“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersipu Malu
Pagi datang dengan pelan, seperti enggan mengganggu keheningan yang masih menggantung di kamar itu. Cahaya matahari menyelinap lewat celah tirai, menari pelan di dinding, menyentuh selimut yang masih membungkus dua tubuh yang saling bersandar.
Linda membuka mata perlahan. Matanya masih terasa berat, tubuhnya terasa hangat dan... ada yang aneh. Dia menoleh pelan, mendapati Adam masih tertidur di sampingnya, wajahnya tenang, napasnya teratur. Selimut menutupi mereka berdua, tapi Linda bisa merasakan kulit Adam menyentuh kulitnya. Dekat. Sangat intim. Dan nyata.
Deg!
Semalam....
Linda buru-buru memalingkan wajah, pipinya memanas. Dia menarik selimut lebih tinggi, menutupi dada dan lehernya, seolah selimut itu bisa menyembunyikan rasa malu yang tiba-tiba menyerbu.
Apa yang terjadi semalam?
Dia dan Adam....
Apa itu nyata?
Linda menggigit bibirnya, mencoba mengingat setiap detail.
Sentuhan.
Bisikan.
Tatapan.
Dan rasa... yang tak bisa dia definisikan dengan kata-kata. Tapi, tubuhnya tahu. Terutama bagian tubuhnya yang kini terasa nyeri dan sedikit perih, yang membuatnya meringis pelan.
Seketika Linda menegakkan tubuhnya, lalu buru-buru duduk di tepi ranjang, membelakangi Adam. Gerakannya pelan, dan terlihat canggung. Dia menatap lantai, jari-jarinya menggenggam ujung selimut.
“Linda?”
Suara itu membuatnya menegang. Adam sudah bangun. Suaranya serak, masih berat karena baru bangun tidur.
Linda tidak menoleh, wajahnya merona, tersipu malu. “Aku... mau ke kamar mandi dulu.”
Adam mengangguk pelan meski Linda tak melihatnya. “Oke.”
Linda segera berdiri, langkahnya pelan dan sedikit kaku. Rasa ngilu itu masih terasa, tapi bukan hanya fisik, ada gelagat salah tingkah yang tidak bisa dia sembunyikan. Dia buru-buru masuk ke kamar mandi, menutup pintu perlahan, lalu bersandar pada dinding kamar mandi yang dingin.
Wajahnya memerah. Dia menatap bayangannya di cermin. Rambutnya berantakan, lehernya ada bekas merah, dan matanya... tampak berbeda. Ada sesuatu yang berbeda dari pandangannya. Sesuatu yang belum berani dia akui.
Di sisi lain....
Adam duduk di ranjang, bersandar pada sandaran kepala. Dia menatap pintu kamar mandi yang tertutup, lalu menghela napas. Ada senyum kecil di wajahnya, tapi juga keraguan.
Apa dia menyesal?
Batinnya bergemuruh. Khawatir kalau Linda menyesal atas apa yang telah terjadi semalam.
Saat Linda keluar dari kamar mandi, wanita itu kembali melangkah buru-buru menuju walk in closet, memakai pakaian kerjanya dengan gesit, lalu keluar dari ruangan itu dengan perasaan canggung.
Langkahnya pelan, matanya tak berani menatap langsung ke arah Adam.
“Pagi,” sapa Adam pelan.
Linda mengangguk dengan senyum kikuk. “Pagi.”
Keheningan kembali mengisi ruang. Tapi bukan keheningan yang dingin. Ada rasa malu, ada gengsi, tapi juga ada kehangatan yang belum mereka tahu cara mengungkapkannya.
Adam berdiri, perlahan mendekat. “Kamu baik-baik aja kan? Apa... sakit?”
Linda menunduk malu. “Sedikit sakit,” ucapnya, hampir seperti sebuah bisikan.
Adam mengangguk pelan. “Aku minta maaf kalau terlalu....”
Linda menggelengkan kepala, menyelanya. “Enggak. Itu bukan salahmu. Kita melakukannya... karena sama-sama mau.”
Mereka saling diam. Lalu, Adam tersenyum kecil. “Aku enggak tahu harus ngomong apa sekarang,” jujurnya.
“Aku juga.”
Tapi saat mata mereka bertemu, ada sesuatu yang tak perlu dijelaskan. Sesuatu yang tumbuh pelan, seperti benih yang baru saja menyentuh tanah yang subur.
Mereka belum berani menyebutnya cinta. Tapi pagi itu, di antara canggung dan malu, mereka tahu bahwa mereka bukan lagi dua orang asing.
...***
...
Suara denting sendok yang bertemu piring porselen terdengar pelan di ruang makan.
Aroma roti panggang dan telur rebus mengisi udara, bercampur dengan wangi kopi yang baru diseduh.
Linda duduk di salah satu kursi makan, pakaian kerjanya sudah melekat rapi, walau rambutnya masih diikat asal.
Adam duduk di seberangnya, mengenakan kemeja abu-abu dan celana formal berwarna hitam. Dia tampak tenang, tapi matanya sesekali mencuri pandang ke arah Linda, lalu buru-buru kembali menunduk ke arah piringnya.
Keheningan itu... tidak menjadikan suasana terasa dingin. Tapi penuh getaran kecil yang tak bisa mereka definisikan.
Linda mengangkat cangkir kopinya, lalu berdehem pelan. “Kopinya... enak.” Dia berkomentar.
Adam mengangguk, tersenyum kecil. “Aku minta Bu Ida pakai kopi yang kamu simpan di rak atas. Yang kamu bilang ‘jangan disentuh kecuali darurat’.”
Linda menahan senyum, lalu menunduk. “Ya... itu robusta, terlalu kuat untuk diminum jika tidak ingin kesulitan tidur.”
Adam tertawa pelan, suara tawanya membuat Linda ikut tersenyum, meski masih malu-malu.
“Telurnya... terlalu matang ya?” Adam bertanya, sedikit berbasa-basi untuk mencairkan suasana yang masih terasa canggung.
Linda menggeleng. “Enggak. Aku suka yang begini. Enggak terlalu lembek.”
Mereka kembali diam. Yang terdengar hanya suara denting sendok yang beradu dengan piring.
Adam kembali menatap Linda setelah memakan satu suapan, memberanikan diri untuk bicara. “Kamu... bagaimana tidurmu, apa kamu tidur nyenyak?”
Linda berhenti mengunyah, lalu mengangguk pelan. “Lumayan. Tapi pas bangun, tubuhku rasanya sedikit sakit.”
Adam langsung menunduk, wajahnya memerah. “Maaf....”
Linda buru-buru menggeleng. “Bukankah sudah aku bilang, kamu enggak salah, jangan minta maaf terus. Beberapa bagian tubuhku yang sedikit sakit... mungkin karena masih butuh penyesuaian. Bagaimanapun, ini pertama kalinya untukku.”
Mereka saling menatap sejenak, lalu sama-sama menunduk, tersenyum malu.
“Kamu sendiri gimana? Apa tidurmu nyenyak?”
“Ya, lumayan juga. Aku bangun beberapa kali,” jawabnya.
“Kenapa?”
“Takut kamu nyesel terus kabur diam-diam,” guyonnya.
Linda tertawa kecil. “Aku enggak mungkin kabur.”
“Ya, aku tau itu.”
Ada jeda sejenak. Sebelum akhirnya Linda bicara dengan suaranya yang pelan. “Aku enggak menyesal, Mas.”
“Kamu yakin?” tanya Adam. Sejak tadi dia ingin menanyakan hal itu langsung, tapi mulutnya selalu melontarkan kalimat lain. Dia takut mendapatkan jawaban yang membuatnya merasa bersalah. Tak disangka, Linda justru mengutarakannya sendiri. Dan itu membuat Adam merasa lega.
“Iya.”
“Syukurlah,” gumam Adam, pelan. Dia mengangkat wajahnya, matanya memandang Linda hangat. “Aku juga enggak.”
Linda tak tahu harus menjawab apa. Lagi-lagi mereka kembali diam.
Beberapa saat kemudian, Linda mengambil roti panggang, lalu menyodorkannya ke arah Adam.
“Mau roti selai cokelat?” tawarnya, berusaha mencari obrolan dan bersikap wajar agar perasaan canggung dan salah tingkahnya tak lagi merajai.
Adam mengangguk, lalu mengambil roti itu dari tangan istrinya. Jari mereka tak sengaja bersentuhan sebentar. Singkat. Tapi cukup untuk membuat jantung mereka berdebar lagi.
Linda menarik tangannya cepat, lalu pura-pura sibuk mengaduk kopi.
“Kamu... ada jadwal apa hari ini?”
“Ada meeting jam sebelas nanti. Pagi ini... aku sengaja kosongin.”
Linda menatapnya dengan kening berkerut. “Kenapa?”
Adam tersenyum. “Karena aku pengen sarapan sama kamu.”
Linda tersipu. Lalu tersenyum kecil, kembali menunduk, menyembunyikan rona di pipinya.