NovelToon NovelToon
CINTA ANTARA DUA AGAMA

CINTA ANTARA DUA AGAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: MUTMAINNAH Innah

Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

35

Waktu terus berganti, tetapi hatiku masih tertinggal di masa itu. Sepertinya hati ini memang tidak bisa dibuka lagi. Umi dan abi kini sudah kapok menjodohkanku. Entah sudah berapa laki-laki yang disodorkan mereka padaku, satu pun tak bisa kupilih karena memang itulah permintaan hati.

Dua tahun sudah berjalan tanpa ada perkembangan dalam pencarian jodoh.

Harapanku untuk bertemu lagi dengan Jasson juga sudah sirna. Tiga novelku juga sudah terbit selama dua tahun ini. Kini aku fokus bekerja, berkarir, beribadah, dan mengejar pahala yang lain.

Pak Rahman sudah menikah setahun yang lalu. Kini istrinya sedang hamil delapan bulan. Aku dengan Pak Rahman menjalani setiap hariku di sekolah itu dengan propesional seperti dulu, sama ketika kami pertama kali bertemu sebagai guru dan kepala sekolah dulu.

Hari ini keluarga besar pesantren ini berduka. Tak ada vang menvangka. Pak Yahva Hari ini keluarga besar pesantren ini berduka. Tak ada yang menyangka, Pak Yahya yang kemaren masih baik-baik saja berpulang tadi pagi. Meninggal di hari baik dan dalam keadaan baik. Dalam keadaan bersyujud sedang memimpin jamaah salat subuh di masjid di dekat kediamannya.

Aku sudah berwudu untuk ikut

mensalatkan jenazah beliau. Umi dan abi juga akan hadir sebentar lagi. Seluruh santri sudah siap menunggu jenazah yang akan disalatkan di lapangan sekolah ini. Pesantren yang didirikan Pak Rahman dengan uangnya sendiri. Yang di gratiskan bagi anak yatim dan orang miskin. Hatinya sungguh mulia. Banyak sekali kebaikan yang dilakukan semasa hidupnya. Semoga amal ibadahnya diterima di sisiNya.

Serine ambulans sudah menggema, menjadi pusat perhatian bagi seluruh santri, guru, dan masyarakat yang sudah hadir di sini. Seketika sekolah ini berubah jadi lautan manusia. Banyaknya orang yangbetapa luas dan dicintainya beliau semasa hidupnya.

Aku berjalan cepat ke arah ambulans. Di belakang ambulance itu ada mobil Pak Rahman. Terlihat Pak Rahman dengan istrinya yang sedang hamil besar keluar dari mobil itu. Di susul oleh Aisyah dan beberapa orang yang tidak kukenal.

Aisyah turun dengan langkah gontai.

Tentu dia sangat terpukul dengan kepergian orang yang sangat berarti dalam hidupnya itu.

Aku segera menemuinya, saat pandangan kami bertemu dia langsung memelukku.

"Abi sudah nggak ada, Nay," tangisnya di telingaku.

Aku turut larut dalam suasana sedih itu.

Tangisku juga tumpah dipundaknya.

"Syurga merindukan beliau Aisyah," ucapku.

Dia terus menangis. Jenazah Pak Yahya kini sudah digotong ke dekat kantor yang menjadi arah kiblat. Pak Rahman juga ikut mengangkat keranda dan berada di bagian ingin ikut mensalatkan jenazahnya

memperlihatkan

Paling depan. Kulihat matanya sembab dengan wajah memerah. Beruntung Pak Rahman sudah menikah. Paling tidak, Pak Yahya sudah menyaksikan salah satu anaknya mengahiri masa lajang.

Tiba-tiba aku ingat dengan umi dan abi yang juga menginginkanku menikah bahkan sudah beberapa tahun yang lalu. Sekarang sudah hampir 27 umurku. Bagaimana jika salah satu dari orang tuaku juga tidak berumur panjang. Ya Allah, aku tak sanggup membayangkannya. Aku berjanji, jika aku dijodohkan lagi maka akan kuterima daripada aku harus menyesal di akhir nanti.

Salat dimulai. Isakan Aisyah masih terdengar hingga salat berakhir. Setelah salat, aku terus bergandengan tangan dengannya menuju pemakaman. Dia memintaku untuk ikut dengan mobilnya bersama dengan Pak Rahman dan istrinya, serta beberapa orang asing yang tadi datang bersama mereka.

"Entah bagaimana caraku melalui hariku tanpa abi," tangisnya lagi ketika sudah berada di mobi. Aku terus mengusap punggungnya sekedar memberi ketenangan padanya. "Yang kuat, ya Aisyah, insha Allah Pak Yahya sudah bahagia di tempatnya yang baru. Kita semua juga akan ke sana, hanya tinggal menunggu waktu saja," ucapku mencoba menghiburnya. Walaupun jika kejadian ini menimpaku mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama.

"Bahkan Abi nggak sempat melihatku menikah," tangisnya lagi.

Hal yang tadi juga melintas di benakku.

Kami semua berusaha menenagkannya hingga sampai di pemakaman. Sama seperti lapangan sekolah tadi, pemakaman juga seperti lautan manusia. Beberapa awak media pun terlihat menunggu di sana.

Pemakaman berlangsung haru, lebih-lebih ketika Pak Rahman membacakan perminta maafan untuk Abi tercintanya.

Tangis Aisyah semakin menjadi ketika menaburkan bunga. Aku mundur beberapa langkah ketika Pak Rahman datang untuk memeluk Aisyah. Sementara istrinya tetap di posısı awal di seberang makam.

Klaim

Tangisan santri pun tak terbendung kala makam sudah tertutup sempurna dan kami semua harus meninggalkan orang nomor satu di yayasan itu.

***

Pasca meninggalnya Pak Yahya aku semakin sering merenung tentang jodoh. Keadaan Aisyah sekarang adalah hal yang mungkin bisa terjadi juga padaku. Seingatku sebelum pernikahan Pak Rahman waktu itu, aisyah juga pernah ditawari abinya untuk dijodohkan, hanya saja Aisyah menolak. Dan kini pasti menjadi penyesalan paling besar dalam hidupnya.

Belajar dari situ, aku tak ingin itu semua terjadi. Hari ini, aku akan bicarakan semuanya pada umi dan abi yang sudah terlalu lama berharap. Bahkan mereka berdua sudah tidak pernah membahas ini lagi seakan sudah pasrah dengan apapun yang akan terjadi padaku.

"Mi," panggilku ketika umi sedang memasak sarapan di dapur. Eh anak umi, sudah salat?" tanyanya.

"Sudah, Mi. Nayla bisa bantu apa?"

tanyaku.

"Kamu potong kentang sama wortel, ya" pinta umi.

"Baik, Mi." Aku segera melakukan tugasku.

"Mm-, Mi, ada yang mau Nay

sampaikan," ucapku memulai tujuanku.

"Apa, Nak? Sampaikan saja," sahut umi sambil meracik bumbu.

"Begini, Nayla terus kepikiran sejak Pak Yahya berpulang. Mengingat Aisyah seumuran dengan Nayla, dan kini salah satu orang tuanya sudah tiada sebelum dia sempat menikah. Nayla takut itu juga menimpa Nayla, Mi. Karena kita nggak tahu kapan ajal menjemput, entah Nayla, Umi atau abi duluan yang pergi menghadapnya," lirihku dengan tatapan yang sendu.

"Nay, kematian itu rahasia Allah, sama halnya dengan jodoh. Umi pun pernah

hernikir hal yang sama namun kembali lagi berpikir hal yang sama, namun kembali lagi pada yang tadi, jika belum bertemu jodoh ya bagaimana. Semoga Aisyah menemukan jodohnya, begitu pun dengan kamu. Usia kalian saat ini sudah sangat matang." Umi menanggapinya dengan bijak.

"Mi, sekarang Nay siap dijodohkan. Nay nggak ingin berlama-lama lagi," ucapku lagi.

"Nayla kesayangan umi, serius apa yang kamu katakan itu, Nak?" tanyanya lembut.

Aku mengangguk pelan. Kali ini benar-benar aku pasrah.

"Tidak harus umi dan abi yang mencarikanmu jodoh. Jika kamu melihat ada seorang yang mungkin bisa jadi suamimu, katakan pada abi biar abi yang bicara dengan orangnya," ucap umi bersemangat.

"Jika umi mengatakan seperti itu, sudah pasti aku ingin di nikahkan dengan Jasson, Mi. Tetapi kan percuma, Mi. Sudah nggak ada restu dari abi 'kan?" tanyaku.

Umi tersenyum sambil meletakkan pisau.

Sepertinya umi ingin bicara lebih serius denganku. Umi lalu memegangi kedua bahuku.

"Sayang, jika kamu masih menginginkannya, umi akan bicara pada abi. Setelah beberapa tahun berlalu mungkin dia sudah mempelajari banyak hal tentang agama Islam."

Kalimat umi seperti mimpi bagiku.

Kucoba mencubit tanganku berkali-kali dan kurasakan sakit setiap cubitannya.

"Nayla nggak mimpi mi? Serius, Mi?"

tanyaku sambil melompat tingggi setelah umi melepaskan bahuku.

"Iya, Nak. Iya!" tegas umi sambil tersenyum melihat tingkahku.

"Sekarang juga umi akan bicara pada abi. Kamu lanjutkan membuat supnya, ya. Umi ke kamar dulu," pamitnya.

"Iya, Mi. Iya!" Semangatku kembali.

Aku melanjutkan memasak benar-benar dengan gembira. Jika memang ada restu dari umi dan abi, ke ujung dunia pun akan kucari sosok yang pernah menjadi pujaan hatiku itu. Karena aku hari ini sangat bahagia, kubuat bunga dari tomat dan cabe sebagai hiasan sarapan pagi ini. Kutata begitu cantik dengan daun seledri di sekitar bunganya.

Kusajikan sambil bersenandung di meja makan.

Setelah semua terhidang dengan nasi dan peralatan makan. Aku memanggil orang paling spesial dalam hidupku itu.

"Umii, Abii, sarapannya sudah siap," sorakku.

Bismillah, semoga rayuan umi ke abi kali ini membuahkan hasil. Usai mengucapkan doa itu, umi dan abi langsung keluar dari kamar dan duduk di meja makan.

"Wah, berasa sarapan di restoran ya, Mi," puji abi.

"Anggap saja begitu, Bi. Tetapi Abi harus membayarnya dengan berita gembira untuk Nayla," tagihku.

Abi dan umi serentak tertawa lalu mengambil sup bergantian. Gimana, Mi? Kata abi?" desakku karena benar-benar sudah nggak sabar lagi.

"Tanya abimu," sahut umi senyum-senyum.

Senyuman umi mengisyaratkan suatu hal yang baik. "Gimana, Bi?" Kini kulontarkan pertanyaan itu pada abi.

"Apanya?" tanya abi bercanda.

"Iiih, Abiiii," rengekku.

"Melihat sejauh ini kamu nggak pernah mau lagi dijodohkan setelah gagal taaruf dengan Rahman. Maka, sekarang abi serahkan semuanya padamu," ucap abi.

Ingin rasanya aku melompat sekali lagi.

"Abii, benarkah? Aku boleh mencari Jasson?" tanyaku kegirangan.

"Iya, tepapi dengan syarat, dia sudah beragama islam dan sudah mendalaminya." Raut wajah abi berubah serius ketika mengatakan itu.

Iya, Bi. Iya," sahutku lalu berlari memeluknya.

Mupung masih pagi, aku akan mencari jasson hari ini juga!

"Iya, Bi. Iya," sahutku lalu berlari

1
Mugiya
mampir
Nha: oke kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!