Maya hanya ingin satu hal: hak asuh anaknya.
Tapi mantan suaminya terlalu berkuasa, dan uang tak lagi cukup.
Saat harapan habis, ia mendatangi Adrian—pengacara dingin yang kabarnya bisa dibayar dengan tubuh. Dengan satu kalimat berani, Maya menyerahkan dirinya.
“Kalau aku tidur denganmu... kau akan bantu aku, kan?”
Satu malam jadi kesepakatan. Tapi nafsu berubah jadi candu.
Dan
permainan mereka baru saja dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EvaNurul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
STRATEGI DI BALIK PINTU TERTUTUP
Langit sore Jakarta sudah meredup ketika Maya berdiri di depan pintu apartemen mewah itu. Dindingnya tinggi, catnya putih bersih, dan ada aroma samar parfum maskulin yang keluar begitu pintu terbuka. Adrian berdiri di sana, kemeja putihnya masih rapi, lengan digulung sampai siku. Pandangannya singkat, hanya sekilas, lalu memberi isyarat masuk.
Ia melangkah pelan, matanya menyapu ruang tamu yang luas dan dingin. Sofa kulit hitam, rak buku penuh file dan berkas, meja kaca yang di atasnya hanya ada laptop, secangkir kopi, dan tumpukan map. Tidak ada foto keluarga. Tidak ada tanda kehidupan selain ketertiban yang terlalu sempurna.
"Aku sudah siapkan berkas yang kamu kirim kemarin," ucap Adrian, duduk di kursi. "Kita mulai dari sini. Duduk."
Maya duduk di seberang. Tangannya saling menggenggam erat di pangkuan.
"Pertama, aku mau tahu detail keuangan Reza. Semua. Termasuk yang kamu anggap sepele."
"Aku cuma tahu sebagian. Setelah dia keluar dari rumah, kami jarang komunikasi. Dia… dia cuma datang untuk jemput Nayla kadang-kadang."
"Dia kerja di mana sekarang?"
"Masih di perusahaan yang sama. Tapi aku dengar dia buka usaha sampingan. Restoran kecil."
Adrian mengetik cepat di laptop. "Itu bisa jadi poin masuk. Kalau dia punya usaha, ada penghasilan tambahan. Bisa kita gunakan untuk menghitung kewajibannya."
Maya mengangguk, mencoba fokus, tapi dadanya berat. "Adrian… kalau dia bawa-bawa orang itu ke pengadilan, apa itu akan mempengaruhi posisi aku?"
"Orang itu?" alis Adrian sedikit naik.
"Perempuan yang dulu… dia selingkuh sama Reza."
Suasana hening sebentar. Adrian menutup laptopnya. "Maya, aku butuh kamu jelasin semuanya. Dari awal. Jangan ada yang disembunyikan. Sekecil apa pun."
Maya menarik napas dalam, pandangannya jatuh ke lantai. "Kami menikah hampir enam tahun. Awalnya… dia baik. Perhatian. Tapi setelah setahun, mulai sering pulang malam. Katanya kerja. Aku percaya. Sampai suatu hari, aku… aku lihat sendiri dia keluar dari hotel sama perempuan itu."
Suaranya mulai bergetar. "Aku marah, kami bertengkar besar. Dia minta maaf, janji berubah. Aku bodoh… aku terima lagi. Tapi tidak lama setelah itu, dia pergi. Katanya nggak bisa hidup sama aku lagi. Dia pilih perempuan lain."
Adrian bersandar, memperhatikannya lekat-lekat. "Dan sekarang dia kembali hanya untuk merebut Nayla."
Maya mengangguk pelan. "Dia bilang aku nggak mampu. Padahal aku yang selama ini merawat Nayla."
"Maya…" nada suaranya berubah sedikit lebih dalam, "aku ulangi sekali lagi. Kalau ada sesuatu yang kamu sembunyikan, di pengadilan itu akan jadi bom. Dan kalau itu meledak, aku tidak bisa jamin kamu akan menang."
Maya menatapnya sebentar. Dalam hatinya, rahasia besar itu berdenyut, memukul pikirannya berulang-ulang. Aku tidak bisa… "Aku sudah ceritakan yang penting," jawabnya pelan.
Tatapan Adrian seperti mencoba menembus dinding yang ia pasang. Tapi ia tidak bertanya lagi. "Baik. Untuk strategi, kita akan tekan di sisi kestabilan. Bukti bahwa kamu lingkungan terbaik untuk Nayla. Dan kalau perlu, kita tuntut balik untuk biaya perawatan yang selama ini kamu tanggung."
"Kalau dia pakai pengacara yang lebih agresif?"
"Percayalah… tidak ada pengacara yang lebih agresif dari aku kalau aku sudah berdiri di ruang sidang," jawabnya datar, tapi ada ketegasan yang membuat Maya sedikit percaya.
Beberapa menit berikutnya dihabiskan membicarakan jadwal sidang, daftar saksi, hingga kemungkinan memanggil tetangga seperti Bu Ina untuk bersaksi.
Saat Maya hendak berdiri, Adrian menatapnya lama. "Aku tahu kamu belum cerita semua. Tapi kalau waktunya tiba, kamu harus siap."
Ia hanya mengangguk, lalu berjalan keluar. Pintu apartemen itu menutup pelan, meninggalkan Maya dengan langkah yang berat di lorong sepi.
kamu harus jujur maya sama adrian.