Hanya karena uang, Dira menjual rahimnya. Pada seorang pria berhati dingin yang usianya dua kali lipat usia Dira.
Kepada Agam Salim Wijaya lah Dira menjual rahim miliknya.
Melahirkan anak untuk pria tersebut, begitu anak itu lahir. Dira harus menghilang dan meninggalkan semuanya.
Hanya uang di tangan, tanpa anak tanpa pria yang ia cintai karena terbiasa.
Follow IG Sept ya
Sept_September2020
Facebook
Sept September
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cemburu Yang Mengusik
Rahim Bayaran #29
Oleh Sept
Dira sedang termenung sambil bersandar di sandaran ranjang, malam ini entah mengapa terasa lebih panjang dari pada malam-malam sebelumnya. Apa mungkin karena pikirannya melayang-layang memikirkan suaminya yang sedang berduaan dengan istri pertamanya?
"Ah, Dira! Jangan serakah! Tidakkah cukup pria itu berbaik hati membebaskan ibumu dari lembah nista di rumah bordir itu? Kamu jangan rakus Dira! Cukup lahirkan anak untuk pria tersebut. Kemudian pergilah. Menghilang sesuai perjanjian!" batinnya.
Dira mencoba menyadarkan dirinya sendiri. Baginya terlalu rakus jika menginginkan uang sekaligus pria tersebut. Siapa dirinya? Hanya wanita yang dibayar untuk meminjamkan rahimnya.
Di malam yang sama, ada hati lain juga yang merasakan kegalauan yang sama. Agam sedang termenung di teras rumahnya. Sembari menyesap benda kecil yang ia apit dengan jari.
Kepulan asap yang keluar cukup banyak, sebanyak beban pikiran pria beristri dua tersebut.
Cukup lama ia berteman dengan sepi yang dingin di depan rumahnya itu. Pikirannya sedang kalut, dua istri di dalam satu atap yang sama. Bila hatinya teguh, seperti tujuan semula. Maka tidak akan gamang seperti malam ini.
Sayang, hati pria dingin itu kini mulai tumbuh cabang yang baru. Ia mencintai istri pertamanya, namun juga tak bisa melepas Dira begitu saja.
Tidak bisahkah keduanya dalam gengaman? Bibirnya melengkung, pria itu
tersenyum tipis. Ah, ia merasa sudah mulai serakah.
"Ingat Agam! Dira itu hanya alat pencetak anak! Jangan pakai perasaan. Dia mendapat imbalan uang untuk semua ini. Dia mungkin juga tak pernah tulus, sadar dong Agam! Agata membutuhkan dirimu saat ini!" Pria itu bermonolog pada hati kecilnya, seolah mengajari bahwa ia harus teguh pada tujuan semula. Jangan goyah.
Merasa cukup menghirup udara segar di luar, Agam lantas masuk lagi ke dalam. Dengan langkah gamang, ia kembali akan masuk ke kamarnya. Akan tetapi, matanya sempat melirik pintu kamar tamu.
"Apa kamu sudah tidur anak nakal?" tanyanya lirih pada angin yang lewat.
Sembari mengeleng kepala pelan, ia melanjutkan langkah kakinya. Dibukanya pintu kamar utama, sejenak ia memincingkan mata ketika di atas ranjang tidak ada Agata.
"Apa ke kamar mandi?" batinnya. Agam pun melanjutkan langkah.
"Agata!" pekiknya saat melihat Agata yang sudah pingsan di atas lantai yang dingin itu. Dengan panik, Agam langsung membopong tubuh istrinya. Ia meletakkan Agata di atas ranjang.
Menepuk pelan kedua pipi yang sudah tak cubby lagi itu.
"Sayang ... bangun sayang!"
"Agata ... please buka mata kamu!"
"Sayang ... bangun!"
Berkali-kali Agam memerintah istrinya itu untuk membuka mata, namun tubuh Agata malah lemas tak berdaya.
Tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi, Agam langsung berteriak memanggil Bibi.
"Bibi ... Bibi!"
Tengah malam, kamar Bibi yang ada di belakang membuat ia tak menyahut. Sedangkan Dira, kamarnya yang tak jauh dari kamar Agam. Gadis itu pun memutuskan keluar kamar setelah mendengar suara ribut-ribut.
"Astaga ... ada ini Mas?"
Dira langsung mendekati Agata, baru pertama kali ia melihat sosok Agata dari dekat. Dilihatnya lekat-lekat pemilik sesunguhnya hati Agam.
"Mengapa wajahnya sangat tirus dan begitu pucat?" batinnya sembari terus mengamati Agata.
"Dira! Bantu saya bawa Agata ke rumah sakit!"
"Baik, Mas."
Agam pun membawa tubuh sang istri di jok belakang, di sana sudah ada Dira yang akan memegangi Agata.
Tengah malam itu juga mereka bertiga menuju rumah sakit yang paling dekat dengan rumah mereka.
Begitu sampai di rumah sakit, tenaga medis langsung membawa Agata ke ruang UGD.
Dari raut wajahnya, Agam nampak cemas. Ia juga merasa bersalah. Tak seharusnya ia mengikuti kemauan Agata untuk pulang. Tubuh Agata masih butuh perawatan.
Melihat betapa cemasnya sang suami pada istri pertama, Dira langsung menciut. Hatinya jadi melempem, apa bila ia sakit, Agam akan secemas itu?
Sambil menunggu Agata yang masih dalam penanganan. Dira dan Agam menunggu. Hanya saja cara menunggu mereka jauh berbeda. Bila Dira nampak duduk dengan tenang, Agam sedari tadi mondar-mandir, berjalan ke sana ke mari. Membuat yang melihat ikut pusing.
Dira hanya memperhatikan, tak berani menegur atau berkata. Meski kepalanya pusing melihat Agam mondar-mandir.
Satu jam lebih Agata ditangani, dokter masih belum keluar juga. Mungkin karena Dira merasa kelelahan, sebab ia juga tadi pagi dari rumah sakit. Gadis itu pun tertidur sambil duduk.
Tak sengaja Agam menoleh ke arahnya. Kebetulan saat itu, hampir saja kepala Dira oleng ke sampin. Reflect, Agam langsung berjalan ke arah Dira.
Pria itu memutuskan untuk duduk saja di samping istrinya. Membiarkan Dira bersandar pada pundaknya yang kokoh.
"Mudah sekali kamu tidur?" bisik Agam namun tak terdengar oleh Dira.
Sekilas Agam memperhatikan perban yang masih melekat pada leher gadis itu. Ah, tiba-tiba saja kepalanya penuh dengan dua wanita yang ingin ia jaga dalam hidupnya.
"Pak ... Pak!" Seorang perawat menepuk pundak Agam. Rupanya ia tidak sadar, Agam juga ikut ketiduran sama seperti Dira.
"Iya ... Suster!" jawab Agam gelagapan.
Mendengar suara orang bicara, Dira juga bangun. Gadis itu kaget karena bangun dengan kepala sudah berada di pangkuan Agam.
Ah, berani sekali tubuhnya ini. Dira jadi canggung dan malu, mengapa bisa menjadikan pangkuan Agam jadi bantal?
Denga sikap kaku, Dira menarik diri. Mencoba duduk secara normal.
Suster menatap keduanya dengan senyum ramah, "Pasien atas nama Nyonya Agata sudah kami pindah ke ruang perawatan!" ucapnya sembari menunjukkan kamar berapa Agata dirawat.
"Terimakasih, suster!"
Agam pun lekas menuju kamar Agata, ia berjalan cepat. Melupakan Dira yang hanya duduk di tempat.
Saat sudah agak jauh dan melewati lorong panjang, Agam baru menoleh ke belakang.
"Hah ... ke mana anak itu?"
Di halaman rumah sakit.
Dira berjalan seorang diri, ia lebih baik pulang. Tugasnya sudah selesai membantu membawa Agata ke rumah sakit. Tidak ingin mengusik pasutri tersebut, lebih baik ia pulang.
Dilihatnya di depan rumah sakit, sepi tidak ada taksi. Lelah menunggu kendaraan yang lewat, gadis itu memutuskan untuk berjongkok. Kakinya pegal jika terus berdiri terus-terusan.
Langit yang semula cerah dengan hiasan bintang-bintang, kini mendadak mendung. Tidak terasa gerimis datang melanda. Mungkin langit juga tahu, hati Dira sedang dirundung pilu. Menyaksikan pria yang ia sukai diam-diam kini bersama dengan cinta sejatinya.
"Ah, Dira! Kamu bodoh!" ucapnya sambil mendongak menatap langit gelap.
Dira masih saja duduk berjongkok, tidak peduli pada bulir air dari atas yang menyentuh tubuhnya. Rasanya memang dingin, sedingin hatinya saat ini.
"Dira!"
Mendengar namanya disebut, gadis itu bukannya berbalik dan melihat siapa yang memanggil namanya. Dira justru tambah menegelamkan wajah. Ada riak sendu, yang tak mampu ia bendung.
"Jangan ke mari, Mas!" batin Dira.
"Dira ... Ke mana saja? Dicari dari tadi ... main ngilang saja!" cetus Agam kesal.
Pria itu langsung meraih lengan Dira, membantu Dira berdiri.
"Ayo masuk! Gak lihat apa, di luar gerimis kaya begini!"
"Dira pulang saja, Mas. Sudah ada istri Mas Agam di dalam sana." Masih dengan menunduk, Dira tidak mau Agam melihat matanya yang sudah memerah karena menahan tangis.
"Apa yang kamu katakan! Kamu juga istri saya, kan?"
Dira terdiam.
"Ayo masuk!" titah Agam.
Saat mereka sudah masuk lobby rumah sakit, Agam mencoba mengeringkan rambut Dira. Dilihatnya rambut gadis itu sedikit basah.
"Kenapa matamu merah seperti begitu?"
"Debu!" jawab Dira spontan.
"Bisa tidak selalu hati-hati?" lagi-lagi Agam menunjukkan rasa cemasnya dengan marah-marah.
"Ah ... iya!" Tidak tahu mengapa, Dira menjadi emosional. Agar Agam tak melihanya menitikan air mata, ia pun berpaling.
Agam bukan anak kecil yang bodoh, jelas ia tahu Dira sendang menyembunyikan perasaannya.
"Mengapa menangis? Apa yang kamu tangisi!" tanya Agam sambil memegang kedua pundak gadis tersebut.
"Hanya debu, Mas. Cuma debu masuk mata," jawabnya dengan suara serak.
"Apa kamu cemburu?" tebaknya kemudian.
"Cemburu, mana berani Dira cemburu sama istri Mas. Dira tahu tempat Dira, Mas. Ini bener kena debu!" elak Dira yang sudah ketangkap basah.
"Ah ... rupanya tidak. Aku kira Kita merasakan hal yang sama."
"Hal yang sama apa maksud Mas Agam?" tanya Dira, namun dalam hati saja. Karena bibirnya terkunci rapat.
"Kalau kamu baik-baik saja, tidak cemburu atau apalah itu. Mari masuk, akan aku kenalkan dengan istriku. Istri yang akan menjadi ibu dari anak yang nanti kamu kandung."
Agam menatap wajah Dira, pria itu sedang menunggu ekspresi selanjutnya gadis tersebut, setelah ia memprovokasinya.
Seketika hati Dira bagai disayat sembilu, ia ingin menolak ajakan itu. Lebih baik ia pulang saja.
"Dira pulang saja, Mas!" Akhirnya kata penolakan itu lolos dari mulut Dira. Gadis itu tak bisa berbohong lagi. Ia langsung berbalik sambil mengusap pipinya. Bohong besar bila ia tidak cemburu.
Dira melangkah dengan sesak yang ia rasa, menyisahkan rasa pedih di matanya saat ini.
"Gadis bodoh!" gumam Agam. Mana bisa ia dikelabuhi anak ingusan macam Dira. Lihat! Bahkan dari gesture tubuh anak itu yang nampak dari belakang, terlihat jelas Dira sedang menangis. Terlihat dari tangannya yang mengayun beberapa kali mengusap wajah.
"Jika cemburu, katakanlah! Sebab aku juga tak suka melihatmu dekat-dekat dengan adikku! Aku mungkin bodoh, cemburu pada adikku sendiri. Bahkan aku menghajar anak itu dengan kedua tanganku. Dira ... aku rasa ada yang salah pada diriku!" bisik Agam yang kini kedua lengannya sudah memeluk Dira dari belakang.
Bersambung
Cemburu itu tanda cinta. Setuju? Jika pasangan tak memiliki rasa cemburu sedikit pun. Waspadalah .... jangan-jangan?
Cemburu itu ada, namun tidak untuk anda! Hehehe
Mohon maaf lahir batin ya... love sekebon cabe!
i