NovelToon NovelToon
My Ex Boyfriend

My Ex Boyfriend

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Obsesi / Pelakor / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Kaya Raya
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: lailararista

Auristella Queensha Syahreza

Stella. Primadona sekolah,siapa yang tidak terpesona dengannya? Gadis cantik dan tajir semua orang mengaguminya.

Kenan Alvaro Melviano

Kenan. Mostwanted yang dikagumi para gadis. Tetapi memiliki sifat dingin yang tak tersentuh.

Sebuah keberuntungan bagi stella dapat berpacaran dengan kenan. Lelaki yang menurutnya romantis walaupun terkadang menjadi posesif Namun semua kandas ketika dia tahu bahwa kenan hanya menjadikannya bahan taruhan.

Seperti tidak ada rasa bersalah. Kenan tetaplah kanan,selalu mengekang stella walaupun tidak ada hubungan apa-apa.

🌸

"Gue ngak ijinin lo makan ini."

"Dan gue ngak perlu ijin lo." Sinis Stella.

"Gue ngak suka penolakan."

"Gue ngak perduli."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lailararista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengundurkan diri

Stella menatap cermin di kamar mandi rumah sakit. Wajahnya pucat, mata sembab karena terlalu lama menahan tangis. Tangannya meraba dada, mencoba meredakan detak jantung yang berlari tak terkendali.

Bayangan Kenan muncul di kepalanya, dengan senyum licik yang selalu mengikat langkahnya.

"Lo udah jadi milik gue, Stella."

Air mata Stella jatuh. “Kenapa harus gue, Tuhan? Kenapa harus gue yang terjebak?” bisiknya serak, seolah berbicara pada cermin yang retak di dalam dirinya sendiri.

Di luar kamar mandi, Lauren masih duduk menemani Reza yang terbaring lemah. Sesekali Lauren menoleh ke arah Stella dengan senyum tipis.

“Bunda beruntung punya kamu, Nak. Kamu kuat, kamu penopang kita semua.”

Stella tersenyum, tapi di balik senyum itu ada luka yang nyaris tak tertahankan. Ia ingin berkata “Bunda salah. Aku bukan kuat. Aku cuma boneka yang dikendalikan orang.”

Tapi kata-kata itu hanya berputar di tenggorokannya, terkubur sebelum lahir.

Malam tiba. Stella pulang sendirian. Langkahnya berat, setiap bayangan di trotoar seakan mengawasinya. Saat tiba di depan rumah, sebuah mobil hitam sudah terparkir. Stella berhenti. Jantungnya langsung berdegup tak karuan.

Jendela mobil terbuka perlahan. Wajah Kenan muncul, senyum sinisnya lebih gelap daripada malam.

“Masuk.”

Stella menggertakkan giginya. “Gue capek, Ken. Besok aja.”

“Gue bilang masuk, Stella. Jangan bikin gue ulang kata-kata gue dua kali.” Nada suaranya dingin, penuh tekanan.

Dengan langkah gemetar, Stella membuka pintu mobil. Bau parfum Kenan langsung menusuk hidungnya, memaksa memorinya kembali ke setiap ancaman yang pernah dilontarkan.

Mobil melaju tanpa tujuan jelas. Hanya ada lampu jalan yang berkelebat di kaca jendela, seakan ikut jadi saksi bisu.

“Kenapa lo diem aja?” Kenan menoleh, matanya menajam. “Lo pikir bisa kabur dari gue?”

Stella menahan nafas. “Gue nggak kabur. Gue cuma… pengen bebas.”

Kenan tertawa kecil, suara yang membuat bulu kuduk Stella berdiri.

“Bebas? Bebas dari siapa? Dari gue? Jangan mimpi. Hidup lo udah gue iket, Stella. Lo nggak punya pilihan selain nurut.”

Air mata Stella jatuh, tapi ia buru-buru menghapusnya. “Lo tega banget. Gue udah nggak punya apa-apa lagi, Ken. Kenapa masih harus lo siksa?”

Kenan menunduk mendekat, suaranya berbisik tepat di telinga Stella.

“Karena lo bukan cuma siapa-siapa buat gue. Lo boneka simpanan gue.”

Stella menutup mata rapat-rapat. Ingin rasanya berteriak, ingin melarikan diri, tapi rantai yang tak kasat mata itu terus menahannya.

Di dalam hatinya, Stella hanya bisa berdoa lirih,

“Kalau ini harga dari pengorbanan, semoga aku kuat menanggungnya."

Mobil terus melaju, membawa Stella semakin jauh dari dirinya sendiri.

★★★

Pagi itu, matahari bersinar redup seolah mengerti hati Stella yang berat. Jemarinya meremas apron café yang selama ini ia banggakan. Tempat kecil yang dipenuhi aroma kopi, tawa pelanggan, dan hangatnya persahabatan itu kini terasa seperti rumah kedua baginya.

Namun hari ini… ia harus merobek rumah itu dengan tangannya sendiri.

“Stel, lo kelihatan pucet. Lo nggak apa-apa kan?” Gavin menoleh saat dia masuk ke dalam café dan tidak sengaja melihat Stella termenung, sambil membersikan meja cafe, suaranya Gavin tulus seperti biasanya.

Stella tersenyum, senyum yang dipaksakan. “Gue baik-baik aja, Gav. Cuma… ada yang mau gue omongin.”

Gavin berhenti, menatap Stella penuh tanda tanya.

Dengan napas berat, Stella menunduk. Kata-kata itu begitu sulit keluar dari mulutnya, tapi Kenan sudah menancapkannya di kepalanya tadi malam.

"Lo berhenti kerja di café itu. Gue nggak suka lo deket sama Gavin. Kalau lo berani nolak, siap-siap liat sahabat lo jadi korban."

Stella menggigit bibirnya hingga nyaris berdarah. Lalu, dengan suara parau, ia berkata:

“Gav… gue mau resign.”

Hening. Seperti waktu berhenti. Gavin menatapnya, wajahnya berubah antara bingung dan tidak percaya.

“Lo… apa?”

“Gue mau berhenti kerja.” Stella mengulang, kali ini lebih lirih, seolah setiap kata menusuk jantungnya sendiri.

“Kenapa, Stel? Lo suka kerja di sini, kan? Bukannya lo bilang café ini tempat paling bikin lo tenang?” suara Gavin terdengar patah.

Air mata Stella menumpuk di pelupuk, tapi ia tahan. “Gue… gue ada alasan pribadi. Maaf, Gav. Gue nggak bisa jelasin. Tapi percaya sama gue, ini yang terbaik.”

Gavin menatap lama, matanya seperti berusaha membaca isi hati Stella. “Alasan pribadi atau… ada yang maksa lo?”

Pertanyaan itu membuat dada Stella sesak. Ia ingin berteriak “Iya, ada yang maksa! Gue hidup di bawah ancaman!” Tapi lidahnya kelu. Kenan seperti bayangan gelap yang selalu ada di sudut matanya.

“Gue cuma… nggak bisa lanjut, Gav. Tolong jangan tanya lagi.”

Gavin terdiam. Hanya suara denting sendok dan aroma kopi yang mengisi udara. Lalu perlahan, ia tersenyum tipis, meski jelas itu bukan senyum bahagia.

“Kalau itu keputusan lo, gue nggak bisa nahan. Tapi Stella…” ia menatapnya dalam, “…gue cuma berharap lo lakuin ini karena lo bener-bener mau, bukan karena dipaksa.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menancap di hati Stella. Ia hanya bisa menunduk, menggenggam apron erat-erat, lalu menyerahkannya pada Gavin dengan tangan gemetar.

Saat keluar dari café, langkah Stella terasa seperti menyeret rantai tak kasat mata. Hatinya menjerit, “Maaf, Gav. Gue pengen jujur, tapi gue nggak bisa. Gue harus nurut, demi mereka.”

Dan di kejauhan, sebuah mobil hitam terparkir, dengan sepasang mata yang memperhatikannya dari balik kaca gelap. Senyum Kenan tampak samar, puas melihat Stella benar-benar menurut pada perintahnya.

1
Dewi Saptiani
ini rada aneh niy...cctv mana?model orkay tapi rumah minim cctv.hidup ditahun brp thor ini ceritanya???
Samiatik
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!