Di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus Universitas Citra, Vano, seorang mahasiswa hukum yang cerdas dan karismatik, ditemukan tewas di ruang sidang saat persidangan penting berlangsung. Kematian misteriusnya mengguncang seluruh fakultas, terutama bagi sahabatnya, Clara, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang diam-diam menyimpan perasaan pada Vano.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fadhisa A Ghaista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siluet
Andra dan Balqis hanya bisa menatap dengan napas tertahan saat darah terus mengalir dari pergelangan tangan Kak Zahira.
"Kak, jangan tutup mata!" Andra mencoba menekan luka itu lebih keras, tapi tubuh Kak Zahira semakin lemas.
Dengan napas tersengal, Kak Zahira berbisik, "Itu… Ayah kandung Vano… rektorat… dan… anak yang disembunyikan…"
Balqis menegang. "Apa maksud Kakak?"
Tangan Kak Zahira gemetar, dia mencengkeram lengan jaket Andra dengan sisa tenaganya. "Vano… menemukan sesuatu. Saat dia magang… di perusahaan itu…"
Andra menelan ludah, hatinya berpacu lebih cepat. "Perusahaan apa? Anak siapa yang disembunyikan?"
Kak Zahira mencoba berbicara, tapi hanya suara lirih yang keluar. Dengan sisa tenaganya, dia berbisik pelan di telinga Andra, "Buka folder terakhir… di flashdisk itu…"
Lalu, tubuhnya melemas di pelukan Andra. Napasnya terhenti.
Balqis menutup mulutnya, shock. "Kak Zahira? Kak?!"
Andra merasakan dada Kak Zahira tak lagi bergerak. Dia mengepalkan tangannya dengan rahang mengatup kuat. "Sial!"
Satu lagi saksi yang tahu kebenaran, pergi.
Tapi sebelum kematiannya, Kak Zahira meninggalkan petunjuk besar: Vano menemukan anak yang disembunyikan rektorat saat magang di perusahaan itu.
Dan sekarang, hanya satu cara untuk mengungkap semuanya—membuka folder terakhir di flashdisk Vano.
_______
Balqis menggigit bibirnya, matanya membelalak saat melihat siluet seseorang di balik rak arsip.
Siluet itu berdiri diam di sana, mengawasi mereka. Nafas Balqis tercekat. Itu bukan sekadar perasaan. Ada seseorang di ruangan ini.
“Andra… kita nggak sendirian.”
Suara Balqis nyaris tak terdengar, tapi Andra langsung menoleh ke arah yang ditunjuknya. Mata Andra menyipit, mencoba menembus kegelapan di antara rak-rak penuh dokumen tua.
____
Keesokan paginya, kampus gempar.
Balqis berjalan melewati koridor dengan perasaan tak menentu. Mahasiswa-mahasiswa berbisik, beberapa menatapnya dengan tatapan aneh, bahkan ada yang menyingkir saat dia lewat.
Ketika dia akhirnya sampai di depan mading utama, jantungnya berhenti berdetak sejenak.
"BALQIS, PENYEBAB BUNUH DIRI KAK ZAHIRA!"
Judul besar itu terpampang di seluruh mading kampus, lengkap dengan foto dirinya—dan siluet seseorang di belakangnya.
Balqis membelalakkan mata. Itu foto dirinya di ruang arsip semalam!
"Apa-apaan ini?!"
Andra tiba-tiba muncul di sampingnya, wajahnya tegang. Dia menatap tajam setiap kata yang tertulis di kertas itu.
"Siapa yang nyebarin ini?" suara Andra penuh kemarahan.
Tapi Balqis lebih fokus pada gambar yang terpampang di sana. Dia memang ada di foto itu, tapi siluet lelaki yang ada di belakangnya… siapa?
Orang-orang mulai berkerumun, suara mereka berbisik-bisik.
"Pasti dia yang buat Kak Zahira depresi."
"Katanya Kak Zahira tertekan karena Balqis?"
"Gila, ini kampus atau tempat pembunuhan?"
"Coba lihat, kenapa cuma Balqis yang kelihatan jelas? Yang di belakangnya siapa?"
Balqis mengepalkan tangannya. Ini semua salah! Kenapa hanya dia yang disorot?
Andra juga ada di ruangan itu. Tapi dalam foto ini, Andra tidak terlihat jelas, hanya dirinya yang menjadi fokus berita.
Seseorang sengaja ingin menyalahkan Balqis.
Andra menoleh padanya, matanya penuh kecemasan. "Kita harus cari tahu siapa yang motret ini dan siapa yang sebarin berita ini. Ini jelas bukan kebetulan."
Balqis merasakan tenggorokannya mengering. Kepalanya mendadak pusing karena tekanan yang begitu besar.
Namun sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, tiba-tiba seorang mahasiswa laki-laki dari UKM Jurnalistik datang dengan ekspresi tegang.
"Balqis, kamu dipanggil ke rektorat. Sekarang."
Namun sebelum Andra bisa melihat dengan jelas, siluet itu bergerak.
Bukan berjalan. Berlari.
Secepat kilat, sosok itu melesat di antara rak-rak dengan kecepatan yang hampir tidak masuk akal. Langkahnya begitu ringan, nyaris tak bersuara, seperti bayangan yang menyelinap di tengah malam.
“Sial!” Andra langsung berdiri, hendak mengejar, tapi Balqis menahan lengannya.
“Jangan! Kita nggak tahu siapa dia.”
Andra menggertakkan giginya, matanya masih menatap ke lorong sempit tempat sosok itu menghilang. Jantungnya berdegup keras. Apakah itu hanya seseorang yang kebetulan ada di sini? Atau… seseorang yang tahu terlalu banyak tentang mereka?
Atau lebih buruk lagi, seseorang yang tidak ingin mereka menemukan kebenaran?
Balqis masih menggenggam lengan Andra erat. Tangannya dingin. “Aku nggak suka ini, Andra…” suaranya bergetar. “Kenapa dia hanya mengawasi? Kenapa nggak langsung menyerang atau… melakukan sesuatu?”
Andra menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Mungkin dia cuma memperingatkan kita.”
Balqis menatapnya. “Atau mengancam.”
Ruangan arsip terasa semakin sunyi. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Bau kertas tua dan debu memenuhi udara, tapi kini ada sesuatu yang lebih menusuk—rasa waspada.
Andra akhirnya mengambil langkah mundur. “Kita harus pergi dari sini.”
Balqis langsung mengangguk. Mereka berdua berjalan keluar dari ruang arsip dengan langkah cepat, seakan takut jika mereka diam terlalu lama, bayangan itu akan muncul lagi.
Dan saat mereka keluar ke lorong kampus yang gelap, Balqis bersumpah dia masih bisa merasakan sepasang mata yang terus mengawasi mereka.
______
Balqis dan Andra berjalan dengan langkah berat menuju ruangan rektorat. Di sepanjang lorong, tatapan-tatapan penuh tuduhan terus mengikuti mereka. Seolah setiap orang di kampus ini telah menjatuhkan vonis tanpa memberi kesempatan untuk menjelaskan.
Ketika mereka masuk ke dalam ruangan besar itu, suasana tegang langsung menyergap mereka.
Di sana, duduk berjajar para dewan kampus—dosen, staf, serta perwakilan BEM. Namun, tak satu pun dari mereka terlihat memihak Balqis. Bahkan beberapa orang yang biasanya netral kali ini memilih diam dan menunduk.
Di ujung ruangan, duduk seorang pria yang baru pertama kali Andra lihat dari dekat.
Rektor.
Darahnya seolah membeku. Ini pertama kalinya dia bertatap muka langsung dengan pimpinan tertinggi kampus mereka. Dan dengan jelas, pria itu memiliki fitur wajah yang mirip dengan Vano.
Rahang tegas, tatapan tajam, dan sorot mata yang terasa familiar.
Tapi sebelum Andra bisa mencerna lebih jauh, tatapannya teralihkan pada sosok wanita yang duduk di kursi perwakilan BEM.
Wanita itu mengenakan baju PDH BEM kampus, tetapi anehnya, Andra tidak pernah melihatnya sebelumnya.
Siapa dia?
Dari posisi duduknya, jelas dia bukan anggota biasa. Mungkinkah dia pengurus inti BEM yang selama ini jarang muncul?
Andra melirik Balqis, yang juga tampak bingung melihat kehadiran wanita itu.
Ketua BEM akhirnya membuka suara. "Balqis, kamu tahu kenapa kami memanggilmu ke sini, bukan?"
Balqis menatap tajam ke arah mereka. "Saya tidak bersalah. Saya tidak menyebabkan kematian Kak Zahira."
"Benarkah?" Kali ini suara yang terdengar berasal dari sosok wanita dengan PDH itu. Suaranya dingin dan penuh tekanan. "Lalu bagaimana dengan fakta bahwa kamu berada di tempat kejadian sebelum Kak Zahira mengakhiri hidupnya?"
Balqis tersentak. "Saya—Saya tidak melakukan apa-apa! Andra ada di sana bersama saya!"
Mendengar namanya disebut, Andra maju selangkah. "Apa ini sidang formal atau fitnah terang-terangan? Kenapa hanya Balqis yang disorot?"
Sosok wanita itu menatap Andra. Kali ini, matanya berkilat penuh sesuatu yang sulit diartikan.
Rektor, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.
"Kami hanya ingin memastikan kebenaran."
Nada suaranya terdengar netral, tapi Andra tidak bisa mengabaikan sorot matanya.
Matanya yang mirip Vano.
Atau lebih tepatnya, mata seorang ayah yang kehilangan anaknya.
_____
Balqis mengepalkan tangannya, menahan gejolak dalam dadanya. Wanita dengan PDH BEM itu menatapnya tajam sebelum berbicara dengan nada tenang, tetapi menusuk.
"Entahlah… kenapa UKM Jurnalistik hanya memperlihatkan wajahmu di koran berita? Dan kenapa tidak ada Andra di sana?"
Ruangan langsung sunyi.
Balqis melirik Andra dengan cepat, berharap menemukan jawaban di wajahnya, tetapi pemuda itu hanya diam dengan ekspresi penuh tanya.
"Aku juga ingin tahu kenapa," suara Balqis akhirnya keluar, meskipun sedikit bergetar. "Padahal Andra ada di sana bersamaku saat Kak Zahira…."
Dia tak sanggup melanjutkan.
Wanita itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat tangan di depan dada. "Jadi kamu menuduh bahwa UKM Jurnalistik memiliki motif tertentu untuk mengaburkan keterlibatan Andra?"
Balqis terdiam. Itu bukan maksudnya, tapi… kenapa hanya dia yang dijadikan sasaran?
Andra akhirnya angkat bicara, suaranya tegas, "Aku tidak tahu siapa yang menyusun berita itu, tapi jelas ada sesuatu yang tidak beres. Sejak awal, kasus ini terasa seperti skenario yang sengaja diarahkan."
Ketua BEM yang duduk di sisi ruangan akhirnya membuka suara. "Kami hanya ingin memahami situasi, Andra. Tidak ada yang berniat menjebak siapa pun di sini."
"Tapi kalian diam saja saat Balqis difitnah!" suara Andra meninggi.
Rektor yang sejak tadi diam, mengangkat tangannya, meminta semua untuk tenang. Tatapannya masih tertuju pada Andra.
Lalu, dengan suara berat, dia bertanya, "Andra, kau adalah Ketua DPM. Katakan padaku, apakah menurutmu ada kepentingan tertentu yang sedang bermain di sini?"
Andra menelan ludah. Ini bukan hanya soal Balqis lagi.
Ini soal siapa yang mengendalikan narasi di kampus ini.