Nayura, gadis SMA yang belum pernah mengenal cinta, tiba-tiba terikat janji pernikahan di usia yang penuh gejolak. Gavin juga remaja, sosok laki-laki dingin dan cuek di depan semua orang, namun menyimpan rasa yang tumbuh sejak pandangan pertama. Di balik senja yang merona, ada cinta yang tersembunyi sekaligus posesif—janji yang mengikat hati dan rasa yang sulit diungkapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadin Alina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30 : Lo Bikin Bahaya
Nayura menatap pantulan dirinya di depan cermin. Baju kaos berwarna putih itu tampak kebesaran di tubuhnya hingga menutupi paha. Celana training yang tadi sempat ia pakai, kini sudah terhempas ke ujung ranjang. Terlalu panjang baginya dan itu kurang nyaman.
“Kayak orang-orang sawah.” Gumam Nayura terkekeh, menilai penampilannya sendiri.
Ia melirik ke arah bawah, kini celana pendek ketat yang tertutupi oleh baju itu sebagai dalaman. Nggak papa sih, kan baju kaos itu cukup menutupi semuanya.
Ia tersenyum puas menatap diri di depan cermin lagi “Nah, gini lebih bagus.”
Nayura melangkah menuju keluar, perutnya terasa lapar sekali sejak tadi. Ia melihat Gavian yang rebahan dengan tangan menggenggam ponsel.
“Gue laper, nih! Lo ada makanan nggak?” tanya Nayura berdiri di ujung sofa.
Gavian mendongak dan…
Deg!
Ia terpaku melihat Nayura yang mengenakan baju kaos putih miliknya. Kaos yang longgar dan biasa saja tapi...terlihat beda saat Nayura memakainya. Ia diam menatapi Nayura. Kaos itu begitu menggoda di tubuh Nayura. Lembut dan jatuh pas di pertengahan paha. Jakunnya naik turun dengan hawa panas mulai merayapi tubuhnya.
“Gue yang jadi laper kalau Lo tampil begini..." batin Gavian frustasi.
“Hello…lo denger gue, kan?”Nayura melambaikan tangannya, membuyar lamunan tersebut.
Gavian berdehem kecil untuk menetralkan rasa gugupnya. Ia mengubah posisi menjadi duduk dengan mata masih mengarah pada Nayura.
“Kenapa celananya nggak di pakai?” bukannya menjawab pertanyaan Nayura ia malah balik bertanya.
Nayura berdecak, ia melipat kedua tangannya di bawah dada yang mana hal itu semakin membentuk lekuk tubuhnya. Gavian buru-buru mengalihkan pandangan. Mencoba memulihkan kejantanannya yang sempat terguncang.
“Celananya kepanjangan, gue jadi kayak orang-orangan sawah.”
“Terus lo lebih milih tampil begini di depan gue?!” suara hati Gavian. Tidak mungkin ia mengutarakannya secara terang-terangan. Bisa jatuh image badboy nya nanti.
Tidak mau berdebat lebih panjang yang mana hal tersebut akan semakin memancing sesuatu di dalam dirinya. Gavian memilih bangkit dan menuju pantry. Nayura mengikutinya, ia berharap cowok itu benar-benar memberikannya makanan.
Gavian membuka kulkas melihat persediaan makanan yang bisa ia olah. Namun sayang, hanya sebutir telur dan beberapa sosis yang ada. Ia membuka rak untuk melihat stok mie instan. Ya, biasanya ia selalu menyetok mie karna paling praktis.
Gavian berbalik badan melihat gadis yang mengenakan kaosnya itu berdiri tidak jauh darinya “Gue cuman punya mie. Lo mau?”
Nayura menganggukkan kepala cepat. Tidak masalah jika itu hanya sebungkus mie, yang terpenting ia bisa makan.
“Wait.” Ujar Gavian kemudian mulai memasak mie.
Sementara itu, Nayura memilih duduk di pantry. Dari belakang sini ia melihat punggung lebar Gavian—tampak sexy dengan balutan kaos hitam itu.
“Ck, punggungnya aja bisa bikin gue deg-degan gini!” batin Nayura.
Nayura tidak mengerti dengan apa yang tengah ia rasakan beberapa hari ini—lebih tepatnya setelah menikah dengan cowok misterius itu. Saat di dekat Gavian jantungnya sering berdebar bahkan—tanpa sadar ia memuji visual Gavian yang memang tampan.
Nayura selalu berusaha untuk kabur dari pandangan cowok itu. Namun, ketika Gavian pergi dalam waktu yang lama membuatnya merasa kosong. Aneh? Ya, perasaan Nayura berhasil di aduk-aduk bagai cendol oleh cowok yang belum sepenuhnya ia kenal.
Gavian sibuk dengan spatula di tangannya. Ia merebus mie sekaligus menggoreng sosis dan telur. Tidak butuh waktu lama, mie dengan topping sosis dan telur itu sudah tersaji dengan cantik di atas piring.
Gavian membawanya—menaruh piring itu di hadapan Nayura. “Nih!”
Mata Nayura berbinar melihat sepiring mie yang tampak sederhana namun mampu mengunggah seleranya. “Terimakasih…” ucapanya tersenyum.
Tangannya segera mengambil sesendok mie dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Karna gue laper jadi ini enak.” Kata Nayura membuat Gavian berdecih gemas.
“Bilang aja enak pake lapar segala.”
Nayura tidak menyahut, ia menyantap mie itu dengan lahap. Hingga mie tersisa seperempat ia seakan teringat sesuatu.
“Lo nggak makan?” tanyanya menatap Gavian yang menompang dagu—memperhatikannya.
Gavian menggeleng “Lo aja yang makan.”
“Aaa…”
Tiba-tiba Nayura menyodorkan satu sendok mie di depan mulut Gavian. Gavian menatap sendok itu sejenak.
“Buka mulut lo.” Pinta Nayura dan detik itu juga Gavian membuka mulutnya.
“Enak kan?” Nayura tersenyum hangat.
Hangatnya senyuman itu ikut mengalir di tubuh Gavian. Untuk pertama kali selain Ruri, ia di suapkan oleh seorang gadis. Ada rasa bahagia di sudut hatinya dan tanpa sadar ia tersenyum tipis.
“Udah, lo aja yang makan.” Kata Gavian saat Nayura hendak menyuapinya kembali.
“Beneran?” tanyanya memastikan dan Gavian balas mengangguk.
“Ya udah, lo yang nyuruh, ya! Jangan bilang ntar gue nggak mau berbagi.”
Meskipun Nayura dijodohkan tetapi ia tetap ingin memperhatikan Gavian layaknya seorang suami. Jangan sampai, ia di cap sebagai istri durhaka karena menelatarkan makan suaminya.
Big no!
Akhirnya, sepiring mie buatan Gavian itu sudah habis. Nayura meneguk air yang juga di sediakan oleh Gavian. Meskipun Gavian terkesan dingin namun Nayura merasa slalu hangat oleh perhatiannya.
“Oh, ya! Semalam lo kemana?” tanya Nayura, teringat cowok itu tidak ada di kamarnya pagi tadi. Ia menatap Gavian yang tengah bersandar di kursi pantry.
Deg!
Pupil Gavian sedikit melebar namun buru-buru ia menetralkan ekspresinya. Nafasnya terasa berat lalu “Ada urusan.” Jawabnya.
Lagi, alasan yang terdengar begitu klasik bagi Nayura. Ia menunduk sejenak, lalu menatap Gavian lama, seolah tengah menilai cowok tersebut.
“Ada yang lo sembunyikan?” tanyanya pelan, tatapannya lebih lembut dan menusuk. Matanya mulai sendu menatap luka di tangan Gavian.
Jantung Gavian mencelos saat melihat tatapan itu di wajah perempuan yang—mungkin ia cintai. Tatapan tulus dan...tatapan terluka karena diabaikan.
Ia merasa bersalah namun, ia juga tidak bisa berkata jujur untuk saat ini.
“Bukan apa-apa.” Ujar Gavian sambil mengusap pucuk kepala Nayura, lalu berlalu pergi dari hadapan gadis itu.
Sungguh, Gavian tidak kuat melihat tatapan itu. Lebih baik ia pergi untuk saat ini. Ia tidak ingin membuat gadis itu semakin terluka.
Gavian menghilang di balik pintu bercat putih itu. Gavian seperti membangun tembok yang tinggi diantara mereka. Tembok yang begitu sulit untuk Nayura runtuhkan. Nayura sadar jika ia tidak hanya sekedar penasaran...tetapi mulai muncul rasa takut akan terluka lebih dalam.
...----------------...
mampir di ceritaku juga ya ..
makasih 😊
always always bagus!!
hebat!!! Udah cocok itu open comision
kondangan kita! Semur daging ada gak?