NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rahasia Aurelia

Pesawat pribadi milik Leo mendarat mulus di Bandara Internasional Soekarno–Hatta sore itu. Langit Jakarta tampak cerah, namun udara panas dan lembap begitu kontras dengan dinginnya Swiss yang baru mereka tinggalkan.

Arinda memandangi jendela pesawat, matanya masih berbinar karena belum sepenuhnya percaya bahwa ia baru saja menjejakkan kaki di luar negeri. “Cepat sekali ya, Mbak Sofia,” gumamnya polos. “Tadi masih di Swiss, sekarang udah di Indonesia.”

Sofia yang duduk di sampingnya tersenyum lembut. “Iya, nona. Namanya juga pesawat pribadi, bukan pesawat biasa.”

Arinda terkekeh kecil. “Arinda kira semua pesawat sama, Mbak.”

Begitu pintu pesawat terbuka, barisan bodyguard sudah menunggu rapi di bawah. Mobil-mobil mewah berderet menanti, dengan sopir dan asisten masing-masing siap menjalankan tugas.

Leo turun lebih dulu bersama Adrian, wajahnya tampak tegas dan tenang meski penerbangan panjang baru saja usai. Di belakangnya, Aurelia turun dengan anggun, disambut sopir pribadi dan Maya yang sigap membawa koper.

Sementara itu, Sofia menggandeng lembut tangan Arinda yang tampak lelah. “Ayo, nona. Hati-hati menuruni tangganya.”

Arinda menatap sekeliling kagum — bandara, para pengawal, mobil-mobil hitam yang berjejer, semua terasa megah dan asing baginya.

Mereka segera diarahkan ke mobil masing-masing. Leo masuk ke mobil utamanya, hanya ditemani Adrian dan sopir. Para bodyguard mengiringi dari belakang, sementara mobil kedua ditempati oleh Aurelia, Maya, Arinda, dan Sofia.

Arinda duduk di kursi belakang, memandangi pemandangan kota Jakarta dari balik jendela mobil. Gedung tinggi dan jalan yang ramai membuatnya sedikit pusing.

“Jakarta panas banget ya, Mbak,” katanya sambil mengipasi wajahnya dengan tangan.

Sofia tersenyum sabar. “Makanya nanti kalau sudah sampai rumah, nona istirahat, ya.”

Setelah perjalanan sekitar satu jam, rombongan itu akhirnya sampai di rumah besar milik keluarga Leo — mansion megah yang berdiri di atas lahan luas, dengan gerbang hitam tinggi dan halaman depan seluas lapangan bola.

Begitu mobil berhenti, barisan pengawal segera menunduk hormat. Pintu mobil Aurelia dibuka lebih dulu oleh Maya.

“Turun dulu, Sofia, bantu nona Arinda,” perintah Aurelia tanpa menatap ke arah mereka.

Sofia langsung mengangguk dan keluar dari mobil. Ia menunggu di luar, lalu membukakan pintu untuk Arinda. “Ayo, nona kecil. Kita sudah sampai.”

Arinda melangkah pelan, matanya menatap rumah besar itu dengan takjub. “Rumahnya masih sama, tapi rasanya beda ya, Mbak. Di sini kayak sunyi.”

Sofia tersenyum samar. “Mungkin nona masih terbiasa suasana Swiss yang tenang dan sejuk.”

Setelah Arinda dan Sofia masuk lebih dulu, Aurelia menyusul di belakang bersama Maya. Langkahnya anggun namun tegas, menunjukkan wibawa sebagai nyonya besar rumah itu. Di belakang mereka, Leo baru turun dari mobilnya. Wajahnya tampak datar, namun sedikit lelah.

Ia berjalan lurus tanpa banyak bicara, hanya memberi instruksi singkat pada Adrian.

“Beri tahu Arinda, aku ke kantor. Ada rapat mendadak.”

“Baik, Tuan,” jawab Adrian cepat.

Tanpa sempat beristirahat, Leo kembali masuk ke mobil dan pergi menuju kantornya di pusat kota. Mobil hitam itu melaju pelan meninggalkan halaman rumah, sementara Arinda menatap dari jendela, bibirnya mengerucut kecil.

“Mas Leo kerja lagi, ya, Mbak?” tanyanya pelan pada Sofia.

“Iya, nona. Tuan memang sangat sibuk.”

Rumah besar itu kini terasa sepi. Suara langkah kaki para pelayan dan suara roda koper yang digeret Maya dan Sofia menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar.

“Letakkan koper ku di kamar,” ucap Aurelia pada Maya. “Dan koper nona Arinda bawa ke lantai tiga, Sofia. Biar dia langsung istirahat.”

“Baik, Nyonya,” jawab Sofia sopan.

Lift pribadi terbuka dengan suara lembut. Sofia menuntun Arinda masuk.

“Nona, kita naik ke atas, ya. Tuan pasti mau nona istirahat setelah perjalanan jauh.”

Arinda hanya mengangguk pelan, menatap ke bawah. “Iya, Mbak. Arinda capek juga.”

Begitu pintu lift menutup, Aurelia menghela napas panjang.

“Maya, siapkan ruang tamu. Akan ada tamu sore ini,” katanya tenang tapi dingin.

“Baik, Nyonya. Siapa tamunya?”

“Teman lama. Jangan beri tahu siapa pun, apalagi Tuan.”

Nada suaranya membuat Maya terdiam dan menunduk.

“Baik, Nyonya,” jawabnya pelan.

Lift berhenti di lantai tiga. Pintu terbuka, menampilkan koridor panjang yang sepi dan harum. Sofia memegangi koper Arinda sambil menuntunnya masuk ke kamar.

“Sudah sampai, nona. Sekarang istirahat dulu, ya.”

Arinda tersenyum lembut. “Terima kasih, Mbak Sofia. Arinda mau mandi dulu, boleh?”

“Tentu, nona. Air hangat saya siapkan.”

Sofia menunduk sopan lalu keluar, menutup pintu dengan hati-hati.

Kini, hanya keheningan yang tersisa di kamar luas itu. Arinda berdiri di tengah ruangan, memandangi koper besar dan jendela yang menghadap taman belakang.

Hatinya terasa aneh.

Ia seolah kembali ke dunia yang penuh aturan, diam, dan rahasia.

Berbeda dengan Swiss, di mana ia bisa tertawa bebas di bawah salju.

“Mas Leo kerja lagi…” gumamnya pelan. Ia tersenyum tipis lalu menatap langit-langit kamar. “Arinda doain, semoga mas nggak capek.”

Sore itu, langit Jakarta berwarna oranye keemasan. Hembusan angin lembut menerpa dedaunan di taman besar yang tampak tenang di bawah sana. Dari balkon kamar lantai tiga, Arinda berdiri sambil menghirup Udara sore yang hangat.

“Hmm… udara Jakarta tetap berisik ya,” gumamnya polos sambil menghela napas. Ia bersandar di pagar balkon, menatap jauh ke arah taman yang biasa dipakai Aurel bersantai.

Namun, sesuatu membuatnya berhenti tersenyum.

Pandangan matanya menangkap dua sosok di bawah — Aurelia, dan seorang perempuan asing berambut panjang bergelombang. Awalnya, Arinda pikir itu hanya tamu biasa. Tapi detik berikutnya, matanya membulat besar.

Perempuan itu… mencium bibir Aurelia.

Arinda langsung menutup mulutnya dengan tangan, mata membesar seperti baru melihat hantu. “A–apa itu tadi?” bisiknya gugup. Nafasnya tercekat, jantungnya berdetak kencang tak karuan. Ia menatap sekali lagi untuk memastikan.

Dengan panik, Arinda mundur beberapa langkah dan hampir tersandung karpet.

“Ya ampun, tadi Arinda lihat apa…” gumamnya dengan wajah pucat. Ia ingin berteriak, tapi takut salah bicara.

Tak berpikir panjang, Arinda berlari ke pintu, hendak mencari Sofia. Tapi begitu pintu dibuka, tubuhnya malah menabrak dada bidang seseorang. Ia menengadah, dan di sanalah Leo berdiri — masih dengan kemeja kerja, wajah dingin, dan mata yang tajam seperti biasa.

“Baby, kenapa?” tanya Leo pelan, melihat mata istrinya yang memerah dan napas tersengal.

Tanpa menjawab, Arinda langsung menarik tangan Leo dengan panik. “Mas, ayo! Arinda lihat sesuatu!” suaranya lirih tapi tergesa.

Leo mengernyit heran namun mengikuti langkah kecil istrinya menuju balkon. Arinda menunjuk dengan tangan gemetar ke arah taman. “Tadi, mas, Arinda lihat Mbak Aurel sama perempuan… terus mereka…” suaranya terputus, ia menunduk, wajahnya merah padam. “Mereka ciuman, mas.”

Leo mematung beberapa detik. Tatapannya berubah gelap, rahangnya mengeras. Ia tahu, rahasia itu akhirnya terlihat oleh mata polos Arinda. Perlahan, ia merangkul bahu istrinya yang masih gemetar, lalu menariknya ke dalam pelukan.

“Baby,” ucap Leo dengan nada rendah dan dalam, “apa yang kamu lihat barusan… jangan pernah kamu ceritakan ke siapa pun, paham?”

Arinda mendongak dengan mata yang masih berkaca-kaca. “Tapi, mas, itu… Mbak Aurel, dia…”

Leo menghela napas panjang, menatap jauh ke luar jendela sebelum kembali menatap istrinya. “Mas sudah tahu dari dulu,” katanya datar namun berat. “Aurel memang seperti itu. Dia… bukan penyuka laki-laki.”

Kata-kata itu seperti petir bagi Arinda. Wajahnya langsung berubah pucat pasi. “Jadi… jadi bener, mas tahu? Arinda pikir Arinda salah lihat…” katanya lirih. Ia masih terlihat bingung, dan takut bersamaan.

Arinda menatap Leo tak percaya. “Berarti… berarti mas nggak cinta sama Mbak Aurel?”

Leo tersenyum kecil, senyum yang samar tapi jujur. “Tidak, baby. Mas tidak pernah mencintainya. Tapi semua orang di luar sana harus percaya bahwa dia istri satu-satunya, demi melindungi kamu juga.”

Arinda diam. Kepalanya menunduk, jarinya saling meremas. Ia masih belum mengerti sepenuhnya, tapi hatinya mulai memahami bahwa dunia Leo jauh lebih rumit dari yang ia bayangkan.

“Mas… Arinda takut,” katanya lirih. “Kalau Mbak Aurel tahu Arinda ngelihat, nanti gimana?”

Leo mengangkat dagu Arinda dengan lembut, menatap matanya dalam-dalam. “Selama kamu sama mas, nggak akan ada yang berani nyentuh kamu. Paham?” katanya tegas namun penuh proteksi.

Air mata Arinda jatuh juga. “Arinda nggak nyangka, mas. Arinda pikir Mbak Aurel cuma dingin aja, ternyata…” ia menutup mulutnya sendiri, tidak berani melanjutkan.

Leo menariknya kembali ke dalam pelukan hangat. “Kamu masih terlalu polos, baby. Dunia ini nggak sesederhana hati kamu. Tapi justru itu yang mas suka.”

Arinda hanya diam, mendengar degup jantung Leo yang teratur di dada bidangnya. Ia merasa aman, tapi juga bingung. “Jadi, mas nikah sama Arinda karena Mbak Aurel begitu?” tanyanya lagi dengan nada lirih dan polos.

Leo menghela napas dalam-dalam, menatap wajah mungil itu dengan campuran iba dan cinta. “Mas menikah sama kamu karena mas mau melindungi kamu, bukan karena Aurel. Tapi kalau bukan karena keadaan, mungkin mas nggak akan bisa punya alasan buat deketin kamu secepat itu.”

Arinda menatapnya dengan mata berbinar, antara kaget dan tersipu. “Berarti… mas udah suka sama Arinda?”

Leo menatapnya lekat-lekat. “Mas jatuh cinta waktu pertama kali lihat kamu nangis di taman belakang rumah.”

Wajah Arinda memerah seketika, pipinya panas. “Mas, Arinda malu…” katanya sambil menunduk, suaranya kecil seperti anak kecil yang ketahuan bohong.

Leo tersenyum samar lalu mengecup keningnya lembut. “Jangan takut lagi, ya. Apa pun yang kamu lihat hari ini, cukup kamu simpan dalam hati. Mas yang tanggung jawab sama semuanya.”

Arinda mengangguk pelan, lalu memeluk Leo lebih erat. Dalam hati kecilnya, ia masih kaget dan takut — tapi juga merasa hangat karena tahu satu hal pasti:

meski dunia Leo penuh rahasia, hanya di pelukan Leo-lah ia merasa aman.

1
panjul man09
alur ceritanya sedikit berbeda dgn novel2 biasanya dan itu nilai plusnya , menarik.
panjul man09
kalo aurel bersikap baik pada arinda seterusnya , tentu ini nilai plus bagi novel ini , karna tidak mengikuti kisah2 novel yg lain yg banyak drama menyrdihkan di alami istri kedua yg miskin.
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!