dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 29.
Suara dentingan sendok yang beradu dengan gelas kaca terdengar berulang kali. Elena sengaja mengaduk minumannya terus-menerus, matanya tak lepas dari Alejandro yang sibuk mondar-mandir memeriksa setiap sudut rumah sewanya. Jelas, dia kesal.
"Sampai kapan kau akan tetap di sini?" Elena melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Pria itu masih betah berkeliaran di dalam rumahnya seolah tak punya rasa bersalah.
"Alejandro!" serunya lebih keras karena tak digubris.
Alejandro akhirnya menoleh sebentar, lalu duduk di kursi dan membuka kantong plastik di atas meja. Raut penasaran tergambar di wajahnya.
Keningnya berkerut. "Kau ingin jadi petinju?" tanyanya sambil membolak-balik halaman sebuah buku berjudul Kiat-Kiat Jadi Petinju Sukses.
Elena buru-buru mendekat, berniat merebut buku itu. Tapi Alejandro lebih dulu mengangkatnya tinggi-tinggi di luar jangkauan.
"Kembalikan bukuku!" Elena mencoba meraih buku itu, tapi Alejandro dengan santainya menghindar.
"Katakan padaku, buku-buku ini untuk apa?" tanyanya sambil tersenyum jahil. Melihat ekspresi kesal Elena, senyumnya makin lebar. Wajah gadis itu memerah karena malu dan marah.
"Bukan urusanmu! Kembalikan, atau aku benar-benar akan memukul wajah menyebalkanmu itu!" Elena gigih menarik buku tersebut, namun Alejandro justru memanfaatkan kesempatan untuk menarik tangannya.
Tubuh Elena kehilangan keseimbangan dan refleks jatuh, menimpa tubuh Alejandro.
Sesaat, ruangan menjadi hening. Hanya suara detik jam yang terdengar samar, bersamaan dengan detak jantung dua insan yang saling menatap dalam jarak sangat dekat. Napas mereka hangat, bersentuhan tipis di antara wajah yang hanya terpaut sejengkal.
Alejandro menahan napas. Dadanya panas dingin. Jakunnya naik-turun, berusaha menelan saliva yang tiba-tiba terasa berat.
Elena yang masih di atas tubuh Alejandro, bergerak sedikit, membuat jantung Alejandro berdebar makin keras.
Dan... grep!
"Dapat!" seru Elena girang karena berhasil merebut bukunya dari tangan Alejandro.
Sementara itu, Alejandro langsung salah tingkah. Ia buru-buru mengubah posisinya menjadi duduk, menghindari tatapan Elena.
"Dasar menyebalkan!" Cibir Elena lalu pergi menuju ke kamarnya sambil memeluk kantong plastik berisi buku-buku tadi.
Alejandro menopang kedua sikunya di atas kedua lututnya dan meraup wajahnya. Dia masih merasa aliran darahnya berjalan begitu cepat dan membuat seluruh tubuhnya jadi panas.
"Tadi itu... Berbahaya sekali," Lirihnya hampir tak terdengar.
"Dia keras kepala, tapi aku tidak bisa membiarkannya sendirian," tambahnya lagi lalu segera berbaring. Tubuhnya sangat lelah karena sempat bertarung dengan para bodyguard milik Diana pagi tadi. Hanya dalam hitungan detik, mata pria itu sudah resmi terpejam, dia tidur dengan tangan kirinya yang menjadi bantal.
Sementara di kamar
Elena sama sekali tidak bisa tidur, dia gelisah karena ternyata Alejandro secepat ini menemukan keberadaannya.
Elena melirik kearah jam dinding. "Sudah larut, dia pasti sudah pergi," dia bergerak turun dari ranjangnya untuk memastikan.
Sepasang kaki yang memakai sandal tidur motif kelinci berwarna pink itu refleks berhenti melangkah saat menemukan pemandangan yang membuatnya kesal di satu sisi akan tetapi di sisi lainnya ada perasaan kasihan.
Elena buru-buru mendekat, berniat membangunkan pria itu namun noda darah yang menempel tepat di bahu Alejandro, membuatnya terdiam. Dia kembali menyimpan tangannya kebelakang, mengurungkan niatnya.
Elena penasaran, sepertinya bahu Alejandro terluka. Dia mengangkat ujung baju di lengannya untuk melihat luka tersebut.
Elena hampir saja terjatuh kebelakang saat melihat luka tersebut seperti di jahit asal dan kembali menganga.
Dia beranjak perlahan, pergi mengambil kotak P3K dan kembali mengobati luka itu dengan sangat hati-hati. Pria itu bahkan tak sadar bahwa ada yang sedang mencemaskan keadaannya saat ini. Dia sudah terlelap sejak tadi.
Keesokan paginya
Alejandro terbangun karena mendengar suara dari dapur. Dia bangkit dan meregangkan otot-otot sedikit. Dia sadar akan sesuatu, ada perban di bahunya.
Alejandro melirik kearah pintu dapur, tak lama Elena keluar, gadis itu tampak rapi dengan menenteng sebuah tas besar yang penuh dengan alat-alat lukisnya.
Alejandro refleks berdiri "Aku ikut," dia bahkan bersiap memakai jaketnya.
"Baiklah, tapi sebelum itu, lebih baik kau sarapan terlebih dahulu," ucapnya sembari menoleh kearah meja makan yang sudah tersedia sepiring nasi goreng dan teh hangat.
Tanpa protes, pria itu berjalan melewati Elena yang tengah tersenyum seakan menyimpan sebuah rencana.
Elena melirik kearah pria itu yang sudah kembali setelah mencuci wajahnya dan duduk di sana.
Gadis itu melangkah pelan tapi pasti, dengan cepat dia memutar knop pintu itu namun terkunci.
"Kau mencari ini?" Alejandro mengangkat kunci pintu dengan gantungan kelinci itu sambil tersenyum jahil kearah Elena.
"Astaga... kau!" Jelas saja Elena kesal bukan main. Selain menumpang tidur gratis di rumahnya, sekarang malah menguncinya?
"Kemarilah, temani aku sarapan dulu, baru setelahnya kita berangkat bersama," pinta pria itu dengan raut wajah tanpa dosa.
Elena menghentakkan kakinya ke lantai, terpaksa menurut dan ikut duduk disebelah pria itu dengan wajah cemberut.
Alejandro menahan senyumnya, seolah setiap ekspresi kesal Elena adalah hiburan yang tak ia sadari ia rindukan.
"Potong rambut sependek itu, kau pasti ingin mengelabuiku kan?"
Elena spontan terbatuk-batuk, dia tersedak ludahnya sendiri dan akhirnya mendelik kearah Alejandro yang masih sibuk mengunyah makanan di mulutnya.
THE REVENANT BOXING HOUSE
Setelah sarapan yang penuh drama kecil, keduanya meluncur ke tempat kerja Elena, sebuah lokasi yang membuat dahi Alejandro langsung mengernyit begitu mereka tiba.
Dahi Alejandro berkerut sempurna saat menatap papan nama di gedung itu.
Rasa penasarannya membuncah. Dia menoleh kearah Elena disebelahnya, kepalanya mendadak di penuhi pertanyaan, mengapa Elena datang ketempat seperti ini? dan bukankah ini sasana tinju? Lalu untuk apa dia melukis di sini?
Alejandro berjalan mengekori Elena sambil membantu gadis itu membawa perlengkapannya.
"Selamat pagi, pak," suara lembut elena menyapa seseorang yang baru saja muncul dari balik pintu salah satu ruangan.
Wajah Damian begitu semringah dan baru saja berniat membalas sapaan hangat dari elena...
Deg! Waktu di sekitar mereka seakan tertahan. Seperti ada benda besar yang menghantam tepat di benaknya ketika melihat sosok yang paling dia benci di muka bumi ini, muncul di belakang elena.
"Alejandro," ucapnya dengan suara tertahan sedangkan tangannya mengepal erat seakan terlalu banyak dendam yang belum tuntas.
"Damian?" Jelas saja Alejandro juga terkejut, ternyata Elena bekerja di sasana milik musuh bebuyutannya yang sudah lama tidak muncul sejak kekalahannya di atas ring beberapa waktu silam.