRI KE-101

ISTRI KE-101

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Balas Dendam / Romansa / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: GazBiya

Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teh Hijau tanpa gula

Morreti Tower lantai 65.

Lucas tersentak bangun di meja kerjanya. Dadanya naik turun cepat, kemeja putihnya basah oleh keringat dingin. Jemarinya bergetar ketika menyingkirkan berkas-berkas yang berserakan.

Sisa mimpi itu masih membekas, mimpi yang begitu nyata, begitu menyayat, membuat matanya panas dan ujungnya berair.

“Sss..” Bibirnya bergerak, nyaris mengumpat, menahan amarah bercampur pilu yang tiba-tiba menyerang.

Namun sebuah suara lembut menyeberang ke ruang kerjanya. “Morning…” sapa Rose, memajang senyum manis yang dipaksakan.

Lucas menoleh cepat. Rose berdiri di hadapannya, rambutnya tergerai, wajahnya masih setengah mengantuk, tapi tangannya membawa sebuah cangkir. Uap tipis mengepul dari permukaan cairan hangat itu.

“Teh hijau. Tanpa gula.” ucapnya meletakkan diatas meja, tepat di samping tangannya. Senyumnya kecil Kembali terlihat, nyaris canggung. “Pelayan bilang… kau suka teh hijau di pagi hari. Jadi, sebagai istri yang baik…” ia berhenti sejenak, menarik napas, “…aku akan membuatkan teh hijau untukmu setiap pagi mulai sekarang.”

Lucas terdiam. Hampir saja ia mengira ia masih terjebak dalam mimpi. Kata-kata itu lembut, menenangkan, begitu asing keluar dari bibir perempuan yang biasanya meledak-ledak, penuh perlawanan, penuh sindiran.

Kontras. Aneh. Tapi indah dengan caranya sendiri.

Lucas menatapnya lama. Ada sesuatu yang menggelitik dadanya, perasaan yang tidak semestinya muncul di saat seperti ini. Ia menahan tawa, bibirnya bergerak sedikit, tapi buru-buru ditekan. Ia tahu betul, kalau sampai ia tertawa, Rose pasti berubah jadi singa lagi.

Akhirnya, ia hanya mengangguk pelan. “Baiklah.”

Rose mengerling, wajahnya seperti sedang menunggu komentar tambahan, tapi ketika Lucas tidak menambahkan apa-apa, ia berbalik. Langkahnya pelan, keluar dari ruang kerja, meninggalkan aroma teh hijau dan jejak kehangatan yang aneh di ruangan itu.

Lucas menatap punggung itu hingga pintu menutup. Sesaat keheningan melingkupi ruang kerja, barulah ia terkekeh kecil. Getarannya berusaha ia tahan, tapi akhirnya pecah juga. “Teh hijau setiap pagi? Hah… benar-benar aneh, wanita itu.”

Namun, entah kenapa, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, mimpi buruk yang menghantamnya terasa sedikit lebih ringan.

Setelah beberapa tegukan teh hangat, mata Lucas tertuju pada ponsel yang lupa ia nyalakan deringnya setelah meeting semalam. Panggilan dari Hose mencapai Sembilan kali. Lucas ingin menelpok balik, namun ia tahu di Motessa benda ini dilarang, jadi ia akan menunggu hingga Hose Kembali menelponnya.

Disisi lain, di Motessa.

Hose berdiri terpaku di tanah berlumpur. Matanya menatap kosong ke arah para petugas yang sibuk menyingkirkan semak, menggali tanah, mengangkat karung-karung berisi sisa-sisa tubuh yang bahkan tak bisa lagi disebut utuh. Bau anyir bercampur tanah basah menyesakkan dada.

Ia menahan napas panjang, berusaha agar lututnya tidak goyah. Tapi jantungnya seperti diremas, disayat tipis-tipis. Lima istri tuannya. Dua sopir. Empat pengawal. Semua orang yang seharusnya ia lindungi, yang seharusnya pulang dalam keadaan hidup, kini bahkan tidak bisa dikenali lagi.

Polisi, dibantu warga Motessa, bergerak di antara pepohonan. Menyorot ke segala arah, mencari potongan apa pun yang bisa dijadikan bukti. Namun, Hose tahu, apa yang bisa mereka temukan? Tubuh-tubuh itu sudah tercerai-berai, hancur, tak menyisakan wajah, tak menyisakan identitas.

Di sampingnya, Dimitri berlutut. Wanita tua yang biasanya kuat dan tegas, kini menggigil seperti anak kecil yang kehilangan arah. Tangannya menutupi wajah, suaranya pecah-pecah di sela isakan.

“Ya Tuhan… mereka… mereka semua…,” bisiknya lirih, lalu kepalanya terhuyung. Air mata terus jatuh, membasahi tanah kotor.

Hose menutup mata sejenak, dadanya sesak. Ia tahu betul kenapa Dimitri begitu hancur. Dialah yang melayani para istri itu setiap hari, menyiapkan kebutuhan mereka, menjawab panggilan mereka, menjadi saksi tawa, cemburu, tangis, dan marah mereka. Kini, orang-orang itu lenyap, hanya menyisakan potongan tubuh yang tak sanggup dilihat mata.

Hose menghela napas berat. “Bangun, Dimitri…” suaranya parau, bergetar. “…kau harus kuat.”

Namun, kata-kata itu terasa hampa bahkan di telinganya sendiri. Bagaimana bisa meminta seseorang kuat, jika hatinya sendiri sedang dirajam? Bagaimana bisa bicara tentang ketegaran, jika kenyataan di hadapan begitu kejam?

Salah seorang polisi mendekat, wajahnya muram. Ia mengangkat sebuah kantong plastik bening berisi sesuatu yang tak lagi berbentuk. “Kami menemukannya di semak, Pak. Sepertinya ini bagian tubuh salah satu…” kalimat itu menggantung, ia tak sanggup melanjutkan.

Hose mengangguk kaku. Tenggorokannya kering. “Masukkan ke daftar. Catat semuanya. Jangan ada yang terlewat.”

Dimitri terisak lebih keras, tubuhnya terhuyung, hampir roboh. Hose buru-buru meraih bahunya, menahan dengan kedua tangan. Tubuh Dimitri bergetar, basah oleh tangisan.

Hose menggertakkan gigi. Hatinya hancur, tapi ia tahu satu hal, ia tidak boleh ikut roboh di sini. Jika ia jatuh, maka semua orang di Pallazo akan kehilangan tumpuan.

Ia menatap ke langit malam yang kelam, lalu berbisik lirih, lebih kepada dirinya sendiri. “Tuan Lucas harus tahu. Cepat atau lambat, tuan kita harus mendengar semuanya. Dan ketika saat itu tiba… aku tak bisa bayangkan apa yang akan terjadi.”

Sementara di Velmorra, langit pagi ini mendung, seolah ingin menyampaikan pesan kehilangan pada Lucas. Cangkir teh yang bahkan sudah dingin masih dipegang erat, dinikmati hingga tetes terakhir.

Lucas berdiri di balkon, menunggu panggilan dari Hose. Hatinya benar-benar tidak tenang. Namun yang muncul justru panggilan dari Sora, mengingatkan meeting pukul sepuluh nanti yang di lanjutkan acara pembukaan pabrik baru diwaktu jam makan siang.

Lucas ingin mengirim pesan, namun itu justru beresiko. Musuhnya bisa saja menyabosate jaringan, dan ini justru akan mejadi boomerang untuk semuanya.

Setelah melihat jam di lengannya, ia mulai bersiap. Ia berdiri di ruang tamu penthouse dengan kemeja putihnya yang belum seluruhnya terkancing, dasi masih tergantung asal di leher. Rambutnya sedikit acak-acakan, seperti ia baru saja keluar dari badai rapat dan tidak peduli lagi pada detail kecil semacam itu. Tetapi aura kekuasaan tetap menempel, menekan ruangan dengan wibawa yang tidak bisa dibantah.

“Rose, bersiap. Lima belas menit lagi kita turun.” Ucapannya tenang, nyaris malas, seolah kalimat itu bukan ajakan melainkan hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat.

“Tidak mau. Aku menunggu saja, disini.” Sahut Rose, sedikit melirik.

Rahang Lucas mengeras, “Tidak pernah ada perintah yang keluar dua kali dari mulutku,” ucapnya, sambil merapikan dasi.

Rose kesal, segera bangkit dan mendekat. “Ahh, aku tahu. Apa kau sedang ingin pamer?” sahutnya, kali ini benar-benar menatap Lucas membuatnya, salah tingkah.

Lucas terkekeh pelan, bukan tawa lebar, hanya nada rendah yang terdengar menohok. “Kalau aku ingin memamerkan sesuatu, tentu aku tidak akan memilih mu yang suka membantah.”

Rose tercekat, mulutnya ingin membalas, tapi kata-kata terhenti. Hanya pipinya yang kian memerah.

Lucas berjalan ke lemari, menarik sebuah gaun lain berwarna gelap, elegan namun sederhana. “Kau pakai ini. Warna dasiku sama. Kita sepasang.”

Rose berdiri di tempat, bibirnya mengerucut.

Lucas menyampirkan gaun itu ke punggung sofa, lalu menatapnya sambil merapikan dasinya asal-asalan. “Bagus, aku suka bentuk bibirmu kali ini… dari pada yang tadi pagi.”

Rose terdiam. Kata-kata itu menusuk, tapi anehnya membuatnya tak bisa melawan lagi. Ia mengambil gaun itu dengan kasar, lalu melengos menuju kamar.

“Jangan lihat!” katanya keras-keras sebelum menutup pintu.

Lucas hanya tersenyum samar, menyandarkan tubuh ke dinding. Matanya menatap pintu kamar yang baru saja dibanting, dan ia bergumam nyaris tak terdengar. “Keras kepala. Tapi pada akhirnya, tetap menurut.”

*

Bersambung!

1
tutiana
baguss Thor,,,lanjut
Tt & 1g : Author Gazbiya: Siapp akak🔥
total 1 replies
tutiana
luar biasa
Tt & 1g : Author Gazbiya: Terima kasih atas bintangnya❤️😭, sehat-sehat orang baik🫶🏻
total 1 replies
Harry
Aku sudah kehabisan kata-kata untuk memuji karya ini, sungguh luar biasa.
Tt & 1g : Author Gazbiya: Terimakasih 🥹🫶🏻 Sehat-sehat akak…
total 1 replies
AkiraMay_
Amanat lah thor buat cerita yang mendebarkan dan sangat menarik ini. Aku tunggu kelanjutannya ya!
Tt & 1g : Author Gazbiya: Asiappp akakk🔥
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!