Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 22.
Makin dipikirkan, semakin Malik kesal. Bisa-bisanya Anindya berniat pura-pura keguguran. Keputusannya diambil tanpa pikir panjang. Bukan hanya tidak memikirkan akan sesedih apa mama dan papanya, gadis itu juga seolah tidak takut kena karma. Malik sampai tidak habis pikir. Kenapa otak cerdas Anindya hanya dipenuhi hal-hal nekat dan berisiko? Padahal kalau mau dimanfaatkan dengan baik, otak cerdasnya itu mungkin bisa berkontribusi banyak pada kemajuan peradaban dunia.
"Malik..." Lengan Malik ditoel-toel manja oleh Oma.
Malik tidak menoleh sama sekali. Tangannya masih menyilang di depan dada. Tatapannya lurus menembus tembok ruang keluarga.
"Oma minta maaf."
Masih tak Malik gubris. Omanya ini juga. Sudah tahu Malik pernah begitu sedih kehilangan calon adik bayinya. Kenapa pula setega itu hendak memainkan peran bersama Anindya. Tidakkah Oma pikir sandiwara semacam itu akan membangkitkan kembali kenangan buruk di kepala Malik?
Sampai detik ini saja, Malik masih suka bermimpi bertemu Mama dan calon adik bayinya. Dia masih suka bermimpi tentang hari di mana Mama dilarikan ke rumah sakit karena jatuh dari kamar mandi. Berujung dinyatakan keguguran di usia kandungan lima bulan. Bahkan di dalam mimpi pun, Malik masih bisa melihat dengan jelas berapa Mama dan Papa sedih kehilangan anak yang mereka tunggu belasan tahun kehadirannya. Oma juga sama sedihnya. Tapi kenapa sekarang malah mau-mauan saja diajak sekongkol oleh Anindya?
"Malik boleh marah-marah sama Oma. Yuk, marah-marah aja yuk. Jangan diem begini. Oma takut." Sudah bukan ditoel lagi, lengan Malik kini ditarik-tarik.
Malik mendesah keras. Andai tega, pasti sudah dia pelototi neneknya ini sampai bola matanya nyaris lepas. Sayangnya tidak bisa. Jadi tatapan Malik kembali melunak ketika bertemu tatap dengan Oma.
"Maafin Oma...." kata Oma sambil wajahnya memelas.
Malik tidak tahu harus bicara apa. Rangkaian amarah sudah rapi di kepalanya. Setan di kanan-kiri sudah ribut membujuk supaya dia meledak. Supaya dia membentak-bentak Oma dan mengeluarkan seribu satu kata makian tanpa peduli apa Oma akan terluka. Dia bisa membela diri dengan dalih bahwa Oma telah menyakitinya lebih dulu. Tak sulit untuk playing victim demi membuat dirinya tidak merasa bersalah setelah marah-marah nanti.
Tapi, apalah daya. Malik tidak bisa. Semuanya tidak berhasil keluar dan hanya mengendap di kepala. Satu hal yang begitu menyiksa karena lagi-lagi dia harus menanggungnya sendirian.
"Malik...." Sekarang Oma malah mengguncangkan lengannya.
Malik menyerah. Dia akan memberikan satu ultimatum telak sebagai gantinya. Sebagai bentuk pencegahan agar tidak ada lagi drama-drama memusingkan yang harus Malik tanggung akibatnya di masa depan.
"Dengerin Malik," mulainya. Oma mengangguk patuh seperti bocah habis diiming-imingi permen cokelat. "Mulai sekarang, Oma jangan terlibat apa pun lagi sama Anindya."
"Kok begitu?"
"Nurut aja." Malik mempertegas melalui tatapan mata. "Mulai detik ini, Anindya sepenuhnya jadi tanggung jawab Malik. Oma diem aja, Malik yang urus semuanya."
"Semuanya?"
Malik mengangguk. "Semuanya. Semua hal tentang Anindya, termasuk drama hamilnya itu."
Oma malah tampak semakin murung. "Malik marah banget sama Oma, ya? Oma minta maaf, Sayang."
"Malik nggak marah," potong Malik. Ditatapnya Oma lekat-lekat. "Malik cuma khawatir sama Oma. Nggak mau Oma terlibat sesuatu yang bisa menyusahkan Oma nantinya. Mengerti?"
Mulut Oma diam, tapi kepalanya naik-turun dengan gerakan lambat. Malik menghela napas pendek, kemudian bangkit.
"Sekarang Oma mandi, terus dandan yang cantik."
"Kenapa?" tanya Oma penasaran. Wajahnya masih sedikit murung.
"Malik mau ajak Oma makan di luar. Sekalian cari udara segar, biar pikiran Malik jernih lagi dan Malik nggak berubah jadi setan."
Malik kemudian pergi meninggalkan Oma di ruang keluarga, masuk ke dalam kamarnya. Selain Oma, dia juga harus mandi. Pakai air dingin. Supaya api streak di kepalanya segera padam.
...🌲🌲🌲🌲🌲...
Sekecil apa pun perubahan mood anggota keluarga di rumah ini, pasti akan ditangkap dengan baik oleh Caca. Jadi Anindya sudah tidak heran lagi ketika anjing itu langsung mengekor sejak ia pulang dari rumah Malik.
Seakan mengerti bahwa dirinya sedang butuh ditemani, Caca tidak beranjak dari tempatnya selama dua jam terakhir. Makhluk berbulu itu duduk anteng di sisi ranjang Anindya. Posturnya tegap seolah siaga. Matanya menatap Anindya intens seperti sedang mengajak berbicara. Lidahnya menjulur keluar, tapi hampir tak terdengar suara napas ngos-ngosan selayak anjing pada umumnya.
"Ca." Anindya susah payah bangun dari posisi rebah. Dia duduk bersila di ranjang, dengan selimut membungkus seluruh tubuhnya.
Caca menggonggong kecil sebagai ganti kata iya.
"Mama pasti kecewa banget punya anak kayak aku, ya?"
Bukan gonggonan, Caca malah memberikan gestur kepala yang seakan menolak asumsi Anindya. Tapi gara-gara itu bibir Anindya malah maju tiga senti dan kembali ingin menangis.
Suasana semakin membiru saat Mama datang membawa nampan berisi segelas susu hamil dan tablet vitamin. Begitu mata Anindya menangkap eksistensi benda-benda yang selalu rutin Mama bawakan ke kamarnya setiap malam, dada Anindya terasa seperti diremas-remas.
"Loh, kok makanannya nggak dihabisin? Nggak suka?" tanya Mama begitu melihat nampan lain masih teronggok di atas meja. Di atasnya tersisa seporsi nasi goreng dengan telur mata sapi yang tampak hanya dicomot sedikit. Telur mata sapinya pun masih utuh.
Anindya hanya menggeleng. Sekarang ini sulit untuknya bersuara. Sebab tenggorokannya sakit sekali.
"Mau Mama bikinin makanan lain? Roti isi daging mau?"
Anindya menggeleng lagi. Ketika Mama duduk perlahan di sampingnya, Anindya malah memeluknya erat dan tangis yang ditahan langsung pecah.
Mama yang tidak tahu apa-apa jadi bingung. Ia pikir Anindya sedang modd swing lagi karena hormon hamilnya yang masih tidak stabil. Maka alih-alih bertanya ada apa atau kenapa, Mama lebih memilih membalas pelukan Anindya dan mengusap-usap punggungnya lembut. Hal itu tanpa Mama tahu malah membuat tangis Anindya semakin pecah.
"Maafin Anin, Ma." Suaranya serak dan tersendat.
Mama mengangguk kecil. "Mama nggak tahu kenapa tiba-tiba kamu minta maaf, tapi Mama maafin. Mama akan selalu maafin apa pun kesalahan kamu, Anin."
Harusnya jangan gitu... Anindya merana sendiri mendengar jawaban bijak Mama.
Sudah hampir keluar dari mulutnya lebih banyak kalimat. Nyaris pula mengaku soal kehamilan palsunya dan rencana-rencana lain yang hampir ia buat bersama Oma.
Namun, suara Malik kembali terngiang. Perintahnya agar Anindya diam membuat gadis itu akhirnya mengurungkan niat. Yang bisa dia lakukan hanyalah memeluk Mama semakin erat dan terus-menerus meminta maaf.
Hari itu Caca menjadi saksi kebingungan Mama dan tangis Anindya yang lama sekali tidak kunjung reda.
Bersambung....