Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Duapuluh sembilan. senyum bahagia Gavin.
Karena aksinya gagal dan momennya sudah tidak pas lagi. Gavin tidak habis-habisnya mengumpat Martin.
"Ayo, sudah sore. Angin disini cukup kencang, aku antar kamu ke kamarmu."
"Hu-ph," tanpa memberi peringatan, Gavin mengangkat tubuh Bella.
"Eh, apaan," teriak Bella kaget saat tubuhnya digendong," aku bisa jalan sendiri. Turunkan aku."
"Aku mau gendong anakku. Sekalian saja sama ibunya." ucap Gavin dingin. Otot rahangnya mengeras. Aksinya tadi sudah gagal, membuat kepalanya mendadak pening.
Bella tidak berani lagi protes, melihat wajah Gavin yang mendadak berubah. Dilingkarkannya kedua lengannya ke leher Gavin. Kepalanya di rebahkan ke dada bidang itu.
Semoga saja tidak bertemu siapa-siapa di dalam rumah, batinnya. Malu rasanya harus berpapasan dengan Bik Nani dan pelayan lainnya.
Satu persatu anak tangga dilalui. Gavin melangkah santai. Seolah beban tubuh Bella seringan kapas. Padahal Bella merasa ngeri dalam gendongan Gavin. Dia menutup matanya dan tiba-tiba sudah sampai di kamarnya.
Gavin meletakkan tubuh Bella di atas tempat tidur. Bella membuka kedua matanya, saat dia merasakan tubuhnya menyentuh kasur empuk. Gavin menegakkan kepalanya setelah meletakkan tubuh Bella diatas tempat tidur. Tapi ada sesuatu yang menahan lehernya. Gavin mengulanginya. Menarik tubuhnya dan hendak meninggalkan Bella.
Tapi,
Kepala Gavin kembali tertarik dan menempel di wajah Bella. Bola mata Gavin membulat begitu juga dengan Bella. Bibir Gavin menempel tepat di atas bibirnya. Keduanya membeku sepersekian detik. Tidak menyadari apa yang telah terjadi sebenarnya.
Nafas keduanya beradu. Entah siapa yang memulai lebih dulu. Tiba-tiba bibir keduanya sudah menempel. Saling memagut. Dan sama-sama mendesah saat kehilangan nafas. Wajah keduanya bersemu merah saat menyadari apa yang barusan telah terjadi.
Gavin kembali menarik kepalanya, dan terulang lagi wajahnya menempel di wajah Bella. Diulang lagi kepala Gavin tidak bisa lepas dari lengan Bella.
Keduanya langsung menyadari ada yang tidak beres. Bella susah melepas lengan kanannya dari leher Gavin. Ternyata gelang Bella nyangkut di kerah kemeja Gavin.
Dengan tangan kirinya, Bella berusaha melepas gelang itu. Tapi gelangnya tidak mau lepas. Gavin menelusuri wajah Bella yang hanya berjarak beberapa centi dari wajahnya, dengan tatapannya.
Bibir merekah yang barusan dia lumat, empuk dan manis. Melahirkan sensasi aneh di dalam hati Gavin.
"Sudah, panggilkan saja Martin. Aku tidak bisa melepas gelangnya. Susah karena tidak bisa melihat nyangkut dimana." Bella berusaha menarik gelang itu, bukannya lepas malah Gavin merasa tercekik.
"Aduh, pelan-pelan Bella," desah Gavin sesak. Bukan karena lehernya yang serasa tercekik. Tapi karena andrenalinnya yang semakin kacau karena pikiran liarnya. Disebabkan posisi tubuh mereka yang saling menghimpit.
"Aku tidak bisa," keluh Bella putus asa. Dia menahan sesuatu di dalam tubuhnya. Sesuatu yang menjalari setiap ujung syarafnya.
Dia adalah wanita normal. Sudah sekian lama tidak disentuh oleh hangatnya belaian suami.
Melihat Bella tidak berhasil melepas gelang itu. Tiba-tiba sebuah ide timbul di benak Gavin. Dilepasnya kancing kemejanya itu. Seluruh tubuh Gavin terpampang di depan wajah Bella. Semburat merah mewarnai wajahnya.
Bella menutup kedua matanya. Saat melihat tubuh Gavin yang kokoh dan penuh kotak-kotak. Mengingatkannya pada roti sobek kesukaannya.
"Sudah lepas!" guman Gavin, setelah berhasil melepas pengait gelang Bella di leher kemejanya.
Bella membuka matanya. Dan menunduk, tidak berani menatap tubuh Gavin, yang belum beranjak dari tempat tidur.
Gavin, membetulkan gelang Bella, pengaitnya nyaris terlepas. Lalu kedua pasang manik mata itu saling menatap lekat.
Pandangan Gavin tertuju pada bibir ranum yang telah dikecupnya tadi. Bibir kenyal dan lembut, membuatnya begitu candu.
Gavin tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya. Sesuatu yang mendesak di dalam tubuhnya ingin segera dilepaskan.
Tanpa bisa menahan diri, Gavin kembali melumat bibir indah itu. Bella terkejut tapi dia tidak berdaya menolak. Meskipun dia sempat mencoba bertahan untuk tidak terbawa arus. Namun, reaksi tubuhnya sungguh diluar kendalinya.
Bella mendesah, ketika Gavin menawarkan kenikmatan. Sehingga tidak menyadari kalau seluruh pakaiannya telah dilucuti.
Setiap desahan yang keluar dari mulut Bella, membuat Gavin semakin bergairah. Keduanya berpacu mencapai puncak. Dan keduanya terkulai setelah mencapai pelepasan.
"Makasih ya, sayang," Gavin mengecup kening Bella, sesaat sebelum meninggalkan Bella. Dan kembali ke kamarnya.
**
Selesai membersihkan dirinya, ganti pakaian. Gavin mencari Martin di ruang kerjanya. Sepanjang menuruni anak tangga tanpa sadar Gavin bersiul. Membuat heran Bik Nani dan pelayan lainnya.
Sudah sekian lama kebiasaan itu tidak lagi dilakukan majikannya. Kok, tiba-tiba saja di sore ini dia bersenandung. Dan wajah itu tampak berseri. Hem, apa yang telah terjadi? Monolog Bik Nani.
Sepeninggal Gavin, Bella juga bergegas membersihkan tubuhnya. Semua pelakuan Gavin di tempat tidur membentang di pupil matanya.
Mereka telah mengingkari isi perjanjian kontrak itu. Keduanya sama-sama khilaf. Terbawa suasana. Karena dalam kontrak tidak ada kontak fisik diantara mereka.
Martin, melongo saat bosnya memasuki ruang kerjanya. Sudut bibirnya membentuk lekukan senyum. Dan yang paling membuatnya shock, bosnya bersenandung lewat siulan.
Apa bosnya barusan salah minum obat? Hmm, pastinya dia sudah dapat suntikan vitamin. Kikik Martin dalam hati saat tadi memergoki bosnya nyaris berciuman.
Bonusnya bulan ini bakalan batal dipotong.
"Telepon dari siapa?" Gavin tidak peduli tatapan aneh dari Martin. Hatinya sedang berbunga saat ini. Kesalahan asistennya tadi tak perlu diperpanjang. Bonusnya bulan ini harus didouble. Bila perlu semua karyawannya dan pelayan di rumahnya.
"Dokter Anwar, Bos. Beliau mengingatkan kapan bisa bertemu."
"Astaga!" Gavin menepuk jidatnya.
"Kenapa Bos. Kapan Bos buat perjanjian dengan beliau. Kenapa tidak ada di daftarku."
"Hmm, ini diluar bisnis. Dan aku lupa memberitahumu supaya mengingatkan. Coba telepon balik, kasih tahu besok kami bertemu, di tempat yang sama. Dan kasih tau bagian keuangan. Bulan ini semua dapat bonus dua kali lipat."
"Wao! Keren Bos. Bos memang yang terbaik," Martin mengacungkan jempolnya.
"Shit, kecuali satu orang. Kamu sama sekali tidak dapat!" seketika tubuh Martin terasa lemas. Disaat semua orang akan tersenyum bahagia, dia malah akan gigit jari.
Sungguh malang nian, nasibku. Desisnya dalam hati.
Gavin tersenyum tertahan, melihat paras Martin yang lesu. Sesekali asistennya ini perlu dikerjain. Sudah terlalu sering merecokinya disaat-saat tertentu.
"Kenapa? Kamu keberatan ya bonusmu dibatalkan."
"Tidak Bos," sahut Martin masih dengan wajah lesu.
"Ya, sudah. Sana kumpulin data-data Bella hasil penelitian kalian tempo hari."
"Bos, ada apa dengan Nona Bella?" Martin sedikit shock takut terjadi sesuatu padanya.
"Hei, kenapa ekspresimu seolah baru lihat hantu?" Gavin menatap heran Martin.
"Tidak apa-apa, Bos. Aku hanya tidak ingin Bos menyakitinya."
"Eh, dasar kecoak! Kenapa aku menyakiti Bella. Dirahimnya kan ada anak-anakku. Cepat, cari yang aku butuhkan itu." titah Gavin. Martin melesat pergi meninggalkan ruangan Gavin.
"Ada-ada saja." geleng Gavin tersenyum.***