Menjelang hari pernikahannya, Amara menghilang tanpa jejak. Dengan waktu yang semakin sempit, keluarga calon pengantin pria mendesak agar pernikahan tetap berlangsung demi nama baik. Helena, adik Amara yang diam-diam mencintai tunangan kakaknya, Lucian, dipaksa menjadi pengantin pengganti.
Namun ketika ia menerima peran itu dengan hati yang penuh luka, Helena menemukan jejak kejanggalan: apartemen Amara yang terlalu rapi, koper yang tertinggal, dan waktu yang tidak sinkron dengan hari hilangnya Amara. Semakin ia melangkah ke dalam pernikahan, semakin besar pula misteri yang membayangi keluarga mereka.
Jejak-jejak ganjil tentang hilangnya Amara membuat Helena ragu: apakah ia sedang mengambil tempat seorang pengantin yang kabur, atau menggantikan seseorang yang sudah tak akan pernah kembali?
.
Jika ada kesamaan nama tokoh, dan latar hanyalah fiktif belaka, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.
follow ig: @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Pesan di layar ponsel Helena tetap tak beranjak dari tanda ceklis satu. Ia menatapnya hingga matanya perih, berharap tanda itu berubah, berharap ada balasan sekecil apa pun. Tapi malam terus berjalan, hingga akhirnya matanya berat dan ia tertidur di sofa ruang makan dengan ponsel masih tergenggam.
Pagi datang dengan cahaya tipis menembus tirai. Helena terbangun, tubuhnya pegal, dan ponselnya masih menunjukkan hal yang sama.
"pesannya belum dibaca. Nomornya tidak aktif? Atau Rafael sengaja menghindariku?"
Dengan langkah lelah ia menuju dapur, mulai menyiapkan sarapan seadanya: roti panggang, telur dadar, dan kopi. Ia bahkan tak berharap Lucian akan turun pagi-pagi, sebab biasanya pria itu langsung berangkat tanpa pamit.
Namun pagi itu berbeda. Suara langkah terdengar dari tangga. Helena mendongak, dan matanya membesar ketika melihat Lucian turun mengenakan kemeja rapi.
“Lucian…” bisiknya lirih, hampir tak percaya.
Tanpa banyak bicara, Lucian duduk di kursi meja makan. Ia meraih cangkir kopi yang sudah disiapkan Helena seakan itu hal biasa. Wajahnya tetap tenang, sikapnya dingin, namun kehadirannya saja sudah membuat dada Helena bergetar.
Helena buru-buru menaruh sepiring roti dan telur di hadapannya. “Aku… senang kau mau sarapan di rumah,” katanya pelan.
Lucian hanya menatap sebentar, lalu mulai memotong roti. Tak ada senyum, tak ada sapaan hangat, hanya kesunyian yang kini diwarnai suara sendok garpu.
Bagi Helena, itu sudah lebih dari cukup. Meski dingin, setidaknya pagi ini ia tidak sarapan sendirian.
Helena duduk berhadapan dengan Lucian, menatapnya diam-diam sambil memainkan sendok kecil di tangannya. Suasana meja makan hanya diisi suara piring dan garpu yang saling beradu.
Tiba-tiba, Lucian meletakkan cangkir kopinya perlahan, lalu berkata datar tanpa menatapnya.
“Aku akan pergi keluar kota. Tiga hari.”
Helena terhenti, sendok di tangannya bergetar. “Keluar kota? Untuk apa?”
Lucian tetap tenang, suaranya dingin. “Ada urusan pekerjaan. Jangan menunggu.”
Hati Helena mencelos. Tiga hari berarti ia harus menghadapi rumah besar itu sendirian, dengan misteri Amara yang terus menghantui. Apalagi ART di rumah ini sedang cuti, ia akan sendirian saja. Namun yang lebih menusuk adalah cara Lucian menyampaikannya, seakan keberadaannya atau tidak, sama sekali tidak penting bagi Helena.
Ia menelan ludah, mencoba menahan emosi. “Kapan kau berangkat?”
“Siang ini,” jawab Lucian singkat, lalu kembali memotong roti tanpa sedikit pun menoleh ke arahnya.
Helena menggenggam erat ujung roknya di bawah meja, menahan rasa sakit yang menyesak. 'Kenapa selalu ada dinding di antara kita, Lucian… bahkan saat aku hanya ingin sedikit kebersamaan?'
Helena menatap Lucian lama, dadanya terasa kencang. Keheningan di meja makan membuat pertanyaan itu semakin sulit keluar, tapi rasa penasaran dan cemburu menekannya dari dalam.
Akhirnya, dengan suara pelan tapi jelas, ia berkata. “Apakah… Clara ikut dalam perjalananmu kali ini?”
Lucian berhenti sejenak. Garpu di tangannya terangkat, lalu ia meletakkannya kembali di piring dengan suara logam yang nyaring. Ia mengangkat wajah, menatap Helena lurus-lurus, sorot matanya tajam dan penuh peringatan.
“Kenapa kau bertanya begitu?” suaranya datar, tapi mengandung ketegangan yang membuat Helena tercekat.
Helena menelan ludah, mencoba mempertahankan keberanian. “Karena aku melihatmu bersamanya, Lucian. Dan… aku hanya ingin tahu. Clara muncul saat Amara menghilang. Kau pasti mengerti kenapa aku-”
“Helena. Jangan bawa Clara ke dalam urusan kita. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi dari mulutmu.” Lucian memotong dingin, nadanya tegas
Kata-kata itu bagaikan pisau yang mengiris tipis, dingin dan dalam. Helena terdiam, wajahnya menegang, bibirnya bergetar menahan kalimat yang ingin keluar.
Lucian lalu berdiri, mengambil jasnya yang sudah ia siapkan di kursi. “Aku berangkat siang ini.”
Tanpa menunggu jawaban Helena, ia melangkah pergi, meninggalkan meja makan yang masih penuh dengan makanan yang kini kehilangan arti.
Helena duduk membeku, tangan gemetar di atas pangkuannya. Sakit, bingung, tapi juga semakin yakin, ada sesuatu besar yang disembunyikan Lucian.
Setelah pintu depan menutup keras di belakang Lucian, Helena duduk sejenak, menatap meja makan. Rasanya berat, campuran antara cemas, marah, dan kesepian. Namun ia tahu, waktu tidak bisa berhenti hanya karena perasaan itu.
Helena bangkit perlahan, menata piring-piring di meja dan menyiapkan tasnya. Jam menunjukkan hampir pukul delapan pagi, waktunya berangkat ke kampus. Ia harus menghadiri kelas pagi, meski pikirannya tetap terseret pada Lucian dan Amara.
Dalam perjalanan ke kampus pikirannya berkutat pada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab: Kenapa Clara muncul sekarang? Apakah Lucian menyembunyikan sesuatu tentang Amara? Dan bagaimana aku bisa menemukan jawaban kalau Rafael tidak membalas pesanku?
Di kampus, rutinitas pagi terasa hambar. Suara teman-teman sekelas, celoteh dosen, dan papan tulis yang dipenuhi catatan tidak mampu mengusir kegelisahan di hatinya. Helena duduk di bangku terakhir, membuka buku catatan, tapi jarinya lebih sering mengetuk-ngetuk meja daripada menulis.
Hari ini, ia harus tetap kuat. Tidak hanya menghadapi kelas dan rutinitas, tapi juga mencari jawaban sendiri tentang hilangnya Amara, dan mencari cara agar Lucian sedikit menerimanya.
Helena duduk di bangku terakhir sambil membuka buku catatan, tapi pikirannya masih melayang pada pesan yang tak dibalas Rafael dan perjalanan Lucian. Saat itulah, dua sosok mendekat: Alina dengan senyum ramahnya, dan Darren yang selalu tampak santai tapi perhatian.
“Hei, Helena! Duduk di sini, dong,” sapa Alina ceria sambil menunjuk bangku kosong di sebelahnya.
Helena tersenyum tipis, merasa sedikit lega meski hatinya masih berat. “Oh, iya. Terima kasih, Alin.”
Darren ikut duduk, menyeruput kopi dari termos kecilnya. “Kau kelihatan capek, Helena. Ada apa?”
Helena menggeleng cepat, mencoba menutupi kegelisahannya. “Ah, enggak apa-apa. Hanya pagi ini agak… lelah saja.”
Alina menyandarkan dagunya di tangan, menatap Helena penuh perhatian. “Kau serius? Kelihatan jelas, lho. Lagi ada masalah sama Lucian, ya?”
Helena tersentak sejenak, tapi hanya menatap mereka dengan senyum tipis. “Bukan masalah, hanya… hal keluarga, gitu. Biasa lah.”
“Kalau kau mau curhat, kita bisa dengar. Aku dan Alin sahabatmu, kan?” Darren tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana
Helena menatap mereka berdua. Ada hangat yang terasa berbeda dari ketenangan mereka, sebuah kenyamanan yang membuat hatinya sedikit lebih ringan. Ia menarik napas panjang. “Terima kasih. Mungkin nanti aku cerita… tapi sekarang, kita fokus kelas dulu, ya.”
Alina dan Darren mengangguk, dan sejenak, Helena merasa seolah beban yang menyesakkan dadanya sedikit tersingkir. Percakapan ringan mereka membuatnya tersadar, meski hidupnya sedang penuh teka-teki dan ketegangan, ada orang-orang yang bisa memberinya sandaran.
Saat mereka menunggu kelas dimulai, Alina mencondongkan tubuh sedikit ke arah Helena, menurunkan suara seolah berbagi rahasia ringan.
“Eh, Helena… tadi pagi aku lewat di jalan dekat apartemen Amara,” katanya santai, sambil tersenyum kecil. “Dan aku sempat lihat seorang pria datang ke sana. Rambutnya hitam, tinggi, kelihatan agak serius. Aku enggak tahu siapa, tapi… rasanya aneh."
...***...
...Like, komen dan vote....
...💙💙💙...