Sepuluh tahun ingatan Kirana terhapus. Saat membuka mata, Kirana mendapati dirinya sudah menikah dengan pria asing yang menyebutnya istri.
Namun, berbeda dengan kisah cinta yang diharapkan, pria itu tampak dingin. Tatapannya kosong, sikapnya kaku, seolah ia hanya beban yang harus dipikul.
Jika benar, Kirana istrinya, mengapa pria itu terlihat begitu jauh? Apakah ada cinta yang hilang bersama ingatannya, atau sejak awal cintanya memang tidak pernah ada.
Di antara kepingan kenangan yang terhapus, Kirana berusaha menemukan kebenaran--- tentang dirinya, tentang pernikahan itu, dan tentang cinta yang mungkin hanya semu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shalema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bu Tanti datang
Kirana memandangi ponselnya. Ada chat dari Barra.
Albarraka Hutomo
"Aku sudah dalam perjalanan pulang. Kamu mau titip sesuatu?"
Kirana tersenyum-senyum sendiri.
"Kenapa sih Mba, senyum-senyum sendiri?" tanya bu Wulan.
"Rahasia...," canda Kirana.
"Ah, paling ada chat dari Mas Barra."
Kirana hanya menjulurkan lidahnya pada bu Wulan.
Kirana Salsabila
"Aku titip buah kelengkeng saja, Mas"
Albarraka Hutomo
"Oke"
Kirana tidak sabar menunggu Barra pulang. Hubungan Kirana dengan Barra belum mengalami kemajuan yang berarti.
Tapi sejak tekad Kirana untuk mengembalikan cinta Barra untuknya, sikap Barra perlahan-lahan mencair. Barra mulai menunjukkan perhatian-perhatian kecil.
Dua minggu lalu, Kirana mulai mengirimkan chat pada Barra. Pesan-pesan kecil seperti, "Mas, sudah sampai kantor? Jangan lupa makan siang ya." Atau "Mas, sudah mau pulang? Hati-hati di jalan ya. Aku boleh titip sesuatu?"
Barra mulai membalas dengan bertanya, apakah Kirana sudah makan, atau ada makanan yang ingin dimakannya, seperti sore ini. Barra juga mulai memberi kabar jika sudah sampai di kantor atau akan pulang.
Awalnya Kirana yang harus memulainya. Namun, setelah berjalan dua minggu, Barra mulai melakukannya tanpa Kirana yang men-chat duluan.
Saat ini, kesehatan Kirana banyak mengalami kemajuan. Untuk kegiatan di rumah, Kirana sudah tidak menggunakan kursi roda. Setelah satu bulan di rumah, banyak hal yang sudah bisa dilakukan Kirana tanpa bantuan.
Meskipun begitu, Barra masih setia menemaninya tidur. Walaupun, belum seranjang. Kirana tidak mau bertanya alasan Barra. Ia khawatir, nanti Barra malah akan tidur di kamarnya sendiri.
Kirana mendengar bunyi pagar di buka. Ia berjalan menuju pintu depan.
Barra berjalan mendekati Kirana. Bibirnya tersenyum melihat Kirana menunggunya di depan pintu.
"Aku sudah bilang tidak perlu menyambutku dengan berdiri begini. Kapan kamu akan mulai mendengarkanku?" ucap Barra. Meski menegur, tapi suara Barra terdengar lembut.
Sekarang ini, nada suara Barra sudah mulai terdengar lembut saat berbicara dengan Kirana. Walaupun, masih belum banyak pembicaraan di antara keduanya.
"Aku mau jadi orang pertama yang Mas Barra lihat setiap kali pulang ke rumah," jawab Kirana.
Manik mata keduanya saling menatap, mencoba mencari sesuatu di sana. Kirana mencari jejak cinta. Sedangkan Barra... Ah, Kirana tidak tahu apa yang sedang dicari Barra di dalam matanya.
"Mas sudah makan? Tadi aku dan bu Wulan masak Sup iga," Kirana memutuskan pandangan mereka.
"Kedengerannya enak. Aku akan makan nanti malam, tadi sore aku baru makan di luar dengan rekan kerjaku."
Kirana mengangguk. Keduanya masuk ke dalam rumah. Barra memeluk pinggang Kirana agar bisa berjalan dengan lebih mudah.
Malam harinya,
Barra kembali berkutat dengan laptopnya, sedangkan Kirana membaca buku di samping Barra.
Terdengar suara mobil terparkir. Barra dan Kirana saling pandang. Siapa yang datang malam-malam begini?
Tok tok tok.
Bu Wulan bergegas membukakan pintu.
"Bu Tanti... Malam, Bu."
Kirana mendengar sapaan bu Wulan. Bu Tanti? Ibu mertuanya datang. Kirana sontak berdiri. Buku yang ada di pangkuannya jatuh.
"Barra mana?" suara bu Tanti terdengar tegas.
Tubuh Kirana membeku. Tangannya terasa dingin. Jantungnya berdegup kencang. Kirana ketakutan mengingat pertemuan pertamanya dengan mama Barra tidak bisa disebut menyenangkan.
Barra berdiri, menutup laptopnya. Memegang jemari Kirana. Menggenggamnya seakan ingin menyalurkan kehangatan pada Kirana.
"Tunggu di sini!" perintah Barra menatap ke dalam mata Kirana. Ia lalu berlalu menuju ruang tamu.
"Ma? Ada apa mama datang malam-malam begini? Kenapa tidak memberitahu dulu?" Barra menyapa mamanya.
"Memangnya harus ada alasan untuk datang ke rumah anak sendiri? Mama 'kan belum pernah lihat rumah ini."
Bu Tanti mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Ia lalu melirik tajam ke arah Barra. "Karena kamu tidak pernah cerita sedang membangun rumah."
Barra memijat tengkuknya.
"Hmm, di mana Kirana? Mama ingin lihat keadaannya." Bu Tanti masuk ke ruang tengah.
"Ah, itu dia! Istri dari anakku tersayang," ucapan Bu Tanti lebih ke arah sindiran daripada sapaan hangat.
Degup jantung Kirana berdetak lebih cepat. Seakan baru selesai berlari. Ia mengepalkan tangannya. Mengambil nafas, sebelum tersenyum dan berkata, "Apa kabar, Bu?"
Kirana berjalan beberapa langkah, mengambil tangan Bu Tanti, lalu menciumnya.
Bu Tanti membiarkan Kirana mencium tangannya lalu dengan segera menghempaskannya.
"Kamu kelihatan jauh lebih baik dari terakhir kita bertemu," Bu Tanti memgambil sapu tangan dari dalam tas dan mengelap bekas ciuman Kirana di tangannya.
"Sudah bisa berdiri dan jalan?" tanya Bu Tanti.
"Alhamdulillah, sudah Bu. Sedikit demi sedikit, saya sudah jauh lebih baik dan sehat," jawab Kirana dengan suara bergetar.
"Baguslah, berarti kamu sudah tidak membutuhkan Barra lagi 'kan?!" lanjut Bu Tanti.
Dada Kirana terasa sesak mendengar ucapan ibu mertuanya. Tubuhnya gemetar.
Barra segera berdiri di samping Kirana. Memegang bahu Kirana, memberi kesan perlindungan pada mamanya.
Bu Tanti mendengus kasar. "Apa lagi yang akan jadi alasanmu sekarang?" ucapnya pada Barra dengan tatapan tajam.
"Ma, Tolong. Jangan bicara... Besok pagi, aku akan ke rumah mama. Kita bisa bicara di sana," mohon Barra.
"Tidak bisa! Mama ingin masalah ini selesai sekarang. Tidak perlu mengulur waktu lagi," Bu Tanti duduk menghadap anak dan menantunya. Pandangannya tegas.
"Bu Wulan, tolong bawa Kirana ke dalam kamar," pinta Barra.
Bu Wulan bergerak mendekati Kirana.
"Tidak usah! Mama ingin dia di sini. Sudah saatnya dia tahu semuanya. Mama yakin kamu belum menceritakan apapun pada Kirana. Apa yang sudah dia lakukan! Iya 'kan?!" Suara bu Tanti meninggi.
Kirana memandang Barra dengan tatapan bingung dan takut. Barra menurunkan tangannya dari bahu Kirana, kemudian mengenggam jemari Kirana.
"Kirana istriku, Ma! Aku yang akan memutuskan apa yang perlu diketahui dan tidak diketahui Kirana," genggaman Barra semakin erat pada tangan Kirana.
"Mau sampai kapan kamu begini, Barra? Kamu sudah berjanji sama mama akan menyudahi semuanya. Hubunganmu---"
"Itu juga akan jadi keputusanku. Kapan aku akan melakukannya," potong Barra sebelum bu Tanti menyelesaikan kalimatnya.
Anak dan ibu itu saling berhadapan.
Kirana tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan keduanya.
Apa yang belum diketahui Kirana? Perbuatan apa yang tidak bisa diingatnya? Barra berjanji akan menyudahi apa pada mamanya, hubungan Barra dengan dirinya?
Tanpa sadar, air mata Kirana jatuh. Ia terisak pelan.
Barra melihat Kirana menangis. Ia mengusap punggung tangan Kirana dengan jempolnya.
"Maafkan aku, Ma. Aku belum bisa memenuhi keinginan mama sekarang. Tolong pulanglah. Besok pagi, aku akan ke rumah mama."
Bu Tanti menghela nafas, pasrah. Ia lalu berdiri dan berkata, "Mama tunggu kamu besok pagi," sebelum berbalik ke arah pintu depan.
"Bu Wulan, tolong antar Kirana ke kamar. Aku akan mengantar Mama sebentar."
Bu Wulan mengangguk.
"Ayo, Mba!" Bu Wulan memegang bahu Kirana, mengarahkannya masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, Kirana masih terisak. Dadanya begitu sesak. Hatinya terasa sakit mengingat kebencian bu Tanti padanya.
Kirana mendengar pintu kamar di buka. Lalu, suara air dituangkan ke dalam gelas.
"Kira, minum dulu!"
Suara Barra terdengar lembut di telinga Kirana.
Kirana menurut.
"Mas, apa yang dibicarakan mamamu?" tanya Kirana setelah meneguk air sampai habis.
"Aku tidak mau membicarakannya!" tegas Barra.
"Jangan seperti ini, Mas. Apa yang mamamu ingin aku ketahui? Apa yang belum Mas ceritakan padaku?"
"Aku bilang aku tidak mau membicarakannya, Kirana!" sentak Barra.
Kirana terhenyak. Ia belum pernah mendengar Barra berbicara dengan nada seperti itu. Meskipun suara Barra dingin tapi dia tidak pernah menyentak Kirana sebelumnya.
Barra mendekati Kirana. Mengulurkan tangan ingin menyentuh rambut Kirana.
Kirana menjauhkan kepalanya. Saat ini, ia sedang tidak ingin disentuh Barra.
"Tidurlah!" Barra berbalik kemudian merebahkan diri di sofa baca.
Kirana menarik selimut. Ia memunggungi Barra. Kirana tidak bisa memejamkan matanya. Kata-kata bu Tanti terus teringang di telinganya.
Kirana tidak tahu jika Barra pun tidak bisa tidur. Ia terus memandang punggung Kirana. Air mata Barra jatuh di pipinya. Kirana tidak melihatnya.