Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Ia menatap kekasihnya itu sejenak untuk mencari kekuatan, Mencari alasan untuk tetap bernapas. Setelah itu, Aditya mengangkat wajahnya dan menatap ayahnya. Suara Aditya terdengar rendah dan dalam, penuh pergolakan batin yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Aku menerima syarat Ayah.”
Bahu Reina langsung menegang. Sementara Pak Arman perlahan bersandar pada kursi, membuat sudut bibirnya terangkat sangat tipis, pertanda kepuasan.
“Bagus, keputusan itulah yang seharusnya kamu berikan pada ayah jauh jauh hari,” ucap pak Arman dengan puas.
Namun Aditya belum selesai. Ia menatap ayahnya dengan tatapan matanya yang tajam meski jelas wajahnya memerah oleh tekanan batin.
“Tunggu sebentar ayah! Selain aku memberikan ayah apa keputusanku, aku juga ingin memberitahu ayah tentang keputusan ku juga selain setuju menikah dengan Alisha.”
Pak Arman mengerutkan keningnya dan Aditya menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas:
“Sebelum aku menikah dengan Alisha, aku akan menikah dengan Reina terlebih dahulu.”
Suasana ruangan berubah menjadi dingin dan membeku, Seolah udara tiba-tiba hilang dari tempat itu. Pak Arman menatap Aditya lekat-lekat, wajahnya berubah masam saat mendengar keputusan Aditya.
“Aditya—”
“Ayah tidak perlu protes,” potong Aditya dengan suaranya yang masih sopan namun tegas. “Aku sudah menerima syarat Ayah. Maka Ayah tidak berhak mengambil hak Reina sebagai perempuan yang aku cintai. Aku ingin menjadikan Reina sebagai istri pertama ku.”
Reina memejamkan matanya dengan erat, dadanya terasa sesak. Kata _istri pertama_ itu bukan sesuatu yang pernah ia bayangkan akan terucap ataupun terjadi dalam hidupnya, tetapi Aditya mengatakannya dengan ketegasan dan keberanian yang membuat air matanya hampir jatuh.
Pak Arman mengetukkan jarinya di meja, sementara rahangnya mengeras.
“Reina akan aku nikahi pada hari yang sama dengan pernikahan ku dengan Alisha,” lanjut Aditya. “Aku tidak akan mengizinkan acara pernikahan itu menjadi ajang mempermalukan Reina ataupun membuat nama baiknya rusak di hadapan semua orang.”
Pak Arman menatap putranya dengan sorot penuh kemarahan yang jelas berusaha ia tahan.
“Aditya,” suaranya rendah. “Kau—”
“Kalau Ayah tidak setuju,” Aditya mencondongkan tubuh ke depan sedikit, “maka aku tidak akan segan segan menarik kembali keputusanku, ayah.”
Pak Arman terdiam dan membuat suasana ruang kerja itu menjadi hening yang cukup panjang, Sangat panjang hingga Reina sampai bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Beberapa saat kemudian, Akhirnya wajah Pak Arman berubah. Kemarahan yang terlihat sangat jelas, serta ketakutan yang samar samar muncul di wajah tuanya. Ketakutan bahwa jika ia menolak, maka Aditya tidak akan menikahi Alisha.
Dan itu berarti rencananya akan gagal. Ia mengetuk meja sekali, lalu berkata dengan suara yang terdengar menahan banyak hal.
“Baik.”
Reina mengangkat wajahnya, tampak terkejut.
Aditya tetap diam, meski sorot matanya jelas memperlihatkan bahwa ia masih waspada dengan persetujuan ayahnya.
“Kau boleh menikahi Reina terlebih dahulu,” ucap Pak Arman dengan suara terpaksa. “Dan kau boleh menikahinya pada hari yang sama dengan pernikahanmu dengan Alisha. Ayah tidak akan menolaknya, asal kau tidak lupa dengan keputusan yang sudah kau katakan pada ayah, Aditya.”
“Tentu saja aku tidak akan melupakannya, ayah.” ucap Aditya dengan dingin.
Sore hari itu, kediaman keluarga Wiranegara terasa seperti sebuah istana yang sedang menahan badai. Dari luar terlihat megah dan kokoh, namun di dalamnya udara dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya kekuningan, menciptakan nuansa hangat yang justru terasa kontras dengan dinginnya hawa yang menyelimuti rumah itu.
Pak Arman berdiri di balik jendela besar ruang tamu, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana sambil mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai marmer. Dadanya dipenuhi rasa gelisah yang tak ia tunjukkan pada siapa pun, terutama pada Aditya, anaknya sendiri. Walau sorot matanya tegas, tetapi ada ketakutan yang bersembunyi di baliknya.
Aditya bisa saja berubah pikiran. Aditya bisa saja mencabut keputusannya.
Dan jika itu terjadi, seluruh rencana besar yang sudah ia susun sejak lama akan runtuh.
Ketika suara mobil berhenti di halaman depan, Pak Arman menegakkan tubuhnya. Ia menarik napas cepat cepat, seperti orang yang akan menghadapi pertempuran yang menentukan hidupnya.
Tak lama kemudian pintu pun dibuka oleh pelayan. Tuan Permadi melangkah masuk dengan jas hitamnya yang rapi, wajahnya menunjukkan wibawa seorang pemilik lembaga keuangan besar. Namun di balik itu, ada kekhawatiran yang selalu ia sembunyikan: kekhawatiran pada masalah yang sedang menghantam Bank Permadi—masalah yang ia tutupi dari semua orang. Termasuk dari calon besannya sendiri.
Di belakangnya melangkahlah Alisha yang tampak anggun, cantik, dengan senyum tipis yang selalu ia gunakan sebagai topeng. Gaun pastel yang ia kenakan bergerak lembut tiap kali ia melangkah sekaligus memberi kesan bahwa ia adalah putri sempurna yang dibesarkan untuk berada di puncak.
Namun hari itu, semua kesempurnaan itu terasa seperti hanya hiasan di atas tanah yang retak.
“Silakan duduk.”
Pak Arman mempersilakan dengan gestur kecil.
Ketiganya duduk di sofa ruang tamu. Beberapa saat kemudian pelayan meletakkan teh dan camilan di atas meja, tapi tidak ada satu pun dari pak Permadi dan juga Alisha yang bergerak menyentuhnya.
Keheningan menggantung terlalu lama. Hingga akhirnya Pak Arman membuka suaranya, suaranya tenang tapi sarat tekanan.
“Maafkan aku karena telah mengundang kau dan juga putrimu ke sini, Permadi. Aku melakukannya karena ada hal penting yang harus aku sampaikan mengenai rencana pernikahan Aditya dan Alisha.” ucap pak Arman yang membuat pak Permadi mengerutkan dahi.
“Apakah ada masalah? Bukankah semuanya sudah disepakati sejak awal.”
Pak Arman menelan ludahnya pelan. Suaranya sedikit menurun ketika ia mulai berbicara.
“Ada permintaan dari Aditya. Permintaan yang harus saya sampaikan dengan jujur.”
Alisha menegakkan punggungnya tanpa sadar dan membuat ayahnya menatap pak Arman dengan tajam.
“Permintaan apa?”
Suasana hening kembali turun sebelum akhirnya Pak Arman berkata pelan namun jelas.
“Aditya ingin menikahi gadis lain yang ia cintai. Dan ia ingin pernikahan itu dilangsungkan pada hari yang sama dengan pernikahannya bersama Alisha.”
Kata-kata itu jatuh seperti batu besar ke dalam ruangan yang sunyi. Pak Permadi membeku sementara Alisha mengerjap, wajahnya mendadak pucat sebelum berubah kemerahan oleh rasa ingin marah. Pak Arman tetap diam, membiarkan kata-katanya meresap ke dalam pikiran keduanya.
“Arman…” suara pak Permadi terdengar berat, seperti menahan ledakan yang siap meladak kapan saja. “Apa maksudmu? putramu ingin mempoligami putriku di hari pernikahannya? Kau pasti bercanda.”
Pak Arman menghela napas panjang.
Ia tahu ini akan terjadi. Ia tahu kalau calon besannya itu tidak terima jika putrinya diperlakukan dengan tidak adil seperti itu.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/