Gavin Adhitama (28 tahun) adalah menantu yang paling tidak berguna dan paling sering dihina di Kota Jakarta. Selama tiga tahun pernikahannya dengan Karina Surya (27 tahun), Gavin hidup di bawah bayang-bayang hinaan keluarga mertuanya, dipanggil 'pecundang', 'sampah masyarakat', dan 'parasit' yang hanya bisa membersihkan rumah dan mencuci mobil.
Gavin menanggung semua celaan itu dengan sabar. Ia hanya memakai ponsel butut, pakaian lusuh, dan tidak pernah menghasilkan uang sepeser pun. Namun, tak ada satu pun yang tahu bahwa Gavin yang terlihat kusam adalah Pewaris Tunggal dari Phoenix Group, sebuah konglomerat global bernilai triliunan rupiah.
Penyamarannya adalah wasiat kakeknya: ia harus hidup miskin dan menderita selama tiga tahun untuk menguji ketulusan dan kesabaran Karina, istrinya—satu-satunya orang yang (meski kecewa) masih menunjukkan sedikit kepedulian.
Tepat saat waktu penyamarannya habis, Keluarga Surya, yang terjerat utang besar dan berada di ambang kebangkrutan, menggan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rikistory33, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sinyal Dari Benua Lama
Tiga bulan setelah insiden di Laut Cina Selatan, kehidupan Gavin dan Karina tampaknya telah mencapai titik keseimbangan yang sempurna.
Jakarta sedang menikmati boom ekonomi yang dipimpin oleh Proyek Kota Pilar, yang konstruksinya kini telah mencapai 30%. Gedung-gedung pencakar langit futuristik mulai menjulang di garis pantai, menjadi simbol fisik dari kekuasaan baru Marga Adhitama.
Di permukaan, Gavin Adhitama adalah "Raja Asia". Sebagai Ketua Tetap Aliansi 12 Naga, setiap keputusan ekonomi besar di kawasan Asia Pasifik harus melalui meja kerjanya di Penthouse Phoenix.
Karina, di sisinya, adalah ikon global untuk integritas korporat, dipuja sebagai wanita yang membersihkan kapitalisme Asia.
Namun, kedamaian adalah kemewahan yang menipu bagi mereka yang memegang mahkota.
****
Pukul 02.00 dini hari. Gavin terbangun di tempat tidur king-size-nya. Bukan karena suara, melainkan karena getaran halus dari jam tangan pintar biometrik yang selalu ia kenakan yaitu sebuah perangkat yang terhubung langsung ke Naga Ketiga Belas, sistem intelijen klan yang seharusnya dalam mode pasif.
Karina masih tertidur pulas di sampingnya, kelelahan setelah seharian memimpin konferensi PBB tentang transparansi bisnis. Gavin turun dari tempat tidur perlahan, mengenakan jubah tidur sutranya, dan berjalan keluar menuju ruang kerja pribadinya yang gelap.
Ia menempelkan tangannya di panel dinding tersembunyi. Dinding itu bergeser, mengungkapkan layar terminal aman yang terhubung ke mainframe bawah tanah di Bogor.
"Laporan," perintah Gavin, suaranya serak.
Suara mekanik Naga Ketiga Belas merespons.
"Peringatan Tingkat 4. Deteksi anomali pada server penerima data Julian Adhitama.
"Jantung Gavin berdetak lebih cepat. "Julian sudah mati. Server itu seharusnya sudah dihancurkan."
"Server fisik di kapal Shadow of Dawn hancur," koreksi sistem tersebut.
"Namun, analisis forensik lanjutan terhadap paket data yang sempat terunggah, yang mencapai 99% sebelum pemutusan itu menunjukkan bahwa ada satu file terenkripsi kecil, berukuran kurang dari 5 megabyte, yang berhasil lolos dari firewall sebelum ledakan."
"Apa isinya?" tanya Gavin, matanya menyipit menatap kode-kode merah yang mengalir di layar.
"Sebuah fragmen dari Buku Hitam. Bukan keseluruhan sejarah, melainkan Daftar Kunci. Daftar nama dan lokasi aset-aset Adhitama yang paling kuno di Eropa, yang disembunyikan sejak Perang Dunia II. Aset yang bahkan Tuan Dharma mungkin sudah lupa."
"Dan ke mana file itu pergi?"
Peta dunia holografik muncul. Sebuah garis merah melesat dari titik tenggelamnya kapal di Laut Cina Selatan, melintasi benua Asia, dan berhenti berkedip di satu titik di belahan bumi barat.
London, Inggris.
Gavin menatap titik itu. London adalah jantung dari "Uang Lama" (Old Money). Tempat di mana kekayaan tidak diukur dalam miliaran dolar, melainkan dalam berapa abad nama keluarga Anda telah menguasai tanah.
"Lacak penerimanya," perintah Gavin.
"Enkripsi penerima menggunakan standar Quantum-Grade. Di luar kemampuan dekripsi saat ini. Namun, lokasi IP berakhir di sebuah estat pribadi di kawasan Kensington Palace Gardens. Kediaman milik Lord Alistair Sterling."
Gavin membeku.
Nama itu bukan nama sembarangan. Lord Sterling adalah kepala dari Sterling Group, konglomerat pertambangan dan perbankan tertua di Inggris. Mereka adalah bagian dari apa yang disebut "The Pantheon" yaitu aliansi keluarga aristokrat Eropa yang memandang Aliansi 12 Naga Asia sebagai "orang kaya baru" (OKB).
Jika Sterling memiliki Daftar Kunci itu, dia tahu di mana Adhitama menyembunyikan kerangka mereka di Eropa.
Sebelum Gavin sempat memproses informasi itu, saluran telepon terenkripsi di mejanya berdering. Itu adalah Dharma Adhitama. Ayahnya juga sudah bangun.
"Kamu melihatnya, Gavin?" suara Dharma terdengar berat.
"Ya, Ayah. London. Alistair Sterling," jawab Gavin.
"Apakah Julian bekerja untuk Sterling?"
"Julian terlalu bodoh untuk bekerja langsung dengan Sterling. Julian mungkin menjual data itu kepada broker informasi, dan Sterling membelinya," analisis Dharma. "Ini buruk, Gavin. Sangat buruk."
"Mengapa? Kita sudah merilis Buku Putih. Kita sudah mengakui dosa masa lalu. Apa yang bisa dilakukan Sterling dengan fragmen data itu?"
"Buku Putih mengakui dosa-dosa bisnis," kata Dharma, suaranya merendah.
"Tapi ada aset di Eropa yang tidak tercatat sebagai bisnis. Ada... perjanjian lama. Perjanjian yang dibuat kakek buyutmu dengan pihak-pihak tertentu selama masa perang untuk mengamankan emas klan. Jika Sterling membongkar itu, narasi integritas Karina akan hancur. Dunia akan melihat kita bukan sebagai pebisnis yang bertobat, melainkan sebagai penjahat perang."
Gavin mengepalkan tangannya di meja marmer.
"Jadi perang belum berakhir. Hanya medannya yang berpindah."
"Sterling tidak akan menyerang secara terbuka seperti OmniCorp," peringatkan Dharma. "Orang Eropa bermain dengan etiket dan pisau di balik senyum.
Kamu akan menerima undangan segera. Undangan ke The Grand Summit di Davos atau London. Mereka akan mengundang 'Raja Asia Baru' untuk datang. Itu adalah jebakan."
"Aku akan datang," kata Gavin dingin.
"Dan aku tidak akan datang sendirian."
*****
Saat matahari terbit di Jakarta, Gavin masih duduk di ruang kerjanya, menatap profil Lord Alistair Sterling di layar.
Pria tua itu tampak sopan, dengan setelan jas tweed dan senyum ramah, sedang memegang piala pacuan kuda. Di balik senyum itu, Gavin melihat predator yang jauh lebih tua dan lebih berbahaya daripada Vivian Thorne.
Pintu ruang kerja terbuka. Karina masuk membawa dua cangkir kopi. Dia melihat layar merah yang masih menyala dan ekspresi suaminya.
"Siapa dia?" tanya Karina, meletakkan kopi di meja dan memijat bahu Gavin.
"Musuh baru," jawab Gavin, meraih tangan Karina. "Namanya Lord Sterling. Dia memegang satu keping puzzle yang hilang dari Buku Hitam. Dan dia ada di London."
Karina menghela napas, mengambil cangkir kopinya sendiri. Dia tidak tampak terkejut atau takut. Tiga bulan kedamaian ini mungkin membuatnya istirahat, tetapi tidak membuatnya lunak.
"Aku kira kita akan liburan ke Bali bulan depan," kata Karina santai.
"Tapi sepertinya kita akan ke Eropa."
"Ini akan berbahaya, Karina. Sterling bukan pebisnis biasa. Dia adalah aristokrat. Dia memiliki pengaruh di Parlemen Inggris dan mungkin keluarga kerajaan. Di sana, uang kita tidak terlalu mengesankan mereka."
Karina tersenyum, senyum tajam yang ia pelajari dari Laksmi Adhitama.
"Uang mungkin tidak mengesankan mereka, Gavin. Tapi kekuasaan adalah bahasa universal. Jika mereka menganggap kita 'OKB Asia', biarkan mereka berpikir begitu. Kita akan datang ke London, kita akan minum teh mereka, dan kita akan mengambil kembali apa yang menjadi milik kita."
Karina menatap profil Sterling. "Dia memegang rahasia kita? Bagus. Itu berarti dia ingin bernegosiasi. Atau dia ingin perang. Apa pun itu, YIA akan siap. Aku penasaran, seberapa bersih lemari pakaian seorang Lord Inggris?"
****
Siang harinya, di kantor pusat Phoenix Group, Beny masuk ke ruangan Gavin dengan wajah bingung.
"Tuan Gavin, ada kiriman paket. Bukan melalui kurir, tapi diantar langsung oleh seorang staf Kedutaan Besar Inggris.
Dia bersikeras ini adalah 'hadiah diplomatik'."
Gavin memberi isyarat untuk membawanya masuk. Itu adalah sebuah kotak beludru biru tua dengan lambang singa emas.
Gavin membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam saku antik yang indah, terbuat dari emas murni, jarumnya berhenti tepat di angka 12.
Di bawah jam itu, ada secarik kartu tulisan tangan yang sangat rapi….