Menikah? Yeah!
Berumah tangga? Nanti dulu.
Begitulah kisah Inara Nuha (21 tahun) dan Rui Naru (25 tahun). Setelah malam pertama pernikahan mereka, kedatangan Soora Naomi mengguncang segalanya. Menghancurkan ketenangan dan kepercayaan di hati Nuha.
Amarah dan luka yang tak tertahankan membuat gadis itu mengalami amnesia selektif. Ia melupakan segalanya tentang Naru dan Naomi.
Nama, kenangan, bahkan rasa cinta yang dulu begitu kuat semuanya lenyap, tersapu bersama rasa sakit yang mendalam.
Kini, Nuha berjuang menata hidupnya kembali, mengejar studi dan impiannya. Sementara Naru, di sisi ia harus memperjuangkan cintanya kembali, ia harus bekerja keras membangun istana surga impikan meski sang ratu telah melupakan dirinya.
Mampukah cinta yang patah itu bertaut kembali?
Ataukah takdir justru membawa mereka ke arah yang tak pernah terbayangkan?
Ikuti kisah penuh romansa, luka, dan penuh intrik ini bersama-sama 🤗😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15 Naru menyentuh
^^^Adeg an Dewa Sa^^^
^^^Kalo nggak syuki skip aja 😑^^^
Naru menyentuh bahu istrinya, “Kamu memang sulit kumengerti, Nara… tapi aku tetap mencintaimu.” Tatapannya melembut, menatap bibir yang masih bersemu biru. Gemetar lembut bersama tubuh.
Nuha tak berani membalas pandang. Naru mendekat sedikit, “Lihat aku…” bisiknya.
Begitu Nuha mengangkat wajah, Naru mengecup bibirnya perlahan lalu melepasnya. Nuha terpejam, “Maaf… Kalo aku sering bikin kamu bingung.”
Naru tersenyum tipis, menyelipkan helai rambut di belakang telinganya. “Bingung sih, iya… tapi aku juga jatuh cinta tiap kali kamu begini.”
Pasrah dalam keheningan yang lembut itu, Nuha membiarkan ciuman itu lama, membiarkan suaminya menyentuhnya lebih dalam. Naru sangat rindu, rindu ingin kembali mencumbu.
"Aku suka membaca manga romance. Dan tiap kali ada adegan intim, aku ingin melakukannya bersamamu," telapak tangan kirinya perlahan menjadi bantal kepala Nuha di kaca mobil, menuntun punggung itu bersandar. Bibirnya terus mengecup, memberi nafas hangat ke setiap bagian tubuh Nuha yang dingin.
Jemari tangan kanan melepas satu persatu kancing cardigan warna fuchsia itu dan terlihatlah dress simple tanpa lengan. Kulit itu dingin dan pucat, menampakkan pesona yang tiada tara.
"Naru, apa yang mau kamu lakuin?" Nuha mencegah tangan yang mulai menjelajahi kulit paha. "Ini... Ini terlalu mendadak. Aku, belum siap."
"Tapi kondisimu menunjukkan kalo kamu siap," bibir Naru menyesap leher istrinya. Nuha sebisa mungkin menahan desahan. "lihat, bahkan bra basah kamu aja godain aku. Ceroboh sekali," kesalnya lalu mencubit pucuk buah yang sangat dia sukai.
"AAKHH!!"
"Buka pahamu lebih lebar, aku ingin menyapa bunga clitoria yang sudah lama enggak aku semai."
"Ja-- jangan aneh-aneh!" Nuha memekik ketika kepala suaminya sudah semakin rapat di sana. "Naru! Jangan lakuin itu! Aku-- aku belum pernah!"
"Pernah kalo dengan suamimu," lidah Naru menjelajah semakin dalam. Kecupannya lembut hingga mengubah kepanilan istrinya menjadi helaan nafas yang terengah-engah.
"Cu-- cukup..."
"Masih belum." Naru memasukkan dua jarinya ke dalam sana. Seketika Nuha menutup wajahnya. "Please... Jangan. Jangan lakuin itu..."
Naru memeluknya "Berikan aku hakku, cinta. Seminggu tiga kali. Atau kalau kamu menolak, aku akan melakukannya sekarang. Sebelum kamu menolakku selamanya."
"I-- itu nggak mungkin..."
"Jadi boleh?"
"Jujur, aku takut. Bagaimana aku mengendalikan diriku kalo itu beneran masuk. Aku takut, apa harus... Harus seperti ini hubungan suami istri?" intipnya.
"Astaga... Kupikir apa," tanpa negosiasi lagi, belalai itu menyentuh pintu. "Kamu istri sahku. Dan ini, akan menjadi hal yang wajar. Kamu pasti nggak bakal takut aku giniin, malah mau minta lagi."
Nuha mengerjap pelan, matanya berusaha melihat tapi kembali ia tutup dengan telapak tangan.
Naru mendekatkan bibirnya. “Tenang saja, anggap ini adalah dongeng pengantar tidurmu," kecupnya. "Aku akan buat kamu tertidur. Nanti kalau kamu bangun, udah sampai rumah.”
Gerakan lembut itu, ditambah hangat tubuh Naru yang berpadu dengan dinginnya hujan, membuat Nuha perlahan terlelap. Nafasnya tenang, setelah suaminya berkali-kali menciumi bibirnya. Matanya tertutup sempurna.
Naru tersenyum kecil, menatap wajah yang selalu berhasil meluruhkan kerasnya hati. “Kamu tuh baik, tapi kadang nyebelin. Kalau udah begini… siapa yang bisa marah? Baumu, kecampur pria lain,” gumamnya lirih.
Ia lalu menyalakan mesin mobil, melajukan kendaraan perlahan menembus hujan yang mulai reda. Jalanan licin, lampu kota berpendar di kaca depan. Hanya suara mesin dan detak wiper menemani perjalanan pulang mereka malam itu.
Sesampainya di rumah, Naru segera turun dan membuka pintu belakang. Ia membopong tubuh Nuha yang masih tertidur dengan bridal style. Tubuh wanita itu ringan, aroma kemejanya samar tercium di tubuh rampingnya.
Begitu masuk ke ruang tengah, suara lembut menyambutnya. “Ara ara, Naru-kun…” ujar ibunda dengan senyum menggoda. “Udah lama kamu nggak bawa Nuha pulang, sekali pulang langsung digendong kayak pengantin baru. Dengan kemejamu pula~”
Naru mendecak kecil, pipinya menegang malu. “Bunda…” katanya pelan. “Dia kehujanan, bajunya basah semua. Aku kasih kemejaku.”
Sang ibunda terkikik, menutup mulutnya dengan punggung tangan. “Ohho ho ho~ Bunda ngerti. Tapi Bunda seneng banget lihat kalian begini. Udah kayak drama Jepang. Ajak dia bikin anak ya di kamar. Bunda udah pingin cucu.”
“Bunda…” Naru memutar bola matanya, lalu berujar lembut, “Biarkan Nuha tidur dulu. Dia kedinginan.”
“Tentu. Bunda suruh Bi Idah siapin makan malam. Pokoknya nanti Nuha harus ikut makan bareng kita, ya. Udah lama banget Bunda nggak lihat dia tertawa di meja makan.”
Naru mengangguk, “Baiklah.”
Ia membaringkan Nuha di ranjang hangat, menatapnya sejenak sebelum berbisik pelan, "Selamat tidur, sayang." Saat Naru keluar kamar, langkahnya langsung terhenti.
“Hayooo, Naru-Oni!” suara ceria memecah keheningan. Dina, adik perempuannya yang baru berusia tujuh belas tahun, sudah berdiri di depan pintu dengan senyum jail. “Bawa Nuha-One pulang, ya? Aku boleh tengok nggak? Boleh ya, boleh dong, boleh banget kaaann…”
Naru mengembuskan napas panjang sambil menepuk dahinya. “Ya ampun… di rumah ini, nggak ada yang nggak kemayu ya? Bunda genit, kamu juga centil.” sentilnya di dahi adiknya.
Dina manyun, “Yaelah, Kak. Aku cuma kangen sama Kak Nuha. Pasti cantik banget tuh meskipun lagi tidur~”
Naru akhirnya terkekeh kecil, “Oke, Kalo gitu, nanti bantu dia dandan secantik mungkin. Tapi janji… jangan gangguin tidurnya dulu. Dan jangan buka selimutnya!” Nadanya menekan di kalimat terakhir.
Dina langsung mengacungkan dua jari membentuk huruf V. “Yokai, Onichan!” katanya dengan gaya anime yang kebiasaan dia tiru.
Sementara Naru menghampiri ibunda yang duduk sendiri di ruang tengah, aroma teh melati menguar lembut. Namun, raut wajah wanita itu tampak lelah, bukan lelah fisik, melainkan lelah yang lahir dari diam dan curiga. Dengan anggun, ibunda menyeka air di ujung matanya dengan tisu.
Meski sosoknya anggun dan berwibawa, seorang wanita karier pemilik yayasan pendidikan terbesar di kota ini, tetap saja, urusan hati membuatnya rapuh seperti wanita pada umumnya.
“Ada apa, Bunda?” tanya Naru pelan, ikut duduk di sisinya. Bertanya dengan nada lembut.
Wanita itu menghela napas panjang sebelum menjawab. “Ayahmu... belakangan ini jarang sekali pulang ke rumah.” Ia menatap kosong ke arah cangkir tehnya, uapnya menari seolah menggambarkan pikirannya yang berputar.
“Pulang selalu larut malam, kadang bilang rapat, kadang bilang ada tamu penting. Tapi anehnya, baju dan parfum yang dipakainya… nggak sama seperti yang biasa.”
Ia menahan getir di dadanya. “Dulu, kalau berangkat kerja, dia selalu pamit sambil nyium kening Bunda. Sekarang... cuma bilang ‘Aku berangkat dulu’ sambil lihat layar ponsel. Ponsel itu pun sekarang dikunci, bahkan dibawa ke kamar mandi.”
Naru terdiam.
Ia tahu, itu bukan sekadar kecurigaan kosong, itu suara hati seorang istri yang mulai kehilangan tempatnya.
“Bunda, kami semua ada di sini. Nggak akan biarin Bunda sendirian,” ucapnya pelan, mencoba tersenyum menenangkan. “Kalau Ayah beneran melakukan hal yang melenceng… Naru sendiri yang akan urus dia.”
Ibunya hanya menatap kosong ke arah taman yang terlihat dari jendela. Jemarinya saling bertaut di pangkuan, tenang tapi gemetar halus.
“Naru…” suaranya lembut tapi dalam. “Rumah tangga itu nggak bisa ditebak. Awalnya selalu manis. Terasa hangat, penuh tawa, seolah nggak akan pernah pudar… tapi kita nggak tahu apa yang menunggu di baliknya.”
“Bunda?”
Wanita itu tersenyum samar. “Padahal usia pernikahan kami sudah menyentuh senja. Harusnya kami menikmati waktu pensiun bersama, menunggu cucu… bukan saling diam di dua ujung rumah yang terasa asing.”
Lalu ia menatap putranya dengan sorot mata yang tampak kuat tapi berkilat air mata yang ditahan. “Naru, jagain Nuha baik-baik.”
Ia menghela napas panjang. “Jangan sampai kamu khianati dia. Wanita itu… rapuh, Nak. Mereka kuat, tapi kekuatan itu sering kali cuma topeng, demi menutupi hati yang takut hancur.”
Suaranya kini seperti bisikan doa. “Kalau kamu mencintainya, cintailah dengan cara yang tenang. Jangan biarkan dia menunggu dalam kesepian seperti Bunda.”
“Naru yakin,” ucap Naru perlahan, menatap ibunda dengan mata yang mantap tapi teduh. “Naru bisa setia selamanya sama Nuha. Ibunda nggak perlu cemas.”
Ia menunduk sejenak sebelum melanjutkan, “Naru akan kembalikan suasana rumah ini kembali hangat. Membawa ayah kepelukan bunda lagi.”
Wanita itu menatap putranya lama, seolah ingin berkata sesuatu tapi hanya mengelus tangan Naru pelan. Karena jika lanjut, air mata yang ditahan itu akan pecah berantakan.
Ya… begitulah seorang Rui Naru.
Selalu menyimpan banyak janji di balik diamnya, selalu ingin melindungi semua orang yang ia cintai, meski hatinya sendiri sering berdarah.
Tapi bagi Naru, semua itu bukan beban. Itu adalah bentuk cinta. Cinta yang menuntunnya untuk tetap bertahan.
.
.
. ~Bersambung...
kanaya tau kebusukan suami & sahabatnya, gak ya?
itu baru emak singa betina yang classy banget!! Bicaranya lembut, tapi nancep kayak belati dari sutra.
“Aku ada bersama mereka.”
langsung pengen slow clap di meja makan
👏👏👏
Pas diserang dari segala penjuru masih bisa bilang “Aku percaya sama Naru.” Uuuuhh, emak langsung pengen peluk dia sambil bilang, “Nak, sabar ya… dunia emang keras, tapi jangan kasih Naomi menang!” 😤😤😤
chill naik sampe ubun-ubun, sumpah 🔥😱
“She said: don’t mess with my daughter-in-law,, mother-in-law supremacy era!!! 👊👊👊